11. Dania Bertemu Dion

1005 Kata
"Aku udah bilang, kemungkinan kamu ketemu mereka bakal lebih besar. Ini bukan ibu kota negara yang sangat luas. Apalagi kegiatan kita masih berada di lingkup yang sama," ujar Andre pada Dania yang lebih banyak diam sejak duduk di sampingnya. Dania menghela napas panjang. "Bisa mampir dulu ke rumah makan itu? Aku lapar," pintanya tanpa menanggapi ucapan Andre sebelumnya. Andre pun langsung membelokkan kendaraan roda empat miliknya ke tempat yang ditunjuk oleh Dania. Mereka turun dari mobil, memilih meja kosong yang ada di dekat pintu masuk lalu memesan makanan dan menunggu. Dania yang duduk menghadap pintu, tersenyum saat melihat seorang anak laki-laki masuk bersama pria dewasa yang ia perkirakan ayahnya. Andre yang melihat hal itu, Mengikuti arah pandang sang wanita karena penasaran tetapi kemudian abai. Sudah menjadi hal yang biasa baginya melihat Dania bereaksi seperti itu ketika melihat anak-anak. "Kalau ada, Arion pasti udah sebesar itu, ya, Dre?" ujar Dania dengan tatapan sendu yang terus tertuju pada anak tadi. Dania terus menatap anak yang sedang berceloteh pada ayahnya. Sang ayah pun terlihat sesekali menoleh sambil tersenyum pada makhluk mungil yang digenggam tangannya. Mereka terlihat saling menyayangi. "Pesanan kita udah datang. Tadi katanya kamu lapar," ujar Andre, mengalihkan topik pembicaraan. Bukan apa-apa, Dania kerap menangis jika mengingat Arion dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Dania mengalihkan pandangan. Di atas meja sudah tersaji beberapa jenis makanan yang cukup menggugah selera. "Terakhir aku makan di sini sekitar setahun yang lalu," kekehnya sambil bersiap untuk makan. Saat hendak mengambil sendok makan, tiba-tiba saja tangan kanannya yang berada di sisi meja, tersenggol seseorang hingga sendok pun jatuh di atas lantai, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring dan membuat beberapa orang pengunjung menoleh ke arah sumber suara. "Maaf, Tante. Dion gak sengaja." Dania menoleh ketika mendengar suara seorang anak kecil. Dan ternyata benar, anak laki-laki yang sejak tadi mencuri perhatiannya kini berada tepat di depannya. "Dion!" Dania menoleh saat mendengar suara laki-laki dewasa, tampak seorang pria sedang berjalan menghampiri. "Saya Argawira, ayahnya Dion. Maaf jika makan Anda terganggu karena anak saya," sesal pria itu, memperkenalkan diri. "Tidak apa-apa, Pak," balas Dania, maklum. Tatapannya kini tertuju pada Dion. Ia seperti jatuh cinta pada pandangan pertama pada anak itu. "Ayah, barusan Dion gak sengaja nabrak tangan tantenya terus sendoknya jatuh," cerita Dion seraya menatap pria yang berstatus sebagai ayahnya tersebut. "Dion sudah minta maaf?" tanya Wira. Dion mengangguk. "Sudah, Ayah. Dion sudah minta maaf." Ia kemudian membungkuk, mengambil sendok yang tadi terjatuh. "Sendok Tante Dion cuci dulu ya?" Dania segera menahan tangan Dion yang hendak beranjak. "Gak usah, Nak. Namanya Dion kan?" "Iya, Tente." "Nama tante, Dania." "Tante Dania, sendok Tante jatuh. Kata ibunya Dion, kalau gak dicuci dulu nanti sakit perut kan di sendoknya banyak kuman," celoteh Dion. Dania terkekeh. Ia dibuat gemas dengan tingkah dan gaya bicara anak laki-laki yang menyebut dirinya bernama Dion. "Gak apa-apa. Nanti tante minta sendok baru aja sama mbaknya," ujarnya seraya mengambil sendok dari tangan Dion dan meletakkannya di atas meja. "Memangnya boleh, Tante?" "Boleh." Dania mengangguk sambil tersenyum. "Oh." Dion menyahuti singkat. "Sekali lagi, saya minta maaf atas apa yang anak saya lakukan," ujar Wira. "Tidak apa-apa, Pak. Namanya juga anak-anak. Lagi pula Dion juga sudah minta maaf tadi." Dania tersenyum ramah. "Maaf, Pak Arga. Ini pesanannya." Seorang pegawai wanita menghampiri Wira lalu menyodorkan kantung keresek berwarna putih bertuliskan nama rumah makan tersebut. "Mbak!" panggil Dion sambil menatap pramusaji itu. "Iya, Dek?" "Mbak, sendok tante ini jatuh karena Dion tabrak tangan tantenya, boleh Dion minta pinjam lagi? Yang ini udah banyak kumannya," ujar Dion sambil menunjuk pada sendok yang ada di atas meja. "Boleh, Dek. Tunggu sebentar ya?!" angguk pramusaji itu kemudian berlalu. Dania tersenyum sambil menatap lekat anak laki-laki itu. "Makasih, ya?!" "Sama-sama, Tante." Dion mengangguk kemudian menoleh pada ayahnya. "Ayah, ayo, pulang!" ajaknya. Wita mengangguk kemudian mengalihkan tatapan pada Dania dan Andre. "Kami permisi, Bu, Pak.. Sekali lagi maaf dan terima kasih." "Iya, Pak. Silakan." Andre yang menjawab karena Dania rasanya tidak rela jika harus berpisah dengan Dion. "Ayo, Sayang!" Wira menuntun tangan putranya keluar dari tempat tersebut. Dania masih saja menatap punggung Dion yang semakin menjauh. "Silakan, Bu, sendoknya." Pramusaji tadi meletakkan sendok baru di tempatnya, sementara sendok yang jatuh tadi ia ambil. "Silakan dinikmati. Permisi." "Makasih, Mbak,'' ujar Andre dan hanya diangguki oleh pegawai wanita yang kemudian berlalu. "Ayo kita makan. Aku ada urusan seteleh nganterin kamu." Andri bersiap untuk makan. Namun karena Dania tidak memberi tanggapan, Andre pun menoleh dan mendapati wanita itu sedang menatap ke luar melalui dinding kaca. "Nia!" Pria itu menghela napas panjang lalu meraih tangan Dania yang ada di atas meja hingga wanita itu pun menoleh. "Makan. Malah ngelamun." "Aku gak ngelamun," kilah Dania. "Tapi kamu merhatiin anak itu dan ngerasa dia mirip sama anak kamu?" balas Andre seperti sudah paham apa yang terjadi sebab sudah sering terjadi, di mana Dania merasa anak yang ia temui mirip seperti anaknya yang hilang. "Nia, kamu lihat tadi, anak itu punya ayah. Sudah, lebih baik kita makan." Dania mengangguk kemudian menghela napas panjang tanpa mengatakan apa-apa. *** "Hahaha ...." Suara tawa seorang pria membahana di ruang tamu sebuah rumah. "Kenapa? Kamu cemburu lihat dia sama cowok lain?" tanyanya dengan tatapan mengejek tertuju pada orang yang duduk di hadapannya. "Cemburu? Jangan ngarang, Shaka!" "Lalu? Kenapa kamu kok cerita kayak yang kesel gitu? Yang ba'jingan di sini kamu, Damar! Harusnya Dia yang ben'ci sama kamu." Damar menatap sinis, memang bicara pada tamannya tersebut justru membuat kepalanya tambah pusing. "Kenapa dia harus benci aku? Aku gak lagi jalan sama cewek, sementara dia jalan sama cowok." "Ya biarin aja kali, Mar. Toh kalian juga udah pisah. Kenapa kamu kayak orang kebakaran jenggot sih? Masih cinta ya?" goda Shaka. Damar melempar bantal sofa ke arah temannya yang sedang tertawa. "Berhenti bicara omong kosong!" Shaka tertawa. "Tapi kamu beneran gak mau tau soal Dania?" ''Enggak. Kayak yang tadi kamu bilang, dia itu sudah jadi mantan jadi aku nggak perlu tahu apa-apa lagi tentang dia." "Kamu yakin? Ada sesuatu yang mungkin bakal bikin kamu terkejut kalau kamu tahu." Shaka menatap serius pada temannya yang terlihat sedang berpikir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN