12. Pengingkaran

1029 Kata
Rasa panas membakar pergelangan tangan Eva. Panas itu menjalar sampai ke dadanya, menyelimuti hatinya dengan perasaan menggebu, memacu debaran jantungnya. Bisa jadi, itu semua disebabkan karena tangan Declan yang bersuhu tinggi. Namun, bisa jadi juga karena perkataan Declan yang membuat harapan Eva kembali melambung tinggi. “Jangan tinggalkan aku, Eve …,” bisik Declan lirih. Eva hanya memandangi Regina yang kini menutup mulutnya untuk menyembunyikan senyuman girang. Dia tak ingin dikira tak berempati dengan kondisi Declan yang sedang buruk-buruknya. “Reggy, bisakah kau mengambilkan coolpad?” Eva kemudian meminta tolong kepada Reggy sementara dia menelepon Dokter Lawson, dokter pribadi Declan. “Dec, Dokter Lawson akan datang sebentar lagi,” bisik Eva lembut di dekat telinga Declan. Eva menggenggam telapak kanan Declan dengan kedua tangannya. “Kau akan baik-baik saja, Dec!” Regina datang membawa sekotak coolpad dan menyodorkannya kepada Eva. Gadis itu lalu dengan hati-hati melepaskan coolpad lama yang gel-nya telah mengering lalu menggantinya dengan coolpad yang baru. “Sejak kapan dia demam seperti ini?” tanya Eva sambil menempelkan coolpad yang telah dibuka ke dahi Declan. Jemarinya yang lentik menekan-nekan coolpad perlahan. “Sepulang dari kantor dia tak makan malam dan langsung tidur. Aku hendak pulang. Namun, aku teringat wajahnya yang sepucat kertas dan memutuskan untuk melihatnya ke kamar. Dan ternyata kondisi Declan sudah seburuk ini.” Regina menjelaskan dengan ragu-ragu karena takut disalahkan. “Kupikir, dia pasti sudah seperti ini sejak di kantor.” Eva mengangguk maklum. “Yah, mungkin kau benar.” Regina merasa gelisah karena dia sudah harus pulang. Namun, dia merasa tak enak karena takut Eva tak bisa tinggal di tempat Declan malam ini. “Pulanglah, Reggy! Aku bisa menjaga Declan sendiri,” ujar Eva yang mengerti kegelisahan wanita paruh baya yang selalu baik kepadanya itu. Tak lupa dia memberikan senyuman suportif agar Regina tahu bahwa dirinya tak melakukan semua itu dengan terpaksa. Regina lalu berpamitan. Tak lama setelahnya, dokter Lawson datang dan memeriksa kondisi Declan. “Apakah aku perlu membawanya ke rumah sakit, Dok?” tanya Eva agak cemas. “Kurasa tak perlu. Tunggu saja dua atau tiga hari. Bila tak membaik, kita harus membawanya ke rumah sakit.” Dokter Lawson menanyakan apakah Eva masih punya obat penurun panas di rumah. “Pastikan dia makan dengan baik dan banyak minum. Obat akan membantu demamnya turun. Kau bisa memberikannya setelah makan.” Setelah selesai, Dokter Lawson pulang, Eva kembali menemui Declan yang kini sudah terbangun dan menyadari kehadiran Eva. “Kau … sedang apa di sini?” tanya pria muda itu dengan lemah. “Sudahlah. Kau harus sembuh dulu!” ujar Eva yang sedikit kesal dengan kelakuan Declan yang masih berusaha menutupi bahwa dia tak butuh dirinya. “Pergilah. Aku bisa sendiri,” jawab Declan sambil memejamkan mata. “Aku tak ingin kembali besok hanya untuk membereskan jasad orang keras kepala di rumah ini.” Eva berkata ketus. “Oh, ya! Aku ke sini karena Regina meneleponku. Dia bilang kau mengigau dan menyebut namaku terus menerus.” Muka Declan memerah. Dalam hati dia menyumpahi nenek tua yang telah hidup bersamanya seperti keluarga sendiri. “Regina bohong! Dia hanya ingin ada orang yang menggantikannya bekerja.” “Oh, Declan Sawyer yang terhormat, aku tak ingin mengatakan ini, tetapi kau memaksaku!” kekesalan Eva sudah di ambang batas. Dia hendak mengatakan bahwa tadi Declan memegang tangannya dan mengatakan ‘jangan tinggalkan aku’. Namun, Eva mengurungkan niatnya karena dia sedang tak ingin adu argumen dengan Declan. Lagi pula, pasti Declan akan menyangkalnya dengan berbagai alasan. “Kau mau mengatakan apa?” tanya Declan saat melihat Eva terdiam menatapnya. “Sudahlah! Kau harus banyak beristirahat. Aku akan membawakan makanan untukmu dan kau harus mau makan.” Eva kemudian ke dapur dan menghangatkan makan malam yang telah dibuat Regina. Dia membawa makanan ke kamar Declan dan menyiapkan obat penurun panas di samping makanannya. “Makan dan minum obatnya. Kau bukan anak kecil, bukan? Jadi menurutlah.” Declan yang termakan oleh kata-kata Eva kemudian makan demi menjaga harga dirinya. Walaupun mulutnya terasa pahit, dia tak ingin Eva memaksanya lagi atau bahkan menyuapinya. Matanya sesekali melirik Eva dan baru menyadari bahwa Eva memakai pakaian pria. Jauh lebih buruk lagi, Declan bisa melihat bahwa Eva tak memakai pakaian dalam di balik pakaian luarnya karena tanda-tandanya terlihat jelas bagi Declan. “Jadi, kau tadi sedang bersama lelaki saat Regina menelepon?” tanya Declan sambil mengunyah makanan dengan kesal. Eva terkejut dan hendak bertanya mengapa tebakan Declan sangat tepat. Namun, sesaat kemudian dia teringat bahwa saat ini dia sedang memakai pakaian milik Dave. “Begitulah,” jawab Eva pendek. “Apa sekarang ini kau sudah bukan Eva yang polos seperti dulu?” tanya Declan sambil menyembunyikan kekesalannya. Dia berusaha bicara sesantai mungkin. “Aku hanya memakai pakaiannya karena bajuku basah terkena soda," jawab Eva datar. Dia tentu saja ingin marah karena dituduh yang bukan-bukan. "Bercinta dengannya atau tidak, aku tak perlu memberitahu orang lain," lanjut Eva sambil membenahi kamar Declan yang mulai tak rapi. Namun, jawaban Eva menyulut kekesalan Declan. Pria itu menarik Eva ke ranjang dan menindihnya. "Jadi, mari kita lihat apakah kau sudah hebat melayani pria." "Dec—" Eva hendak memprotes, tetapi Declan sudah terjatuh ke sisinya dan meracau tak jelas. Matanya terpejam dan demamnya masih tinggi walaupun tidak seperti sebelumnya. Gadis itu kemudian menyingkirkan lengan Declan dari perutnya dan memperbaiki posisi tidur Declan. "Eve, kau milikku …." Declan mengigau lagi, membuat hati Eva berdesir kembali dengan rasa yang lebih sakit. "Aku telah membelimu …." Kali ini, racauan Declan membuat hati Eva teriris. Dia masih ingat ketika Declan menolongnya dari Victor. Alasan Declan memang karena dialah yang telah membeli Eva terlebih dahulu. Eva menyelimuti Declan dengan selimut tipis dan mengganti coolpad-nya lagi karena yang lama telah mengering. Perlahan, Eva menelusuri wajah Declan dengan jemarinya yang lembut. Bila dalam kondisi tertidur seperti ini, Declan tampak sangat polos seperti anak-anak. Membuat rasa marah dan kesal Eva teredam dan hampir tak bersisa sama sekali. Gadis itu memegang pipi Declan yang panas sambil merenungkan semua yang telah terjadi selama ini. Dia berusaha menata kembali perasaan yang dari tadi terombang-ambing tak menentu. "Hentikan, Eve! Jangan tinggikan harapanmu!" gumam Eva lirih ke dirinya sendiri agar kembali ke realita. "Kau hanyalah mainan baginya. Hanya mainan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN