“Bangsal kosong?”
Mbah Rahwuni tersenyum mendapati Sekar yang terheran dengan ruangan kosong dan gelap itu.
“Mbah kita ngapain ke ruangan ini?” tanya Sekar kebingungan.
Pandangannya tak henti-hentinya ia edarkan ke seluruh ruangan. Namun, kedua matanya tak menangkap apa pun di sana. Hanya gelap dan gelap yang ia lihat. Bahkan pencahayaan pun tak boleh dinyalakan ketika mereka memasuki bangsal tersebut.
“Mbah hebat, bisa lihat jalan walau gelap begini,” ucap Sekar.
“Hust aja bawel, meneng o wae!” Sekar terdiam, ketika Mbah Rahwuni memintanya untuk berdiam diri.
Banyak pertanyaan menyelimuti pikiran Sekar. Namun, gadis itu hanya bisa memendamnya saja.
Setibanya di ruangan yang paling ujung belakang, Mbah Rahwuni berhenti. Ia meraba dinding yang berada di sebelah kiri pintu belakang. Tiba-tiba saja lantai yang berada di hadapannya terbuka. Terlihat cahaya lampu menerangi jalan setapak yang akan membawanya turun.
Langkah Sekar pun mengikuti ke mana nenek itu membawanya pergi.
Lorong kecil bercahaya lampu teplok dengan anak tangga yang terbuat dari batu kini berada di hadapan Sekar. Satu per satu kakinya ia pijakkan dengan penuh tanda tanya.
“Bingung Kowe, Nduk?” tanya Mbah Rahwuni.
“Iya, Mbah. Sebenarnya kita mau ke mana? Tempatnya sangat menakutkan, bahkan banyak energi negative di sini, Mbah.”
“Nanti kamu bakal ngerti sendiri jawabannya!”
“Dinding ini sepertinya telah menjadi saksi bisu ratusan kematian,” celoteh Sekar yang di balas senyuman oleh Mbah Rahwuni.
“Nduk, semoga kamu bisa menjadi penerus kami. Mbah berharap bahwa kamu bisa menggunakan kelebihan yang ada pada dirimu untuk sesama.”
Langkah demi langkah mereka lalui hingga tiba di sebuah aula yang lumayan besar dengan desain interior dinding terbuat dari kayu.
Tak jauh dari tempat Sekar berpijak, ia melihat seorang wanita mengenakan pakaian Jawa kuno sedang duduk di altar.
“Dokter Diah!” ucap Sekar seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Ayo, Nduk. Mrene o!” ajak si Mbah untuk mendekat ke altar.
“Tak perlu takut kemarilah seperti biasa. Kaku menemuiku!” Terlihat senyum manis dari bibir Dokter Diah yang tak pernah Sekar lihat sebelumnya.
“Sekar selamat bergabung. Ibu harap kamu bisa membantu saya dan Mbah Rahwuni. Lambat laun kamu akan paham apa yang terjadi di sini. Satu hal lagi, sembunyikan tempat ini dari orang lain!” perintah Dokter Diah.
Sekar semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi, namun ia mencoba yang terbaik.
Angin berembus begitu kencang. Padahal, tak ada jendela di ruang bawah tanah. Bahkan aura energi yang pertama kali ia rasakan sangat berbeda dengan sekarang.
“Masuklah!” seru Diah dengan melempar beras yang telah dicampur dengan kunyit.
Pandangan Sekar tertegun menatap sesosok wanita dengan wajah mengerikan. Matanya yang melotot seakan ingin lepas dari kelopaknya, Hidung yang rata dengan bibirnya penuh darah segar.
Ia berdiri di anak tangga hingga Dokter Diah mengizinkannya untuk maju ke altar.
Sekar yang melihat wajahnya refleks memejamkan mata.
“Tak perlu takut!” ucap Mbah Rahwuni.
“Apa mau kamu?” tanya Diah dengan menaburkan wewangian dalam arang yang sudah terbakar.
“Tolong selamatkan saya, Nyai!”
“Pulanglah temui ibumu dan minta maaflah, setelah itu kamu akan merasakan damai.”
“Tapi, Nyai. Apakah ibu akan mendengarkan saya.”
“Setelah kamu temui, ibumu akan melihatmu dalam mimpi.”
Sosok hantu wanita itu berubah wajah. Wajah yang tadinya rusak kini berubah menjadi cantik.
“Terima kasih Nyai, ucapnya dan berlalu pergi.”
“Apa maksudnya semua ini. Kenapa hantu itu mendatangi Dokter Diah?” batin Sekar bertanya-tanya.
“Sosok hantu tadi korban kecelakaan. Ia sudah dua tahun tak bisa disempurnakan. Selain praktik medis, aku di sini membantu mereka yang tak terlihat.
Perlahan Sekar mengerti, hingga pada akhirnya ia belajar dengan begitu cepat.
***
Hari demi hari hingga bulan berganti bulan. Sekar telah belajar banyak ilmu dari Dokter Diah dan Mbah Rahwuni.
Akira lambat laun merasakan hal yang aneh, setiap hari ia selalu mendapatkan shift pagi belum pernah ia merasakan shift malam semenjak bekerja.
“Sekar kenapa kamu selalu mendapatkan shift malam. Memang kamu gak capek apa?” tanya Akira.
“Nanti aku tanyakan Dokter Diah. Harusnya kamu senang dapat shift pagi."
“Memang kenapa?”
“Kamu tahu sendiri rumor rumah sakit seperti apa?”
“Iya juga sih! Apalagi si Adit ya Sekar. Seharusnya ia jaga pagi terus.”
“Makanya itu, Adit tidak mau bekerja di rumah sakit. Dia trauma dengan para hantu yang mengganggunya,” ucap Sekar menertawakan Aditya.
“Kamu sendiri bagaimana, sering dilihatin yang aneh-aneh gak?”
“Sering, bahkan bermacam-macam bentuk dengan wajah yang mengerikan.”
“Enggaklah, aku milih jaga pagi saja kalau begitu.”
Sekar dan Akira saling bercengkerama, mereka saling bercerita tentang masa depan yang mereka inginkan.
“Sudahlah sana kamu berangkat. Hari ini aku akan pulang, kamu sendirian di rumah, ya?”
Akira mengangguk, ia paham bahwa sahabatnya akan menemui ibunya yang terbaring sakit.
***
“Assalamualaikum!”
“Bapak ... Ibu ... Mbak Yanti!” panggil Sekar dengan mengetuk pintu rumahnya. Namun, tak ada jawaban sama sekali dari penghuni rumah.
Segera Sekar menelepon bapaknya hanya sekedar untuk mengetahui kondisi sang Ibu. Beberapa kali Sekar menelepon, tapi tetap saja panggilan tak terjawab.
Hati Sekar mulai gundah gulana. Tangannya gemetar ketika jari jemarinya ingin menghubungi Heni.
“Assalamualaikum Hen, Bapak sama Ibu ke mana, ya. Heni tau gak?”
“Kamu ini, ya, Mbak. Sama orang tua sendiri gak pernah perhatian. Ibumu ada di rumah sakit Wilasa. Kalau gak mau jadi anak durhaka cepat temui karena hidup ibumu tidak akan lama lagi!” terang Heni dengan nada tinggi.
Mendengar kabar itu, Sekar menangis. Ia bergegas pergi menemui Ayundya.
***
“Bu, ini Sekar. Maafin sekar, Bu.”
Sekar tak bisa membendung lagi, air matanya pun menetes mengalir di pipi.
“Sekar kamu yang tabah ya, ikhlaskan ibumu pergi.”
Ketika Sekar tiba di rumah sakit, Ayundya telah di panggil ibunya terlebih dahulu. Penyesalan Sekar sangat menyakiti hatinya, sebagai seorang anak ia merasa durhaka karena tidak bisa menunggu ibunya.
Prosesi pemakaman belajar dengan khidmat. Sekar, terpaksa meninggalkan bapaknya untuk berangkat bekerja. Satu minggu sudah gadis itu cuti.
***
“Sekar, hari ini Dokter Raka di sini. Apa pun yang terjadi dengan Raka kamu harus menyimpan rahasia ini baik-baik.”
“Baik, Bu!”
Belum selesai mereka berbicara, Raka mengetuk pintu.
“Pagi, Dok!” sapa Raka.
“Permisi dulu, Bu.”
Sekar berpamitan dan memberi salam kepada Raka yang terlihat gelisah dari raut wajahnya. Merasa ada yang ganjil, Sekar pun menguping dari jendela.