11. Soda yang Manis

1812 Kata
Eva menggigiti bibir bawahnya hingga berdarah saking gugupnya. Dave tersenyum dan mengusap darah di sudut bibir Eva. “Kau gugup!” komentar Dave melihat reaksi berlebihan dari Eva. “Dengarkan penjelasanku Eva. Aku sama sekali tak ingin menyakitimu atau melakukan sesuatu yang tak kau sukai.” Eva menatap Dave dengan ragu. Dia lalu mengalihkan pandangan ke depan, menerawang. “Apa kau benar-benar bisa dipercaya?” Jujur, walaupun Dave menunjukkan perilaku baik, tetapi bukan berarti Eva tak takut bila harus ke tempat Dave sendirian. Bagaimanapun juga, ini pertama kali mereka berdua bertemu. Lagi pula, Eva tak punya banyak pengalaman dengan lelaki. “Aku bersumpah. Dan kau tak perlu takut. Okay?” Tanpa bertanya lebih lanjut sekalipun, Dave tahu bahwa ini adalah yang pertama kali bagi Eva untuk bermalam di tempat pria asing. Tentu saja, tampak sangat jelas bagi siapa saja, termasuk Dave, bahwa Eva adalah seorang perawan. Itulah sebabnya mengapa dua rekan Dave yang lain, Steve dan Lukas, tak berusaha mendekati Eva walaupun kecantikan alaminya tampak menonjol bila dibandingkan dengan Selena dan Rebecca. Steve dan Lukas tak akan bisa menghadapi keluguan dan kepolosan perawan yang kadang memiliki ketakutan berlebihan. “Baiklah,” persetujuan Eva membuat Dave tersenyum senang. Dave lalu melajukan mobil kembali ke apartemennya sambil mengobrol ringan dengan gadis cantik yang akan dibawanya pulang itu. Wajah Dave yang ramah tampak bersemu merah sesekali saat mendengar Eva bercerita tentang mendiang ayah dan ibunya. Dia pun tak segan-segan berbagi dengan Eva tentang kedua orang tua yang dia kasihi. “Apa kau tak merasa terganggu denganku?” “Maksudmu?” “Maksudku … aku tak memiliki banyak pengalaman dengan pria,” tanya Eva ragu. Dia tak percaya. Bahkan dirinya sendiri sebal menyebutkan bahwa dirinya seorang perawan. Hidup di dunia macam apa dia sampai dirinya merasa malu karena masih perawan di usianya yang telah menginjak sembilan belas tahun? “Kau tahu? Kedua orang tuaku tipe orang kuno yang kolot, terutama Ayahku. Mereka bahkan baru berciuman setelah satu tahun berkencan,” cerita Dave sambil tertawa. “Karena itulah, mereka berdua melarangku melakukan hubungan suami-istri di luar pernikahan.” “Wah, aku sama sekali tak menyangka kalau masih ada orang seperti itu di zaman sekarang. Kukira, pemikiran semacam itu sudah punah,” komentar Eva yang kini mendadak sangat percaya diri. Dia tak lagi merasa aneh dan minder. Dave tampak senang dengan respons Eva yang mulai lunak dan tidak canggung. Dia menambahkan cerita lain tentang pengalaman bersama kedua orang tuanya. “Aku pernah membawa teman wanita ke rumah saat masih di sekolah menengah. Saat itu, kami hanya mengerjakan tugas matematika. Namun, orang tuaku marah dan mengira aku melakukan yang bukan-bukan. Mereka lalu menghukumku tak boleh keluar rumah selama sebulan,” kenang Dave sambil tertawa. Eva pun tertawa mendengarnya, kemudian dia merasa ada yang aneh. Dahi Eva mengernyit dan menatap Dave kebingungan. “Lalu, mengapa sekarang kau membawaku pulang?” Wajah Eva berubah panik. Dia tak ingin berurusan dengan orang tua Dave yang galak dan masih berpegang teguh pada prinsip tidak ada seks tanpa pernikahan. Dave yang melihat kepanikan Eva justru hanya tertawa. “Eve, apa kau kira aku masih tinggal bersama orang tuaku di usia dua puluh lima tahun?” Eva hanya melongo menatap Dave setelah menyadari kebodohannya. Dave adalah seorang pria mapan, seorang marketing papan atas di perusahaan properti ternama di kota ini. Mengapa dia tak berpikir lebih logis? “Maaf, aku tak bermaksud mencelamu.” Muka Eva memerah karena malu. “Tak masalah, Eve,” jawab Dave dengan santai. “Aku sekarang tinggal sendiri dan sebenarnya aku hanya mematuhi kedua orang tuaku sampai usiaku delapan belas tahun.” Mulut Eva membentuk huruf O kecil tanda mengerti. Mendadak, dia merasa menggigil karena Dave mengamatinya dari atas ke bawah. Ah, seharusnya tadi dia memakai pakaian yang lebih tertutup. Memakai pakaian yang bahkan tak bisa menutupi pahanya dengan baik membuat Eva merasa seperti seorang wanita yang mencari mangsa. “Kita sampai!” seru Dave saat mereka sampai di sebuah bangunan besar yang terkesan elit. Apartemen Dave memiliki sistem pengamanan yang baik. Orang luar tak akan bisa masuk tanpa kartu khusus. Dave tersenyum, meyakinkan Eva yang tampak ragu-ragu untuk masuk ke apartemennya. Karena Eva tak segera melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam apartemen, pria tampan itu pun menarik pergelangan tangannya dan sedikit memaksa Eva untuk masuk secepatnya ke dalam, dengan lembut tentunya. Eva merasa terkesan dengan isi apartemen Dave yang sangat rapi. Dia hanya tahu tiga pria. Ayahnya yang dia bahkan tak ingat apakah penyuka kerapian atau bukan, Markus yang bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri, serta Declan yang sudah pasti tak akan sempat membereskan rumah atau ruangan kantornya. “Wow, kalau tidak tahu pemiliknya, aku akan mengira pemilik apartemen ini seorang wanita.” Eva berkomentar jujur sambil melihat-lihat hiasan-hiasan unik dari berbagai negeri. “Kau suka jalan-jalan?” “Orang tuaku yang jalan-jalan. Mereka selalu membawa cinderamata yang aneh untukku.” Dave menjawab sambil tertawa. Eva membayangkan bahwa orang tua Dave sebenarnya menyenangkan walaupun cukup kolot. “Kau mau minum apa?” tanya Dave sambil membuka kulkas. “Aku punya … oh … hanya tinggal Orange Crush.” Mendengar kata Orange Crush, kebahagiaan yang sempat hadir di hati Eva mendadak lenyap. Entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang kurang tepat saat ini. ‘Tidak, Eva! Lupakan Declan! Lupakan Declan!’ gumam Eva dalam hati. Dia memejamkan mata agar semakin berkonsentrasi dengan apa yang sedang dia lakukan bersama Dave. “Oh! Ada satu Coca Cola!” seru Dave sambil mengangkat kaleng Coca Cola. Dia juga mengambil beberapa butir apel dan pisang untuk kudapan malam. Sebenarnya, Dave memiliki cake dan cookies. Namun, dia memilih untuk mengambil makanan yang biasanya disukai wanita. Wanita mana yang tak takut gemuk karena makan makanan manis di malam hari. Sayangnya, tangan Dave yang penuh, tak bisa membawa semua bawaannya dengan baik dan berujung menjatuhkan apel dan kaleng Coca Cola. Suara ribut itu membuat Eva tersadar dan segera menghampiri Dave yang terlihat repot. “Maaf, aku tidak membantumu dari tadi,” ujar Eva seraya memunguti buah apel dan pisang yang berserakan di lantai. Eva dan Dave lantas menata makanan di meja. Eva yang masih belum bisa konsentrasi karena ‘mantra Orange Crush’ yang diucapkan Dave tiba-tiba merasa haus saat melihat kaleng Coca Cola dingin di meja. Dia dengan cepat meraih kaleng itu dan membukanya. Dave dengan cepat berseru, “Jangan itu–” Terlambat. Peringatan Dave berbarengan dengan semburan buih Coca Cola dari dalam kaleng, membuat sekujur muka dan pakaian Eva basah oleh cairan berwarna cokelat. “Bencana,” komentar Eva yang kini berpenampilan mengenaskan. Alih-alih cantik, dia bahkan terlihat seperti anak kucing yang baru saja tercebur ke bak cuci piring. “Hahaha ….” Mau tak mau, Eva dan Dave menertawakan kejadian konyol itu. “Apa kau butuh cermin? Kamera?” tanya Dave menggoda Eva. “Dasar!” Eva yang pura-pura kesal tak terima dia terlihat konyol sendirian. Gadis itu pun mengucurkan sisa Coca Colanya ke arah Dave yang tentu saja disambut teriakan protes sang tuan rumah. “Oh, jadi anak patuh akan berubah jadi badung setelah tengah malam?” komentar Dave sambil bercanda. Dia kemudian membalas dengan membuka kaleng Orange Crush di tangannya dan mengguyurkannya ke Eva. Alhasil, mereka berdua kini basah kuyup dan sangat manis, dalam arti yang sebenarnya. “Lihatlah hasil kelakuanmu!” protes Eva yang pura-pura merajuk. Ralat. Saat menyadari dia tak memiliki pakaian ganti, Eva benar-benar merajuk. “Tenang, kau bisa mandi dan memakai pakaianku,” timpal Dave berusaha menenangkan kekhawatiran Eva. “Aku tentu tak akan membiarkan tamuku masuk angin.” Eva hanya menggeleng sambil tersenyum. Dia kemudian segera membersihkan diri karena cairan manis yang membasahi tubuhnya sungguh terasa rekat-rekat dan membuatnya tak nyaman. “Aku pinjam kamar mandimu dulu, ya! Dan ingat! Jangan mengintip!” Dave tertawa. Mengintip atau tidak, dia sudah bisa membayangkan tubuh polos Eva karena pakaiannya saat ini benar-benar melekat sempurna, membentuk lekuk tubuh yang mempesona. *** Eva dan Dave yang kini sudah bersih sedang duduk berdampingan di sofa sambil menonton film. Eva menjaga jarak dari Dave karena saat ini dia tak nyaman karena sebuah kesalahan fatal. Dia lupa tentang pakaian dalam. Semua basah karena kecerobohannya. Terpaksa dia tak memakai apa pun saat ini di balik kemeja dan celana training milik Dave yang terlampau longgar. Dave mengambil popcorn yang baru saja dibuatnya dari dapur dan membawanya kembali ke sofa. Dia menyodorkan mangkuk popcorn kepada Eva dan Eva pun mengambil tanpa mengalihkan pandangan dari film thriller yang sedang mereka tonton. Saat tiba-tiba muncul penjahat di film yang membawa kapak, Eva terkejut dan menjerit sangat keras. "Aaarrgggh!" Namun, ada hal yang lebih memalukan. Tanpa sadar, ternyata Eva sudah mengaitkan kedua lengannya ke leher Dave, memeluk pria itu erat. Badannya menempel pada Dave, membuat lengan pria itu dapat merasakan dua puncak lembut dari balik kemeja kebesaran yang sedang dikenakan Eva. "Ma–af, aku tak bermaksud tidak sopan!" kata Eva dengan pipi merah merona. Suasana yang terbangun saat itu begitu mendukung. Dave yang tadinya mati-matian menahan diri, sudah tak bisa lagi menahan keinginannya. Apalagi setelah dia melihat bibir Eva yang ranum terbelah. Dave mengangkat dagu Eva. Mereka berdua mendekat satu sama lain. Eva sendiri bingung hendak merespons seperti apa. Haruskah dia pasrah? Beruntung, tak lama kemudian, ponselnya berbunyi, mengagetkan kedua insan yang tengah dilanda gelombang hasrat. Ternyata dari nomor rumah Declan. Mengapa harus di saat yang sangat tepat? "Maaf, bolehkah aku mengangkat telepon?" Eva ragu-ragu meminta izin. Dave, walaupun kecewa, tentu berpura-pura tersenyum dan membiarkan Eva mengangkat ponselnya. "Tentu!" Eva beranjak menjauh dari Dave dan memencet tombol hijau di ponselnya. "Eva Meyer di sini? Ada apa, Dec?" "Aku Regina. Apakah kamu bisa ke sini sekarang, Eve?" Regina pun menjelaskan keadaan Declan yang saat ini sangat buruk. "Dia mengigau dan menyebut namamu terus sejak tadi." Eva menelan ludah. Hatinya mencelos mendengar pernyataan terakhir dari Regina. Pantas saja dia merasa tak tenang dari tadi. Pasti karena Declan sedang mengucapkan mantra untuk mempengaruhinya. "Aku akan ke sana sekarang. Tunggulah, Reggy!" jawab Eva pada akhirnya. Dia lalu menutup telepon setelah mengucapkan salam kepada Regina dan berpesan pada wanita tua itu agar menjaga Declan baik-baik. Eva lalu menghampiri Dave dan memandang wajah Dave dengan perasaan bersalah. "Dave, maaf. Malam ini aku tak bisa. Aku harus … bekerja." Dave adalah pria baik dan penuh pengertian. Dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar Eva ke tempat Declan. Eva bersikeras akan memakai taksi saja, tetapi Dave memaksa untuk mengantarnya. Sesampai di penthouse, Eva bergegas memasuki kamar Declan setelah memakai masker tentunya. Gadis itu meraba kening Declan dan terkejut mendapati suhunya yang begitu tinggi. "Apakah kau sudah mengukurnya dengan termometer?" "Empat puluh koma dua derajat Celcius, Eve!" jawab Regina. "Aku akan mengambil cool pad dan menelepon dokter! Tolong jaga Declan sebentar," ujar Eva sambil membasahi bibir yang kering. Wajah gadis itu tampak pucat karena kondisi Declan yang tak bisa dikatakan baik. Eva segera beranjak dari sisi ranjang Declan untuk mengambil cool pad di kotak P3K. Namun, tangan Declan yang bersuhu tinggi, menarik pergelangan tangan Eva dan berkata, "Eve, jangan pergi ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN