Bab 2. Memori Lima Tahun Lalu

992 Kata
Zara memandangi langit-langit kamar tidurnya yang remang. Di sisi kirinya, Nathan dan Nala tertidur pulas, napas kecil mereka teratur seperti melodi yang menenangkan. Senyum tipis tersungging di bibir Zara. Mereka adalah dunia baginya sekarang, tapi pikirannya sering melayang jauh ke masa lima tahun yang lalu, saat semuanya belum serumit ini. Saat itu, Zara baru berusia 19 tahun. Hidupnya sederhana, tetapi penuh ambisi. Kala itu, ia pun berhasil bekerja di manajemen artis dan merasa sudah berada di jalan yang benar, hingga tak terasa sudah setahun berjalan. Bekerja di dunia yang ia impikan, di mana gemerlapnya hiburan selalu berputar, dan yang paling penting, bisa dekat dengan seseorang yang selama ini hanya ada dalam mimpinya, Davendra Azril Orlando, pada saat itu masih berusia 28 tahun. "Aku nggak nyangka bisa jadi penanggung jawab wardrobe untuk Pak Davendra!" Zara masih bisa mengingat perasaan takjub yang ia rasakan ketika pertama kali mendapat tugas itu. Davendra bukan sembarang aktor. Pria berdarah Turki itu sangat tampan dengan caranya sendiri. Matanya yang tajam dan kulit kuning eksotis membuat siapa pun yang melihatnya terpesona. Zara terobsesi, lebih dari sekadar penggemar biasa. Baginya, Davendra adalah puncak dari segala impian yang bisa diraih. Semua berawal dari mimpinya untuk lebih dekat dengan Davendra. Zara ingat bagaimana ia meninggalkan kuliahnya demi fokus pada pekerjaan ini. "Aku bisa balik kuliah kapan aja." Begitu pikirnya dulu, meski kini kenyataannya berbeda. Semua itu semata-mata demi bisa berada di sisi Davendra, meskipun hanya dalam ruang lingkup profesional. Tapi, Zara tahu, hatinya menginginkan lebih. Suatu malam, setelah jadwal syuting yang melelahkan, tim film memutuskan untuk melepas penat di sebuah klub malam. "Kamu ikut’kan, Zara?" ajak Reza, salah satu rekan kerjanya. Zara tersenyum kecil dan mengangguk. Tentu saja ia ikut. Ada Davendra di sana, dan itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan. Dalam klub yang gemerlap dengan lampu neon, musik menghentak keras di telinga, dan suasana hangat alkohol memenuhi udara. Zara menyesap minuman soda di tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Davendra yang duduk bersama beberapa kru lainnya. Zara tahu Davendra suka bersenang-senang, tapi malam itu ada sesuatu yang berbeda. Ia bisa melihat kelelahan di wajah pria itu. "Sepertinya dia butuh sesuatu untuk rileks," batin Zara. Ia merogoh saku tas kecilnya dan mengambil satu butir pil yang sengaja ia bawa. Pil perangsang yang ia beli diam-diam, berharap bisa menjadi jalan untuk mendekatkan mereka. Tak ada rasa ragu atau takut dalam dirinya. Ini adalah kesempatan yang sudah lama ia tunggu. Zara berjalan mendekat, tersenyum sambil menyodorkan minuman kepada Davendra. "Minum ini, Pak Dave. Kelihatannya Pak Dave butuh yang lebih segar," ujar Zara dengan nada yang lembut sekaligus menggoda. Davendra menatapnya sejenak sebelum mengambil minuman itu tanpa curiga. Dalam beberapa tegukan, minuman itu habis. Tak butuh waktu lama sebelum efek dari pil itu mulai terasa. Zara bisa melihat perubahan di mata Davendra, tatapannya yang mulai kehilangan fokus, cara tubuhnya yang lebih rileks, namun juga tegang pada saat yang sama. Zara merasa jantungnya berdetak cepat. "Ini dia," pikirnya. Kesempatan yang selama ini ia tunggu. Malam semakin larut. Orang-orang mulai bubar satu per satu, dan entah bagaimana, Zara menemukan dirinya bersama Davendra di kamar hotel yang gelap. Lampu temaram nyaris tidak menyisakan bayangan di dinding. Bau alkohol masih terasa di udara. Namun yang lebih kuat adalah rasa keinginan yang tiba-tiba membuncah. Zara mendekat, tubuhnya merapat ke Davendra yang sudah setengah sadar. Pria itu tidak menolak, malah membalas dengan sentuhan yang lebih intens. Zara tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti. Malam itu adalah malamnya, dan hanya itu yang penting. "Camilia ...." Suara Davendra terdengar berat, hampir seperti bisikan di telinganya. Ya, Camilia, kekasih hati Davendra, Zara tidak peduli saat pria itu bukan menyebut namanya. Napas pria itu hangat di kulit lehernya, dan Zara tenggelam dalam momen yang ia impikan selama ini. Sentuhan tangan Davendra di kulitnya, desahan napasnya, semuanya terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi nyata. Dalam gelap, mereka menyatu. Tak ada kata-kata, hanya hasrat yang terpendam selama ini yang akhirnya meledak tanpa kendali. Zara tak pernah menyesali apa yang terjadi malam itu. Baginya, itu bukan kesalahan. Itu adalah impian yang terwujud, sesuatu yang sudah lama ia idamkan. Ia tahu Davendra mungkin tidak akan pernah mengingatnya, mungkin juga tidak akan peduli. Tapi bagi Zara, malam itu sudah cukup untuk mengisi ruang kosong di hatinya selama bertahun-tahun. Namun, hidup terus berjalan. Beberapa minggu setelah malam itu, Zara mulai merasakan perubahan di tubuhnya. Ia mencoba mengabaikannya pada awalnya, berpikir bahwa mungkin hanya efek stres atau pola makan yang kacau. Tapi ketika tes menunjukkan dua garis merah, Zara tahu hidupnya akan berubah selamanya. "Aku hamil ...," bisiknya pelan, terkejut sekaligus takut. Dalam hati, ia sudah tahu siapa ayah dari bayi itu. Tidak ada orang lain, hanya Davendra. Setelah mengetahui dirinya hamil, Zara berusaha menjalani hidup seperti biasa, meskipun kehamilannya semakin besar. Ia tidak pernah memberitahu Davendra, dan Zara memutuskan berhenti bekerja saat perutnya sudah kelihatan membesar. Baginya, pria itu tidak perlu tahu. Zara memutuskan untuk menghadapi semuanya sendiri, tanpa perlu melibatkan sang aktor. Karena ia tahu, aktor itu tidak akan pernah menyukai gadis biasa saja seperti dirinya. Ia pun juga diusir oleh kedua orang tuanya dari rumah saat terungkap kehamilannya tanpa ikatan pernikahan. Dan, Zara menerima konsekuensi atas kesalahannya sendiri, dan tidak mengabulkan permintaan kedua orang tuanya untuk mengugurkan kandungannya kala itu. Zara kembali memandangi kedua anak kembarnya. Nathan dan Nala, hasil dari malam penuh gairah itu. Dua makhluk kecil yang kini menjadi alasan hidupnya. Meskipun masa lalu begitu rumit dan penuh dengan kesalahan, Zara tidak pernah menyesali keputusan yang ia ambil lima tahun yang lalu. Ia sudah memilih jalannya sendiri, dan sekarang ia bertanggung jawab atas kehidupan yang ada di tangannya. Senyum Zara semakin lebar. Ia tahu hidupnya tidak sempurna, tapi setidaknya ia punya Nathan dan Nala—dua hal terbaik yang pernah ia miliki. Meskipun cinta terhadap Davendra dulu begitu kuat, kini cinta itu telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih besar. Cinta seorang ibu pada anak-anaknya. Zara menghela napas panjang, lalu berbisik pelan, “Aku nggak nyesel. Semua yang terjadi, terjadi karena harus terjadi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN