Keesokan hari, matahari baru saja merangkak di balik gedung-gedung tinggi, sinarnya yang hangat menerobos masuk ke dalam toko kue milik Zara. Wangi adonan yang dipanggang memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer nyaman yang menjadi ciri khas toko ini. Selama tiga tahun terakhir, Zara bekerja keras membangun usaha kuenya dari nol, hingga akhirnya ia bisa menyewa toko kecil di sudut jalan. Meskipun usahanya masih sederhana, namun ia bangga akan pencapaiannya.
"Mbak Zara, adonannya sudah siap!" teriak Amanda dari dapur.
"Terima kasih, Amanda. Setelah ini kita harus bersiap-siap untuk mengantar pesanan katering ke hotel," jawab Zara sambil menyeka keringat di dahinya. Hari ini adalah salah satu hari yang paling sibuk baginya. Ada pesanan besar dari salah satu hotel mewah di Bandung untuk acara besar.
Pagi itu, Zara harus memercayakan anak kembarnya, Nathan dan Nala, kepada bik Nia yang selama ini membantunya. Meskipun berat meninggalkan anak-anaknya, Zara tahu bahwa pekerjaannya adalah bagian dari tanggung jawabnya.
"Bibi, titip Nathan dan Nala ya, hari ini aku harus ke hotel untuk antar pesanan katering," pinta Zara sambil mencium pipi si kembar yang masih tertidur pulas.
"Tenang saja, Non Zara. Bibi akan jaga mereka baik-baik seperti biasanya," balas Bibi Tini sambil tersenyum.
Zara tersenyum tipis, lalu bergegas ke tokonya. Bersama Amanda, mereka segera menyiapkan kue-kue yang akan dikirim. Mereka memastikan semuanya sudah lengkap mulai dari cupcake, tartlet, hingga kue besar sebagai centerpiece. Zara tak pernah main-main dalam menyiapkan pesanan. Ia tahu bahwa ketelitian dan rasa yang enak adalah kunci kesuksesan bisnisnya.
Dua jam sebelum acara dimulai, Zara dan Amanda sudah berada di ballroom hotel yang luas dan mewah. Langit-langit yang tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan membuat Zara sedikit gugup. Ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan pesanan katering sebesar ini.
"Wow, Mbak Zara, tempat ini megah sekali. Aku jadi gugup!" Amanda berbisik sambil melihat sekeliling.
"Iya, aku juga. Tapi, jangan sampai gugup. Kita harus fokus," balas Zara sambil menyusun kue-kue di meja panjang.
Namun, Zara tak menyangka bahwa apa yang akan ia temui di tempat ini akan mengubah harinya. Saat tengah sibuk menata kue di meja, dari sudut matanya, Zara menangkap sosok yang tak asing. Davendra. Pria itu berdiri dengan tenang di sudut ruangan, dikelilingi oleh beberapa orang yang sepertinya sedang mengurus persiapan acara.
Jantung Zara seketika berdebar kencang. Ia terkejut, tak menyangka akan bertemu dengan pria yang telah lama ia pendam dalam ingatan, mantan bosnya sekaligus ayah dari kedua anaknya, Nathan dan Nala.
“Tidak mungkin ...,” gumam Zara pelan.
Zara ingat jelas bagaimana ia dulu bekerja di bawah Davendra memegang bagian wardrobe di rumah produksinya, serta keperluan sang aktor. Pria itu selalu dingin, profesional, dan tak pernah memperlakukannya berbeda dari karyawan lain. Hanya saja, saat itu Zara memang sangat memujanya dan perasaannya pada Davendra perlahan tumbuh, dan semakin dalam. Hingga satu malam, pada momen yang tak terduga ia menjebak Davendra dan dari sanalah lahir Nathan dan Nala. Setelah kejadian itu, beberapa bulan kemudian Zara memilih mengundurkan diri, menyingkir dari kehidupan Davendra dan memilih membesarkan anak-anaknya sendirian.
"Mbak Zara, apa Mbak baik-baik saja?" tanya Amanda yang melihat wajah wanita itu tiba-tiba pucat.
"Tidak, aku baik-baik saja. Lanjutkan saja menata kuenya," jawab Zara dengan suara yang hampir bergetar.
Tapi benarkah ia baik-baik saja? Di dalam hatinya, ada badai yang sedang bergemuruh. Kenyataan bahwa Davendra akan bertunangan hari ini menghantamnya seperti petir di siang bolong. Apalagi, acara pertunangan itu diadakan dengan mewah dan penuh kemegahan. Sementara dirinya, ibu dari anak-anaknya, hanya berada di pojok ruangan sebagai penyedia kue.
Zara mencoba menarik napas panjang, menenangkan hatinya. "Aku tidak boleh seperti ini," gumamnya dalam hati.
Ia tak berani menatap Davendra lama-lama. Bagaimana mungkin ia bertemu dengan pria itu di saat seperti ini? Dan untuk acara apa pesanan katering ini? Pikirannya berkecamuk, namun ia mencoba tetap tenang. Hatinya hancur saat melihat seorang wanita cantik berambut panjang menghampiri Davendra dan menggandeng lengannya mesra. Camilia. Model ternama yang selama ini sering muncul di media bersama Davendra.
"Ini pasti acara pertunangan mereka," batin Zara, sambil menelan ludah. Rasanya seperti ada ribuan jarum yang menusuk hatinya.
Saat ia berusaha tetap tenang dan kembali mengatur kue-kue di meja, tiba-tiba Davendra berjalan melewatinya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Zara merasakan tatapan dingin dari pria itu.
Davendra tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya tanpa ekspresi, seolah Zara hanyalah orang asing yang kebetulan ada di ruangan itu.
"Apakah dia benar-benar tidak mengenaliku?" pikir Zara. Hatinya semakin hancur melihat sikap acuh tak acuh Davendra.
"Amanda, aku akan keluar sebentar," ujar Zara tergesa-gesa. Ia tak bisa bertahan lebih lama di sana. Udara di dalam ruangan terasa semakin menyesakkan.
Zara keluar dari ballroom, mengambil napas panjang di koridor hotel yang sepi. Pikirannya terus berputar, memikirkan bagaimana nasibnya kini, sendirian membesarkan anak-anak mereka tanpa pernah memberitahu Davendra. Bagaimana ia bisa mengungkapkan kebenaran ini? Apakah pria itu pantas tahu? Tapi, ini adalah kesalahannya dan pada saat itu Davendra juga tidak menyadari jika telah melakukan malam panas dengannya. Ya, karena saat pria itu tertidur pulas setelah mengambil mahkota Zara dalam gelapnya penerangan di kamar, Zara memilih meninggalkan pria itu sebelum Davendra menyadari telah menghabiskan malam dengan gadis yang biasa saja.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Zara menoleh dan melihat Davendra berdiri di ujung koridor. Pria itu menatapnya tajam, masih dengan ekspresi yang sulit ditebak. Hati Zara semakin berdebar.
"Zara," panggil Davendra dengan nada datar, namun cukup membuat Zara merasa kakinya lemas.
"Selamat siang, Pak Deva, sudah lama tidak bertemu,” jawab Zara berusaha menjaga jarak, sekilas ia pun gugup.
Davendra berjalan mendekat, "Mmm ... kenapa kamu bisa ada di sini?" Pria itu menyadari jika wanita itu adalah mantan tim manajemennya, lima tahun yang lalu.
Zara merasa lidahnya kelu. Apa yang harus ia katakan? Bahwa ia tidak sengaja menerima pesanan katering untuk acara pertunangan mantan bosnya?
"Saya ... hanya bekerja. Ini pesanan untuk katering," jawab Zara pelan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
Davendra tak menjawab, hanya menatapnya lama. Seolah ada sesuatu yang ia coba pahami dari Zara. Momen ini terasa aneh bagi keduanya. Tak ada yang menyangka bahwa pertemuan tak terduga ini akan membangkitkan kenangan masa lalu yang sudah berusaha dikubur dalam-dalam bagi Zara sendiri, bukan Davendra.
Namun sebelum Davendra sempat bertanya lebih lanjut, suara Camilia terdengar dari balik pintu, memanggil pria itu untuk kembali ke dalam. Pria itu menatap Zara sekali lagi sebelum berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Zara berdiri diam di tempat, merasa dunia seakan runtuh di hadapannya.