Bab 4. Kenangan Yang Terbuka

1176 Kata
Acara pertunangan Davendra dan Camilia berlangsung meriah. Ruang ballroom mewah itu dipenuhi dengan lampu kristal berkilauan, bunga-bunga segar yang disusun indah di setiap sudut, dan para tamu yang tampil glamor. Musik lembut mengalun, mengiringi percakapan ramah di antara para undangan. Di sudut ruangan, Zara baru saja dari menyapa Davendra, pria yang sangat ia cintai dalam diam selama bertahun-tahun di luar ballroom. Zara berusaha menenangkan hatinya saat berjalan menuju meja prasmanan yang telah ia tata dengan kue-kue buatan tokonya. Wajahnya tetap tersenyum, meskipun di dalam, hatinya berkecamuk melihat sang aktor berdiri di tengah keramaian bersama tunangannya, Camilia. Rasanya aneh. Di satu sisi, ia turut bahagia melihat Davendra, pria yang dulu selalu ia ikuti ke mana saja karena pekerjaan, akhirnya menemukan kebahagiaannya sendiri. Namun, di sisi lain, ada rasa perih yang tak bisa ia tolak. “Zara?” Sebuah suara familiar memanggilnya dari belakang. Zara menoleh dan melihat Reza, pria yang sekarang menjadi asisten pribadi Davendra, berjalan mendekatinya dengan senyum lebar . “Mas Reza?” jawab Zara, sedikit terkejut. Sudah lama mereka tidak bertemu, tapi kenangan tentang Reza masih cukup kuat di ingatannya. “Wah, tidak disangka bisa bertemu dengan Mas Reza di sini.” Reza mengangguk sambil tersenyum ramah. “Iya, nggak nyangka ya, bisa ketemu kamu lagi di sini, Zara. Aku sekarang jadi asisten pribadinya Pak Dave, loh. Eh, ngomong-ngomong kamu tinggal di Bandung sekarang dan kok bisa di sini?” Zara mengangguk sambil mengalihkan pandangannya ke meja prasmanan yang ia urus. “Iya, udah lima tahun di Bandung setelah resign kerja. Aku buka toko kue di sini. Ini kue dari toko kue-kue.” Zara menunjukkan ke arah meja prasmanan kue. ”Wah, nggak nyangka Mas Reza jadi aspri Pak Dave,” lanjut kata Zara mengingat dulu Reza hanya sebagai staf manajemen artis. Reza memandang Zara dengan tatapan penuh kekaguman. “Wah, kamu juga berubah banget, Zara. Cantik banget sekarang. Beda sama lima tahun lalu, waktu kamu masih ... gimana ya, lebih sederhana. Sekarang kelihatan lebih dewasa dan modis.” Zara tersenyum tipis mendengar pujian Reza, meskipun di dalam hatinya, ada keraguan yang muncul. “Makasih, Mas Reza. Aku memang banyak berubah ... hidup banyak berubah.” Reza menatap Zara seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi menahan diri. Zara tahu apa yang mungkin dipikirkan Reza. Lima tahun lalu, Zara memang jauh berbeda. Saat itu, ia hanyalah gadis sederhana dengan mimpi besar dan semangat yang ceria. Tapi hidup mengajarkannya banyak hal, terutama setelah ia melahirkan sepasang anak kembar. Waktu dan pengalaman telah membentuknya menjadi wanita yang lebih matang, meski tetap ada rasa yang tertinggal di masa lalu. Di seberang ballroom, Davendra yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu, mencuri pandang ke arah Zara dan Reza. Sekilas, ia melihat keduanya sedang berbincang santai, senyum menghiasi wajah mereka. Namun, ada sesuatu di balik senyuman Zara yang membuat Dave memicingkan mata. Tiba-tiba, ingatan lima tahun yang lalu kembali menghantamnya. Sebuah momen yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. “Zara ... waktu itu... di ruang ganti.” Lima tahun yang lalu, di ruang ganti sebuah studio. Zara sedang duduk di sofa, wajahnya terlihat pucat, tetapi masih mencoba tersenyum saat Davendra masuk, lalu wanita itu bergegas membantu Davendra berganti baju. “Zara? Kamu baik-baik aja?” tanya Davendra, menyadari raut wajah lelah di wajah karyawannya itu. Zara mendongak dengan cepat, sedikit terkejut melihat Dave. “Eh, Pak Dave ... iya, saya baik-baik aja kok. Hanya ... capek sedikit.” Davendra memperhatikan lebih saksama. Ada sesuatu yang berbeda dari Zara saat itu. Pakaiannya lebih longgar dari biasanya, kaos kebesaran yang hampir menutupi seluruh tubuh mungilnya. Namun, yang paling mengganggunya adalah saat Zara tanpa sadar mengusap perutnya yang terlihat sedikit membuncit. Waktu itu, Dave tak mengatakan apa-apa, tapi ada sesuatu yang terasa janggal. Zara belum menikah. Setidaknya, itu yang Dave tahu saat itu. Tetapi kenapa ia terlihat seperti sedang hamil? Kembali ke masa kini, Davendra tersentak dari lamunannya saat Camilia menepuk lengannya. “Kak Dave, ayo ke sini. Ada yang mau foto bareng kita,” pinta Camilia dengan senyum cerah yang memancarkan kebahagiaan. Davendra tersenyum paksa, lalu mengangguk. “Iya, sebentar.” Tapi pikirannya tetap teralihkan. “Zara ... waktu itu sedang hamilkah? Apa mungkin? Dan jika iya, anak siapa? Dia belum menikah?” Pertanyaan itu menggelayut di benaknya, mengganggu pikirannya bahkan di tengah kebahagiaannya saat ini. *** Di meja prasmanan, Zara melanjutkan obrolannya dengan Reza. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari pekerjaan, kehidupan di Bandung, hingga nostalgia tentang masa lalu. “Jadi, sekarang kamu punya anak kembar? Wah, pasti seru ya punya dua anak sekaligus!” ujar Reza dengan tawa lebar. Zara tersenyum, meskipun ada kepedihan kecil di matanya. “Iya, seru ... tapi juga melelahkan. Mereka berdua benar-benar menguras energi, tapi aku nggak bisa bayangin hidup tanpa mereka.” Wanita itu terpaksa bercerita sudah menikah dan memiliki anak kembar, sesuai dengan status yang selalu ia sampaikan kepada tetangga dan para karyawan toko kuenya, ketimbang nanti jadi buah bibir. Hanya bik Nia yang tahu sejarahnya. “Kamu hebat, Zara. Punya usaha sendiri, ngurus anak kembar, dan tetap bisa tampil sebaik ini. Salut!” ujar Reza dengan tulus. “Ah, biasa aja kok. Semua ibu pasti kayak gini, Mas Reza,” balas Zara dengan merendah. Namun, di balik percakapan santai itu, Zara tahu ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. “Davendra ....” Pikirannya terus tertuju pada pria itu, meskipun ia tahu, semuanya sudah berbeda sekarang. “Pak Dave sudah punya Camilia, dan aku ... aku punya hidupku sendiri.” Tapi, kenapa Davendra harus muncul lagi di hidupnya sekarang? Setelah lima tahun berlalu. Dan kenapa kenangan itu, tentang kejadian lima tahun yang lalu, begitu mengganggunya? Ia berharap siang ini bisa berakhir dengan cepat, sebelum segala perasaan yang ia simpan rapat-rapat selama ini kembali mencuat. Sementara itu, di sisi lain ballroom, Davendra tak bisa lagi mengabaikan rasa penasarannya. Setelah acara foto selesai, ia melihat ke arah Zara sekali lagi. Kali ini, perasaannya tidak bisa ia abaikan begitu saja. “Reza, Zara tinggal di Bandung, ya?” tanyanya begitu Reza mendekat setelah berkeliling dengan tamu-tamu lainnya. “Iya Pak, dia udah lima tahun tinggal di sini. Punya toko kue sendiri sekarang. Pak Dave tahu, Zara udah jadi ibu dari sepasang anak kembar? Gila ya, rasanya baru kemarin kita kerja bareng, sekarang dia udah berubah banyak, makin cantik. Padahal dulu biasa saja,” jawab Reza sambil tersenyum. Davendra terdiam, perasaan aneh merayapi benaknya. “Lima tahun yang lalu ... anak kembar? Apa mungkin waktu aku lihat perutnya buncit sedang hamil? Dan, sudah menikah. Ta-tapi kenapa tidak ada undangan nikahnya?” batinnya. “Berarti Zara sudah menikah?” tanya Davendra penasaran. “Kalau sudah punya anak, berarti ... ya sudah menikah dong, Pak Dave,” jawab Reza santai. “Zara ...,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Camilia yang ada di sebelahnya menggenggam tangannya erat. “Sayang, kamu kenapa? Kelihatannya kepikiran sesuatu?” Davendra tersenyum tipis, menenangkan tunangannya. “Nggak apa-apa, cuma kepikiran soal pekerjaan aja,” jawab Davendra penuh dusta. Tapi dalam hati, ia tahu bahwa ini bukan masalah pekerjaan. Ada sesuatu yang harus ia ketahui. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN