Pesta pertunangan Davendra dan Camilia akhirnya selesai, yang begitu meriah dengan gelak tawa, musik, dan ucapan selamat dari para tamu mulai mereda. Zara bernapas lega. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya di meja prasmanan dan kini bergegas merapikan barang-barang serta piring bersama Amanda, karyawannya.
“Fiuh, akhirnya selesai juga, Mbak Zara,” ujar Amanda sambil menumpuk piring kosong ke dalam satu keranjang besar.
Zara tersenyum tipis. “Iya, Amanda. Habis ini kita bisa langsung pulang. Capek juga, ya?”
“Banget. Tapi acaranya keren banget, ya, Mbak. Gila, aktor seganteng Davendra itu akhirnya bertunangan, setelah sempat nyambung putus sama si Camilia itu,” balas Amanda dengan nada terkagum-kagum.
Zara hanya tersenyum lagi, kali ini lebih kecut. Hatiku masih campur aduk, pikirnya. “Davendra, pria yang dulu sangat aku cintai. Sekarang, dia milik orang lain.”
Namun, Zara menepis pikirannya secepat mungkin. Ia tidak boleh larut dalam perasaan ini. Segalanya sudah berubah. Sekarang, yang terpenting adalah pulang, kembali ke kehidupannya yang sudah ia bangun dengan susah payah, jauh dari gemerlap dunia selebriti.
Sementara itu, dari kejauhan, Davendra berdiri dengan tangan terselip di saku celana, matanya tak lepas memandang Zara yang sedang sibuk merapikan meja prasmanan. Hatinya berkata ingin menyapa kembali, ingin menanyakan kabar, tapi ia menahan diri.
“Buat apa?” pikirnya. “Toh, dia hanya mantan karyawan. Lagi pula, dia bukan siapa-siapaku.”
Namun, meski logikanya mengatakan untuk melupakan, ada sesuatu yang tetap mengganjal di hatinya. “Kenapa bayangan Zara terus kembali? Kenapa aku terus ingat malam itu?”
Pikiran Davendra kembali ke lima tahun yang lalu, di sebuah klub malam. Kala itu, ia sedang dalam keadaan mabuk berat. Ia baru saja bertengkar hebat dengan Camilia sebelum memutuskan singgah ke klub malam, dan malam itu, Zara ada di sana.
***
Lima Tahun yang lalu. Malam itu, lampu-lampu neon berkedip-kedip di sepanjang dinding klub. Musik berdentum keras, dan Davendra duduk di pojok bar, mabuk setelah menenggak terlalu banyak minuman keras. Wajahnya terlihat kusut, pikirannya kacau setelah pertengkaran sengit dengan Camilia. Seakan dunia runtuh di atas kepalanya.
Zara, yang kebetulan juga berada di klub malam itu bersama beberapa temannya, melihat Davendra dalam keadaan yang menyedihkan. Tanpa ragu, ia mendekatinya.
“Pak Dave, Bapak tidak apa-apa?” tanya Zara, suaranya pelan tapi penuh perhatian.
Davendra hanya mengangkat kepala sedikit, matanya setengah tertutup karena pengaruh alkohol. “Zara ...,” gumamnya. Ia terdengar jauh dan tak fokus.
Zara melihat gelas kosong di depannya dan kebetulan sekali ia sudah membawa gelas yang terisi. “Minum ini, Pak Dave. Kelihatannya Pak Dave butuh yang lebih segar,"
Tanpa banyak kata, Davendra menerima air itu dan meneguknya. Dalam keadaan setengah sadar, ia hanya bisa merasakan kepedulian Zara. Sejak saat itu, semuanya terasa buram baginya. Ia tak ingat bagaimana malam itu berakhir, namun yang jelas, ia bangun di sebuah kamar hotel dengan tubuhnya telanjang di bawah selimut.
Yang paling mengejutkan adalah darah yang sudah mengering di kain seprai. “Apa yang terjadi malam itu?” pikirnya panik. Kepalanya pusing, tapi rasa bersalah jauh lebih kuat menghantamnya.
“Aku tidur dengan seseorang? Tapi siapa?” pikirnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, marah karena tak bisa mengingat detailnya. Namun, setelah menunggu beberapa hari, tidak ada satu pun wanita yang mengaku telah bersamanya malam itu. Kejadian itu perlahan terlupakan di benaknya, tersimpan sebagai memori yang samar.
Kini, lima tahun kemudian, bayangan malam itu kembali menghantuinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa Zara terus muncul di pikirannya? Davendra menggigit bibirnya, hatinya gelisah. Zara .... “Apakah dia tahu siapa wanita yang tidur denganku? Karena, nggak mungkin aku tidur dengan Camilia.”
Camilia datang menghampirinya, dengan senyum yang hangat. “Sayang, Kak Dave baik-baik aja? Dari tadi kok diam aja.”
Davendra tersentak. “Oh, iya ... aku cuma agak capek,” jawabnya sambil tersenyum kecil. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengalihkan pikirannya dari kenangan yang kembali menyakitkan itu.
“Kak Dave yakin?” Camilia menatapnya dengan curiga. “Kelihatannya Kak Dave nggak sepenuhnya di sini, deh.”
“Iya, aku yakin. Mungkin aku butuh udara segar sebentar,” ujar Davendra akhirnya. “Aku keluar sebentar, ya.”
Camilia mengangguk meski tampak sedikit ragu. “Oke, tapi jangan lama-lama, ya?”
Davendra berjalan menuju balkon ballroom, udara menjelang malam yang sejuk menyambutnya. Ia menatap langit yang mulai tampak gelap, mencoba meredakan kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya. Namun, pikiran tentang Zara tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Tak lama, Reza, asisten pribadinya, datang menyusul. “Pak Dave, Anda tidak apa-apa? Atau mungkin butuh sesuatu?”
Davendra menghela napas. “Nggak tahu, Reza. Saya tiba-tiba kepikiran soal Zara.”
“Zara?” Reza mengangkat alis, terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Davendra. “Kenapa tiba-tiba kepikiran dia?”
Davendra terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya pelan, hampir seperti berbisik. “Lima tahun lalu ... saya ingat kita pulang syuting film, beberapa karyawan menemani saya di klub malam termasuk Zara dan kamu. Malam itu saya mabuk banget ... terus, ada sesuatu yang terjadi.”
Reza terdiam, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Saya tidak ingat detailnya, tapi waktu saya bangun di pagi hari, saya di kamar hotel ... dan ... ada sesuatu yang aneh,” lanjut Davendra dengan nada canggung.
“Aneh gimana, Pak?” tanya Reza penasaran.
“Ada darah di seprai ... saya nggak tahu apa yang terjadi, tapi kayaknya saya tidur sama seseorang,” ujar Davendra dengan wajah penuh penyesalan. “Tapi sampai sekarang, tidak ada yang bilang apa-apa tentang malam itu. Dan saya tidak tahu siapa wanita itu, nggak mungkin juga itu darah binatang.”
Reza terkejut mendengar pengakuan Davendra. “Terus, Pak Dave pikir Zara ada hubungannya?”
Davendra mengangguk perlahan. “Iya, mungkin dia tahu sesuatu. Soalnya, dia ada di klub malam itu juga, dan seingat saya dia masih ada setelah semuanya pada bubar pulang. Saya pikir, mungkin dia tahu siapa wanita itu ... atau bahkan ....” Davendra tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Pikirannya terlalu kalut.
Reza menatap bosnya dengan serius. “Kalau Pak Dave bener-bener pengen tahu, kenapa tidak bertanya langsung aja ke Zara? Siapa tahu dia masih ingat, tapi ini kejadian sudah lama sekali."
Davendra terdiam. “Tanya langsung ke Zara?” Sesuatu di dalam dirinya terasa menahan. Tapi ia tahu, hanya Zara yang mungkin bisa memberikan jawaban atas kejadian lima tahun yang terus menghantuinya ini.
“Reza, tolong jaga rahasia apa yang barusan saya ceritakan kepada siapa pun termasuk pada Camilia, karena selama ini saya tidak pernah bercerita mengenai hal itu pada siapa pun.”
“Baik Pak Dave. Rahasia pasti akan terjaga dengan baik."
***
Sementara itu, Zara sudah hampir selesai membereskan barang-barangnya. Amanda sedang membawa keranjang terakhir ke dalam mobil sewaan. Zara merasa kelelahan, tapi setidaknya pekerjaan hari ini sudah selesai.
Namun, saat ia berbalik untuk pergi, langkahnya terhenti. Di depan pintu ballroom, berdiri Davendra, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Hatinya berdebar lebih cepat. “Apa yang Pak Dave lakukan di sini?”
“Zara,” panggil Davendra, suaranya terdengar ragu.
Zara mengangkat alis, sedikit bingung. “Pak Dave? Ada apa?”
Davendra berjalan mendekatinya, matanya menatap tajam ke arah Zara, aura dinginnya seakan menyergapnya. “Saya mau menanyakan sesuatu. Kamu masih ingat tentang lima tahun yang lalu ... di klub malam sepulang saya syuting film Berbagi Cinta.”
Zara tersentak, wajahnya berubah pucat. “Lima tahun lalu? Di klub malam? Kenapa sekarang dipertanyakan?” batinnya mulai was-was.
“Apa kamu ingat malam itu? Saat kamu kasih minum ke saya?” tanya Davendra, suaranya lebih pelan, tapi penuh tekanan.
Zara menghela napas dalam-dalam. Jelas, ia tahu apa yang dimaksud Davendra. Tapi, ia tak pernah ingin membahasnya lagi, itu kenangan indah sekaligus kenangan buruk baginya. “Pak Dave ... maaf saya tidak terlalu ingat. Soalnya kejadiannya sudah lama. Lagi pula kenapa kejadian dulu Pak Dave pertanyakan sekarang jika merasa sesuatu ada yang aneh, seharusnya saat usai kejadiannya, langsung bertanya?” balik bertanya Zara dengan hati-hati.
Davendra menarik napas, lalu membuang pandangannya ke sudut yang berbeda. Apa yang dikatakan oleh Zara memang benar, seharusnya ia bertanya kecurigaannya itu pada saat usai kejadian bukan setelah lima tahun berlalu.
Zara, berusaha pura-pura tenang, tapi aslinya debaran jantungnya tidak bisa ia tenangkan. Hatinya berharap Davendra tidak bertanya kembali padanya.
“Memangnya ada kejadian apa di klub waktu itu, Pak Dave?” tanya Zara pura-pura penasaran.
Davendra kembali menatap Zara, lidahnya kelu untuk bertanya. Apalagi ini mengenai privasinya sendiri.
Sebelum Davendra menjawab, suara Amanda memanggil Zara dari kejauhan. “Mbak Zara, mobilnya udah siap!”
Zara menatap Davendra sekali lagi, mencoba mengendalikan perasaannya. “Pak Dave, maaf saya harus pergi.”
Davendra hanya bisa menatap kepergian Zara, dengan jawaban yang masih menggantung di udara.