4. Rujuk Saja

855 Kata
"Damar! Jawab mama! Kenapa kamu lakukan itu? Memangnya apa yang Nia lakukan sampai kamu talak dia?" Damar diam. Bingung apa yang harus dikatakan karena Dania memang tidak melakukan kesalahan apa-apa. "Damar!" Suara Fani terdengar lebih tinggi. "Aku ...." "Apa?" "Ya Mama juga tau pernikahan aku dan dia itu keinginan Mama, bukan aku. Aku udah nolak tapi Mama tetap maksa. Mama bilang, cinta bakal datang seiring berjalannya waktu kayak mama dan papa tapi sampai sekarang, mana? Aku tak juga mencintai dia." "Ya kamu gimana mau cinta sama dia kalau kamu sendiri gak berusaha mencintai dia," balas Fani. "Cukup!" Suara Darwin yang meninggi membuat ibu dan anak itu berhenti bersitegang. "Mau kalian bertengkar sekalipun, keadaan gak akan berubah. Damar tetap saja sudah mentalak Dania." "Tapi baru talak, Mas. Kalau mau, mereka masih bisa rujuk kok," sahut Fani. "Enggak! Aku gak mau," sambar Damar, menolak mentah-mentah. "Kenapa?" "Mama ... Mama kan udah tau alasannya. Kenapa masih nanya sih?" "Apa kurangnya Dania? Dia cantik, baik, Gak neko-neko." "Kurangnya cinta, Ma. Aku gak cinta sama Dia. Memangnya mama gak kasian sama dia kalau dia terus sama aku? Aku justru kasihan sama dia makanya aku putuskan untuk berpisah." Damar membela diri. "Sudah! Sudah! Kalian ini gimana sih? Malah bertengkar lagi. Masalah gak akan selesai, berisik yang ada," tegur Darwin yang mulai kesal dengan tingkah laku anak dan istri. "Anak Mas tuh yang bikin masalah. Istri dicerai gitu aja. Dia pikir pernikahan itu mainan apa?!" sindir Fani. "Mam—" "Cukup, Damar!" potong Darwin dengan tegas. "Sudah salah masih juga berusaha membela diri." Damar Diam, tidak berani membantah ayahnya. Darwin menghela napas panjang. "Beri kami alasan yang logis, kenapa kamu sampai menceraikan istri kamu?" tanyanya, meski terkesan tenang tetapi ada penekanan dalam suaranya. "Karena aku gak cinta sama dia, Pa. Aku gak bisa hidup sama orang yang aku gak cinta. Aku juga gak bisa terus-terusan bikin dia berharap sesuatu yang aku sendiri gak yakin. Udah beberapa bulan kami menikah tapi aku gak bisa cinta sama dia," jawab Damar, sejujurnya. Darwin dan Fani saling menatap untuk beberapa saat. "Damar, pikirkan lagi keputusan kamu sebelum menyesal nanti. Mumpung masih bisa diperbaiki," bujuk Fani setelah merasa lebih tenang. Memang benar, emosi tidak akan merubah apa yang sudah terjadi. Damar hanya menatap ibunya tanpa berkata apa-apa. *** "Nia, kamu yakin gak ikut aku aja?" tanya Andre. "Yakin. Lagian kalau aku ikut kamu, nanti kalau Mas Damar nganterin surat cerai ke mana?" "Masih perlu aku jawab pertanyaan kamu yang nggak penting itu?" Dania menggeleng. "Aku tunggu di sini aja. Masih ada kontrakan kosong juga kan? Toh cuma untuk beberapa hari aja. Aku malah yakin besok juga dia anterin surat cerainya." "Ya sudah kalau itu udah jadi keputusan kamu. Ngomong-ngomong ini yang punya kontrakannya mana sih? Kok gak balik-balik?" Andre sudah mulai bosan menunggu di mobil. "Jam segini biasanya dia belanja ke pasar," sahut Dania sambil membuka pintu mobil mewah yang ia tumpangi. "Kamu mau ke mana?" tanya Andre. "Turun. Aku mau tunggu di teras aja," jawab Dania. Andre ikut keluar dari mobil, mengekori wanita itu sambil memperhatikan dari belakang. "Nia, kamu gak apa-apa? Kamu kelihatan lemes lho. Kita ke rumah sakit, ya?" "Aku gak apa-apa, Dre. Gak usah lebai deh,'' kilah Dania. Bukan karena sakit ia lemas. Ia duduk di kursi yang ada di teras rumah. "Aku cuma pengen mastiin aja kalau kamu gak diapa-apain sama dia. Udah aku bilang dari awal, harusnya kamu tolak permintaan Bu Fani untuk menikah dengan anaknya. Tapi kamu ngeyel banget." Andre mengomel. "Udah aku bilang dia nggak ngapa-ngapain aku. Dia cuma menjatuhkan talak. Udah, itu aja yang bikin aku minta kamu buat jemput aku," sahut Dania. "Ya siapa tahu aja. Kamu nyembunyiin sesuatu, secara gitu selama ini kamu selalu belain dia." "Sampai tadi pagi dia adalah suamiku Jadi wajar kalau aku belain dia lagi pula tuduhan yang selalu kamu kasih ke dia itu sama sekali nggak beralasan. Dari awal menikah Dia nggak pernah menyakiti aku," sahut Dania. Secara fisik Damar memang tidak pernah menyakitinya. "Iya, dia memang nggak pernah menyakiti fisik kamu tapi dia menyerang mental kamu," ketus Andre, seakan mengerti apa isi kepala wanita muda yang duduk di sampingnya tersebut. "Terserah kamu lah mau ngomong apa," sahut Dania sembari mengalihkan pandangan dari pria yang seusia dengannya itu. "Kalau aku bisa udah aku tumbuk itu orang sampai jadi gepuk. Sayang aja kamu selalu bilang 'awas ya kalau berani apa-apain suami aku'. Padahal udah gatel tangan ini," sindir Andre sembari mencebikkan bibir saar meniru gaya bicara Dania. "Dasar Bucin! Cowok kayak gitu kamu bucinin." Dania hanya memutar bola mata malas saat mendengar ocehan pemuda di sampingnya. "Nia!" Dania dan Andre menoleh saat mendengar suara seorang wanita. "Ibu!" Dania tersenyum sambil menghampiri seorang wanita paruh baya. "Ibu apa kabar?" tanyanya tanpa melepas senyum. "Alhamdulillah ibu baik, Nak. Kamu sendiri gimana kabarnya?" "Aku juga Alhamdulillah baik, Bu." "Ibu kaget lo liat kamu di sini, sejak menikah kamu nggak pernah mengunjungi ibu." "Maaf, Bu," cengir Dania. "Kita ngobrol di dalam aja, yuk!" ajak wanita yang merupakan pemilik kontrakan tersebut. "Iya, Bu." Dania mengangguk. "Dania!" Ketiga orang yang ada di teras rumah tersebut menoleh ke arah sumber suara. "Mama," lirih Dania saat melihat ibu mertuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN