Katarina tidak bisa menahan tawa bahagianya. Dia bahkan dengan berani mengirimkan rekaman CCTV itu pada Ibu Mertua dan Neneknya. Hingga saat malam tiba dimana dirinya harus pergi ke sebuah acara dan melewati banyak koridor dan bertemu para pelayan, Katarina merasakan hal yang berbeda. Mereka menunduk dalam seolah meminta pengampunan.
Di Grand Parlour, Mikail sudah menunggunya. Beserta Nenek dan Natalia. “Selamat malam, Ibu, Nenek. Maaf aku tidak sopan memberitahukan hal itu lewat ponsel, aku ditahan oleh mereka untuk diam di kamar.”
“Tentu, Nak. Kau harus berdandan dengan cantik bukan? Lihatlah betapa cantiknya dirimu, begitu indah dan sempurna,” puji Nenek.
“Tidak sempurna, Nenek. Bagian dari dalam hatiku sakit karena dituduh oleh pelayan pirang itu.”
Natalia langsung melotot kaget, tertawa canggung menatap Mikail dan Katarina bergantian. “Kita akan membicarakan itu nanti ya.”
“Tidak, kita akan menyelesaikannya sekarang,” ucap Mikail mendahului, matanya menoleh ke arah pintu dimana Alaya masuk didampingi Olga. Sambil melangkah, bibirnya sudah terisak dan air matanya berjatuhan. Lima langkah dekat Katarina, Alaya langsung bersimpuh membuat Olga kaget.
“Ma… maafkan saya, Yang Mulia… Hiks… saya…. Melakukan itu…. Memfitnah anda… hiks… Tolong maafkan… saya memiliki banyak ketakutan hingga melakukan itu, Yang Mulia… maafkan saya… saya takut Duke akan berpaling…. Meskipun saya hiks… tidak sepenuhnya salah karena anda membentak saya.”
Katarina tertawa. “Astaga, mengagetkan dia masih membela diri.”
“Yang Mulia, tolong maafkan Alaya. Dia hanya anak yang takut tidak mendapatkan kasih sayang. dia pasti melakukan itu tanpa kesadaran dan dikendalikan oleh kekhawatirannya,” ucap Olga. “Dia hidup tanpa orangtua dan penuh dengan siksaan ya-”
“Hentikan, Olga,” ucap Mikail penuh penekanan. “Biarkan dia meminta maaf dengan benar.”
Alaya menoleh pada Mikail yang benar-benar memasang wajah dingin. Sekali lagi Alaya meminta maaf, kali ini dengan isak tangisan lebih keras dan memohon ampunan. Katarina tersenyum miring, ingin sekali menginjak kepala si pirang itu. “Aku memaafkanmu, tapi seseorang sepertimu harus didisiplinkan apalagi berani menuduh seorang bangsawan. Bukan hukuman, kau harus datang ke kamarku setiap pagi untuk mengganti bunga dan juga aroma theraphy. Aku ingin yang baru dan alami.”
“Tentu Alaya akan melakukannya,” ucap Nenek mendahului, dia tidak mau cucu-cucunya terlambat ke acara amal ini. “Sekarang kalian pergilah, urusan disini sudah selesai.”
“Yang Mulia…,” panggil Alaya ketika Mikail pergi melangkah lebih dulu.
Katarina terkekeh. “Dia hanya kecewa. Jangan khawatir, aku akan mengiburnya dengan beberapa dansa.” Berucap dengan begitu elegant sebelum melangkah hingga suara heels terdengar dengan jelas. Memasuki mobil, dimana Mikail sudah ada disana.
Perasaan bahagia mengiringi langkah Katarina saat ia tiba di Palazzo di Luna, tempat pesta dansa amal yang dipenuhi para bangsawan. Malam itu, Katarina tampak begitu memukau, seolah seluruh ruangan berhenti untuk memandangnya. Gaun ungu tanpa lengan yang dia kenakan jatuh sempurna di tubuhnya yang ramping, membalut setiap lekuk dengan kelembutan kain sutra yang berkilau di bawah cahaya lampu kristal. Warna ungu itu tampak seperti diciptakan untuk dirinya, menonjolkan kulitnya yang putih bercahaya, sehalus porselen, membuat setiap mata terpaku pada keindahannya.
Rambut hitamnya yang tebal dan mengilap terurai dengan lembut di punggung, memantulkan kilauan cahaya lilin, seolah mahkota alami yang menghiasi kepalanya. Setiap helainya bergerak anggun mengikuti langkahnya, sementara pipinya yang merona kemerahan—seperti kelopak mawar yang baru mekar—memberikan sentuhan manis pada wajahnya yang halus dan nyaris tanpa cela. Bibirnya yang merah muda tampak lembut dan penuh, tersenyum tipis, namun cukup untuk membuat para tamu yang memandangnya terpana.
Matanya yang besar dan cokelat, bersinar seperti bintang di langit malam, menatap ke sekeliling ruangan dengan kelembutan yang tak terbantahkan. Cahaya dari lampu gantung kristal yang berkilauan menambah aura magis pada dirinya, membuatnya tampak seperti dewi yang turun dari langit. Setiap detail dari penampilannya malam itu memancarkan pesona yang memikat—setiap gerakan, setiap napas, seolah diciptakan untuk menarik perhatian. Katarina tampak sempurna, memancarkan kecantikan alami yang lembut namun kuat, memukau setiap tamu yang hadir.
Di sampingnya, Mikail, sang Duke of Tver, berdiri dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Jas hitam elegan yang dikenakannya disertai medali kehormatan di d**a, menunjukkan posisi tingginya sebagai Kolonel militer yang disegani. Wajah tampannya dengan rahang tegas, dipadukan dengan tatapan mata biru yang penuh ketenangan dan kekuatan, membuatnya menjadi sosok yang sangat mengintimidasi. Setiap gerakannya penuh perhitungan, memperlihatkan kedisiplinan yang melekat dalam dirinya. Ketika tangannya menggandeng Katarina, mereka terlihat seperti pasangan yang diciptakan dari mimpi—gabungan sempurna antara keindahan dan kekuatan yang tak tertandingi.
Para tamu yang hadir tak dapat menahan kekaguman mereka, bisikan-bisikan mulai memenuhi ruangan,
“Lihat, betapa cantiknya Duchess! Kulitnya seputih s**u, bersinar dalam gaun ungu itu. Dia benar-benar terlihat seperti dewi malam ini!” bisik salah satu tamu wanita dengan takjub.
“Dan Duke Mikail… dia adalah lambang kekuatan dan wibawa. Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat begitu sempurna berdampingan dengan wanita secantik itu?” gumam seorang pria dengan tatapan iri.
“Mereka benar-benar pasangan yang serasi. Duke dan Duchess Tver… betapa indahnya mereka bersama.”
Saat Mikail dan Katarina melangkah ke tengah ruangan, setiap mata tertuju pada mereka, terpukau oleh keanggunan dan kekuatan yang terpancar dari pasangan itu. Malam itu, mereka bukan hanya sekadar bangsawan—mereka adalah pusat dari perhatian, simbol kesempurnaan yang sulit disaingi.
***
Pesta amal itu berlangsung sampai malam, dilanjutkan dengan pesta alkohol yang membuat Katarina muak. Meskipun lebih banyak pujian dia dapatkan, tapi aroma alkohol mengingatkan Katarina pada malam-malam setiap kali Mikail menyentuhnya tanpa persetujuan dan berakhir selalu saja dengan tamparan dari Katarina yang kelelahan, ya meskipun sedikit menikmati. Tapi Katarina bukan orang yang benar-benar selalu tunduk, dia hanya orang yang melihat situasi.
Sekarang, dia merasa perannya di keluarga Zhukov lumayan penting, jadi tidak ada alasan Mikail menggunakan keluarganya sebagai ancaman. Sebab tanpa dirinya, pasti Zhukov akan kehilangan banyak kerjasama. “Ingin jambak diri sendiri kalau teringat dengan pasrahnya diriku bersujud dihadapan pelayan itu,” ucap Katarina pada dirinya sendiri.
Dia berjalan di halaman belakang Palazzo di Luna, meninggalkan pesta yang dia rasa mulai kehilangan nilai dan etika bangsawan. Terlalu bercampur dengan perkembangan zaman, Katarina tidak menyukainya. Dia memilih untuk dudu di bawah pohon, merenungkan apa yang harus dia lakukan ke depannya.
“Nonaaaa! Bisa kau berikan aku uang?” seorang anak laki-laki kumal tiba-tiba saja memeluk kakinya, membuat Katarina menjerit kaget dan mendorongnya.
BRUK! “Pergi dari sini! Menjauh dariku!”
“Nona… aku lapar, butuh makanan. Tolong aku.”
“Pergilah kesana. Dan jangan berani menyentuhku.”
Saat anak itu hendak berlari menuju pesta, Katarina menahannya dan kembali mendorongnya hingga jatuh lagi. “Kau tidak dengar? Pergi kesana!”
“Apa yang kau lakukan?!” suara Mikail mengagetkan anak itu hingga langsung berlari menjauh, mata Katarina tidak beralih dari bocah tersebut hingga tidak sadar Mikail ada di hadapannya. “Begitukah caramu memperlakukan anak kecil huh? Mendorongnya?”
“Dia menjijikan,” ucap Katarina jujur sambil membersihkan gaunnya. “Apalagi yang harus kita lakukan? Aku ingin meninggalkan pesta.”
“Berpamitan pada pemilik acara.”
“Baiklah.”
“Sejahat itu dirimu pada anak kecil? Dia hanya meminta tolong dan kau malah me- berjalanlah dengan pelan!”
“Aku ingin cepat menyelesaikan pest aini,” ucap Katarina berjalan lebih dulu, hingga Mikail harus menyusulnya. Sulit sekali memintanya tetap disisi Mikail, sampai pria itu harus melingkarkan tangan di pinggang Katarina, memastikan mereka pulang dari tempat itu tanpa tangan kosong.
Katarina yang memiliki jiwa sosial jelas dengan mudah mendapatkan apa yang mereka tuju sejak awal, tuan rumah pesta tersebut bahkan meminta Mikail untuk ikut dengan mereka dan akan memberikan anggur terbaik. Saat Mikail pergi, Katarina sudah hilang lagi.
“Duchess bilang dia ingin melihat taman, Yang Mulia.”
“Tidak apa, Nyonya. Saya khawatir karena dia terlalu senang hingga lupa jalan pulang. Izinkan saya mencarinya sendiri.”
“Silahkan, Yang Mulia. Terima kasih telah datang ke pesta amal ini.”
Mikail keluar dari Palazzo di Luna, anggur ditangan diserahkan pada sang butler yang sudah menunggunya. “Yang Mulia? Anda mau kemana?”
“Mencari si nakal itu,” ucapnya sambil melangkah menuju taman yang sudah gelap, lampu-lampu Sebagian sudah dimatikan. Mikail ingat kemana arah pandang Katarina sebelumnya, pasti dia pergi ke bagian utara taman ini.
Namun, hal yang Mikail lihat tidak pernah ada dalam scenario kepalanya. Dimana Katarina, bersama anak yang tadi dia usir. Perempuan itu tengah membersihkan wajahnya dengan tissue basah sambil mendumal, “Untung kau paham harus menunggu disini. Dengar, aku tidak mau dipeluk karena pesta belum berakhir, apa kata mereka jika aku ke pesta dengan baju kotor.”
“Um, kue yang kau bawa sangat enak, Tuan Putri,” ucap anak itu sibuk mengunyah saat Katarina merapikan pakaiannya.
“Hahaha, aku bukan putri. Monarki sudah dihapuskan, aku seorang Duchess. Bangsawan kelas tertinggi. Kau beruntung menemuiku. Nah, aku berikan uang.”
“Kenapa kau tidak memberiku uang tadi? Kenapa harus membersihkanku dulu?”
“Hei, kau bodoh ya? Kalau tampilanmu jelek dan membeli roti dengan banyaknya uang ini, maka kau akan dituduh mencuri. Aku sudah baik hati membersihkan tubuhmu supaya pantas masuk ke sebuah toko. Sana, sekarang kau pergi,” perintahnya setelah membersihkan tubuh anak itu. “Eh, buang tissue ini, aku tidak mau.”
“Terima kasih, Putri.”
“Sudah aku bilang kalau aku bukan seorang Putri.”
“Tapi kau sangat cantik seperti seorang Putri.”
“Tunggu, siapa namamu?”
“Edward, tinggal di perkampungan sebelah, di bawah jembatan kayu itu, dadahhhh! Aku mau beli kue untuk keluarga!” anak itu berlari.
Begitu hilang dari pandangan Katarina, perempuan itu baru menelpon Polina. “Hei, coba kau cari tahu anak yang bernama Edward yang tinggal di bawah jembatan kayu pinggiran kota. Hah? Tidak, kuharap kau bisa memasukannya ke panti sosial. Aku terlalu sibuk mengurus kuku, ingin mengganti cat. Kau saja yang melakukannya, Polina. Okey?”
Srek! Katarina menoleh mendengar suara ranting terinjak. “Apa ada orang gila disana?” tanya Katarina kesal. “Tidak apa, Polina. Sepertinya hanya angin. aku pulang sekarang, siapkan air hangat. Aku ingin mandi dan menyegarkan diri.”
Katarina memeriksa sekitar setelah panggilan terputus. Tapi tidak ada orang, Mikail juga sepertinya ada di mobil saat Katarina menuju tempat parkir.
“Darimana saja kau?” Tanya Mikail yang sudah menunggu, sibuk dengan ipad ditangannya.
“Mencari bunga liar, supaya aku bisa membuat racun untukmu.” Katarina mengatur napas, lumayan lelah karena berlari. “Apa itu anggur?”
“Jangan menyentuhnya.”
“Kerjasama ini berhasil karena aku juga. Biarkan aku minum ini.” mengambil botol dan menuangkannya pada gelas. Sepanjang perjalanan, Katarina terus minum anggur yang rasanya lumayan enak. “Berhenti menatapku penuh nafsu seperti itu, atau botol ini akan melayang pada kepalamu.”
“Duchess.” Andrei menegur.
“Tidak apa, Andrei. Biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan.”
***
Malam itu, angin berhembus lembut saat mobil hitam elegan yang membawa Mikail dan Katarina kembali tiba di gerbang besar Zamok Belogorie, kastil keluarga Zhukov yang megah. Lampu-lampu kastil bersinar samar, menciptakan bayangan panjang yang menambah kesan misterius pada malam itu. Namun, suasana yang tenang itu segera dipecahkan oleh suara pintu mobil yang terbuka kasar.
Katarina, dalam gaun ungunya yang indah tanpa lengan, keluar dengan gerakan tidak stabil. Wajahnya memerah karena alkohol, matanya sedikit kabur, dan langkahnya terhuyung-huyung di atas jalan berbatu kastil. Tubuhnya hampir jatuh ke depan, tetapi Mikail dengan sigap menahan lengan istrinya.
“Katarina,” suara Mikail terdengar rendah namun tegas.
Namun, Katarina menghempaskan tangan Mikail dengan kasar, matanya menatap tajam meskipun pandangannya sedikit buram. “Jangan sentuh aku!” katanya dengan nada marah, suaranya sedikit bergetar karena mabuk. “Kau tidak pantas menyentuhku... setelah apa yang kau lakukan... setelah semua pengkhianatanmu!”
“Berhenti bersikap tidak pantas.”
Katarina mendengus, tertawa keras dan terbahak-bahak. Dia terlihat seperti tidak peduli bahwa pelayan-pelayan di kastil sedang menundukkan kepala, berusaha tak memandang langsung ke arah mereka. "Tidak pantas? Oh, aku? Tidak pantas?" Tawa Katarina berhenti mendadak, wajahnya berubah serius dalam hitungan detik. “Lalu apa yang pantas, Mikail? Hm? Selingkuh dengan perempuan itu di malam pernikahan kita? Apa itu pantas?”
“Kembalilah ke dalam, ini sudah cukup.”
“Cukup? Cukup?” Katarina menirukan Mikail dengan nada mengejek, lalu tertawa lagi. “Aku yang cukup! Aku sudah cukup dengan sandiwara ini, Mikail! Kau pikir aku akan terus takut pada ancamanmu? Pada ancamanmu terhadap keluargaku? Pikirkan lagi! Aku jauh lebih berharga bagi keluarga Zhukov daripada dirimu yang dungu!”.
Mikail hanya mengangkat satu alis, seakan menunggu Katarina menyelesaikan ledakan emosinya.
“Apa kau terbuat dari batu, hah? Aku... aku mencintaimu! Bodohnya aku mencintai pria sepertimu. Kau itu dungu! Dungu! Kau tidak pernah tahu bagaimana perasaan orang lain.”
Mikail tetap berdiri tegak, bibirnya mengepal rapat. Dia tidak suka pertengkaran ini terjadi di luar kastil, di mana siapa saja bisa melihat mereka. Tetapi Katarina tidak peduli. Dengan langkah sempoyongan, dia mulai melangkah berlawanan arah, menuju hutan yang mengelilingi Zamok Belogorie. Mikail memanggilnya dengan nada tenang namun keras, “Katarina, kembali ke dalam.”
Tetapi Katarina, dalam kondisinya yang setengah mabuk dan penuh amarah, hanya menoleh sebentar, kemudian berteriak keras, “Jangan ganggu aku!” Dengan gaunnya yang indah bergoyang di tengah embusan angin malam, Katarina terus berjalan menjauh, memasuki kegelapan hutan.
Malam yang tadinya tenang berubah menjadi penuh dengan ketegangan dan kemarahan. Gaun ungu Katarina berkibar pelan saat dia terus melangkah, diiringi suara angin yang mengalir di antara pepohonan. Sebelum benar-benar menuju hutan, Katarina mampir dulu ke pondok. Suara langkahnya disalahartikan oleh Alaya yang langsung keluar dan memanggil, “Yang Mulia?” tapi senyumannya pudar ketika tahu bahwa itu bukan Yang Mulia yang dia tunggu.
“Kenapa? kau mengharapkan Mikail yang datang?” katarina terkekeh. “Dia kelelahan, berdansa bersamaku dan mencium bibirku sepanjangnya. Kurasa dia tidak akan datang kesini, kecuali ingin mencariku dan menyetubuhiku.”
Mata Alaya berkaca-kaca.
“Kenapa? tidak punya argument? Baiklah, aku akan menikmati hutan. Jangan lupa besok datang ke kamarku, layani aku, Pelayan,” ucapnya berbalik menuju hutan yang lebih sejuk di musim semi ini.
Katarina yang setengah mabuk itu terkadang melompat-lompat, tertawa sendiri melakukan selebrasi telah membuat si pirang kalah. Rasa senangnya terhentikan saat melihat danau yang begitu jernih, Katarina ingin masuk kesana.
“Wah, aku mandi disini saja. Lebih segar daripada bathub yang disiapkan Polina.”
Angin malam yang lembut membelai kulitnya, membiarkan rambut hitamnya melambai-lambai seperti sutra gelap di bawah sinar bulan. Dengan gerakan tenang, Katarina mulai membuka gaunnya yang mewah, satu per satu lapisan kain jatuh dengan anggun ke tanah hingga benar-benar telanjang. Cahaya bulan memandikannya dengan sinar perak, menciptakan siluet yang mempesona.
Tubuhnya berkilauan dalam remang cahaya, seolah-olah bulan menari di atas kulitnya yang kemerahan tertiup angin. Setiap helaan napas terasa seperti bagian dari alam, seakan-akan danau dan bintang-bintang menyambutnya dengan keheningan yang mendalam. Saat Katarina melangkah masuk ke air yang dingin, gelombang kecil menyapu kakinya yang ramping. Airnya terasa menyegarkan, memeluk tubuhnya dengan kelembutan alami, seolah menyambut kehadirannya dalam dunia yang tenang dan hening.
Katarina menengadahkan wajahnya ke langit, membiarkan angin dan air berpadu meresap ke dalam kulitnya. Setiap gerakannya begitu anggun, dipenuhi dengan keindahan alamiah, membuat malam itu terasa abadi dalam kesunyian yang mendalam.
Katarina yang masih dikuasai oleh rasa senangnya terus berenang, mengikuti gerakan air yang tenang dan bersinar di bawah sinar bulan. Cahaya bulan yang lembut memantulkan kedalaman danau, membuat dasar terlihat begitu dekat. Terpikat oleh pemandangan tersebut, dia mencoba menyelam lebih dalam, seolah ingin mencapai dasar danau yang magis itu.
Tapi tiba-tiba, dia berhenti. Tubuhnya terlentang di permukaan air, mata tertutup menikmati bagaimana dinginnya air menyapu seluruh tubuhnya yang polos. Napasnya pelan, seolah menyatu dengan ritme danau yang tenang. Keheningan malam itu seolah sempurna, sampai Katarina merasakan ada gelombang air yang bergerak lebih besar dari yang seharusnya.
Dengan cepat, dia membuka mata dan melihat sosok yang berenang menuju arahnya. Mikail. Sebelum dia sempat menyadari sepenuhnya, pria itu sudah menarik pinggangnya, membawa tubuhnya ke permukaan dengan tegas.
"Apa yang kau lakukan?!" Katarina marah-marah, memukul d**a Mikail dengan kesal. "Lepaskan aku, bodoh!"
Mikail, dengan ekspresi dingin dan tenang, hanya mengangkat alisnya. "Aku menyelamatkanmu dari tenggelam," katanya dengan nada datar.
"Tenggelam?!" Katarina tertawa dengan nada mengejek, "Aku tidak tenggelam, bodoh! Lepaskan aku sekarang!" Dia meronta, berusaha melepaskan diri dari genggaman kuat Mikail. “Kau mengganggu kesenanganku malam ini, Mikail!”
Namun, Mikail tidak bergeming, menatapnya dengan pandangan serius. "Aku tidak akan membiarkanmu telanjang seperti ini," tegasnya.
Katarina mendengus kesal, berusaha berontak lebih keras, tubuhnya yang polos menyentuh air dan pria itu, tetapi Mikail tetap menahan pinggangnya. Lalu, sesuatu di balik pohon menarik perhatian Katarina. Di sana, Alaya berdiri diam, bersembunyi di balik bayangan pohon besar, menatap mereka dari kejauhan.
Senyum sinis langsung menghiasi bibir Katarina. Dengan cepat, dia mengubah pemikirannya. "Baiklah, kalau kau tetap di sini," katanya dengan nada yang menantang sambil menatap Mikail, "maka aku akan memakanmu."
Mikail, yang tampak tak terpengaruh oleh ancaman tersebut, hanya tertawa kecil, meremehkan. "Silakan," jawabnya dengan nada datar. "Cobalah."
Tanpa peringatan, Katarina langsung mencium bibir Mikail, tangannya melingkari lehernya, menarik pria itu semakin dekat hingga mengejutkan Mikail. Ciuman itu penuh gairah, namun di balik tatapan mata Katarina yang tajam, ada pesan tersembunyi—yang bukan ditujukan untuk Mikail, melainkan kepada Alaya yang masih bersembunyi di kejauhan. Dalam pelukan intim itu, seolah Katarina sedang mengklaim bahwa Mikail adalah miliknya, mengirimkan pesan jelas kepada Alaya: Pria ini akan segera menjadi milikku. Jangan pernah berpikir kau bisa memilikinya selamanya.
Namun saat Mikail membalas ciumannya tidak kalah ganas, Katarina tahu malam ini dirinya akan dibuat menderita lagi.