10. Move On

2009 Kata
Eva menata pakaian di kamar tamu rumah Rebecca. Rebecca memang tinggal di rumah tiga kamar yang cukup besar untuk ditinggali sendiri. Kedua orang tua Rebecca sudah pindah ke peternakan sejak kakeknya meninggal. Rebecca tak mau ikut beternak dan bertani bersama orang tuanya. Dia memilih untuk tetap tinggal di kota untuk melanjutkan kuliah dan bekerja di kantor setelah dia lulus sarjana. Sebuah kehidupan klise sebagaimana dijalani oleh sebagian besar teman-temannya. “Bilang saja kalau kau butuh bantuan, Eve!” seru Rebecca dari lantai bawah. Dia sedang sibuk menyiapkan makan malam. “Aku baik-baik saja! Terima kasih!” balas Eva tanpa berhenti menata bajunya yang tak terlalu banyak. Setelah selesai, Eva turun dan membantu Rebecca. Dia memotong sayuran untuk dibuat salad sementara Rebecca memanggang salisbury steak. Bau harum tumisan bawang Bombay memenuhi dapur. Kedua wanita muda itu tampak semakin lapar dan tak sabar untuk segera makan. "Bagaimana reaksi Declan?" "Dia marah. Bahkan mengunci diri di dalam kamar sejak aku berpamitan semalam." "Kau tak takut dia membatalkan niatnya untuk melunaskan utang keluargamu?" "Kurasa dia tak akan melakukan hal itu. Lagi pula, sejak awal Declan tak memintaku tinggal seatap dengannya." Eva menjawab dengan santai sambil mengawasi tangannya yang sedang memotong sayuran segar. "Aku hanya harus melakukan semua tugas kantor yang diberikan Declan dan dia akan memotong gajiku. Bila perlu, dia memang akan memintaku mengurusi hal-hal pribadinya. Namun, tidak tiap hari." "Siapa yang akan bersih-bersih rumah dan memasak?" "Ada Regina yang akan mengurusnya. Oh, kau mengingatkanku bahwa aku belum sempat berpamitan pada Regina. Dia pasti sangat kaget." "Dia pasti sangat marah dan kecewa karena kau membebaninya dengan tugas yang banyak." Rebecca meralat pernyataan Eva dengan senyuman jenaka sehingga wanita berambut pirang itu tertawa terbahak-bahak. Memang benar. Regina saat ini sangat marah dan kecewa. Dia tak menyangka Eva akan meninggalkan rumah tanpa berpamitan dulu kepadanya. Bukan keputusan yang salah tentunya. Bila saja Eva berpamitan kepada Regina, wanita tua itu pasti akan mati-matian mencegahnya walaupun itu berarti harus mengikat Eva dan mengurungnya di kamar. “Sudah kuduga hal semacam ini pasti akan terjadi. Ini karena kau lagi-lagi membawa jalang tak berpendidikan itu kemari. Ya, Tuhan! Dia anak baik. Mengapa dia yang harus pergi dari rumah ini?” oceh Regina tanpa henti malam itu saat membuatkan Declan makan malam. “Sudahlah. Itu adalah keputusan Eva sendiri. Aku sudah berbuat sebisaku untuk menahannya. Namun, dia tetap memilih pergi.” Declan merasa menahan kepergian Eva. Namun, tak ada satu patah kata pun yang membuat Eva merasa demikian. Andai saja Declan benar-benar menahan kepergian Eva, tentu Eva tak akan berani pergi meninggalkan penthouse karena dia masih terikat perjanjian pelunasan utang. Siapa yang tak takut kalau-kalau Declan berubah pikiran dan membatalkan perjanjiannya dengan Eva? Regina menggeleng tak percaya. “Andai saja Tuan besar masih ada, aku akan mengajak gadis itu untuk bekerja di mansion saja. Pasti dia akan merasa lebih nyaman tanpa harus menerima pelecehan dan kekerasan dari para jalang yang datang kemari.” Declan mendengkus kesal karena merasa disalahkan atas kepergian Eva. Seandainya bukan Regina yang merawatnya sejak kepergian mendiang ibunya, Declan pasti akan mengusir wanita itu dan memecatnya karena sangat cerewet. Apa boleh buat, tak ada pekerja yang lebih setia dari Regina. Wanita itu bahkan bersedia mengikutinya pindah ke penthouse setelah meninggalnya ayah Declan. Jadi, walaupun Declan terganggu dengan kecerewetan Regina, setidaknya dia sangat yakin tak akan ada racun dalam makanan yang disediakan oleh pelayan setianya itu. *** Hari berganti hari. Komunikasi Declan dan Eva masih terasa sangat canggung. Di kantor pun, Eva merasa Declan bersikap sangat dingin padanya. Sama halnya dengan Declan yang merasa Eva menghindarinya. Mereka tak bertukar kata selain urusan pekerjaan saja. Untunglah, belum ada jadwal ke luar negeri atau ke luar kota yang harus mereka jalani bulan ini. Namun, bila ada sekalipun, Eva merasa Declan tak akan mengajaknya karena ketegangan di antara mereka saat ini lebih tegang dari senar gitar dan lebih dingin dari salju. Sebenarnya, sejak Eva tinggal di tempat Rebecca, Declan merasa sangat susah. Tentu bukan karena tak ada yang mengerjakan pekerjaan rumah karena tugas Eva sekarang sudah digantikan oleh Regina. Namun, Declan merasa seperti kehilangan. Dijauhi seorang wanita adalah sesuatu yang tak pernah dia alami karena biasanya dialah yang membuang wanita. Kepergian Eva membuat Declan merasa seperti dicampakkan. "Ummm, ini sudah sebulan. Apakah kau tak ingin aku mengirimkan hadiah kepada teman wanitamu?" tanya Eva suatu hari di Jumat sore. Declan menggeleng dengan raut muka yang tak bersahabat. "Bila aku tak meminta, berarti kau tak perlu melakukan hal itu." Tak ada senyum tersemat di bibirnya. Tak ada juga tatapan mata yang hangat. Hanya begitu saja dan Declan pergi dari kantor. Entah pulang atau tidak. Eva tak tahu. Eva berusaha untuk tidak mempedulikan perasaannya dan meyakinkan diri bahwa Declan bukanlah miliknya. Dia harus berpikir realistis tentang hubungannya dengan Declan. Dua bulan berlalu. Musim dingin telah berganti dengan musim semi. Declan tak pernah lagi meminta Eva untuk mengurus wanita-wanitanya. Hanya sebatas urusan kantor. Tak lebih, tak kurang. Seharusnya, hal ini membuat Eva senang. Namun, entah mengapa ada sesuatu yang kosong di lubuk hatinya. Bunga-bunga yang bermekaran di taman-taman tak mampu mencerahkan hati Eva sedikit pun. Padahal, biasanya musim semi adalah musim favoritnya. Entah mengapa bagi Eva musim semi kali ini sama gersangnya dengan musim dingin. "Kamu terlihat tidak senang, Eve!" tanya Rebecca malam itu. "Apa kau tak ingin pergi ke pesta ulang tahun Selena bersamaku? Selena berencana mengundang beberapa pria tampan dan mapan kenalannya. Kalau kita berhasil menangkap satu orang dan berkencan dengannya, tentu akan menjadi tangkapan yang besar." “Tangkapan besar?” tanya Eva datar sambil mengunyah ayam karbonaranya dengan malas. “Aku sedang tak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun. Kau tahu itu.” Rebecca mendesah. Dia meneguk air putih beberapa kali dari gelasnya, kemudian berkata, “Kurasa kau menyukainya.” “Tidak mungkin! Aku sama sekali tak memiliki perasaan apa pun ke Declan, Becky!” sanggah Eva buru-buru. Rebecca kemudian tertawa terbahak-bahak melihat respons Eva. “Memangnya siapa yang menyebut nama Declan?” Muka Eva langsung merona merah. Dia membanting kasar garpunya di meja karena merasa terjebak. “Kau curang!” Eva memalingkan pandangan ke arah lain asalkan bukan menghadap sahabatnya. Rebecca kemudian tersenyum lembut. “Kau yang curang karena menyembunyikan hal ini dariku.” Mata Eva berkaca-kaca. “Aku hanya tak mau dibilang bodoh. Selama ini aku berusaha mengingkari perasaanku, berusaha menghapusnya, dan aku bahkan berusaha lari darinya.” Rebecca bangkit dari tempat duduk dan menghampiri Eva. “Itu karena dia adalah yang pertama bagimu. Dia yang mencuri ciuman pertamamu. Carilah penggantinya. Segalanya akan menjadi lebih mudah.” “Benarkah semudah itu?” tanya Eva ragu-ragu. Rebecca mengangguk dengan yakin. “Aku sudah mengalaminya sendiri. Segera setelah kau mengenal banyak pria baik di luar sana, perasaanmu kepada Declan akan segera menguap tak berbekas.” Eva yang tadinya tidak bersemangat, langsung menyetujui ajakan Rebecca untuk ikut pergi ke pesta Selena. Sepertinya dia memang harus mencari suasana baru agar pikirannya tak sibuk dengan Declan. Malam itu, Eva pun berdandan cantik. Rebecca meminjamkan dress biru royal yang begitu cantik dan sangat pas ukurannya dengan badan Eva. “Wow, sesuatu yang kau harapkan dari gadis cantik bermata biru!” Rebecca benar. Dress yang dipakai Eva memang sangat cocok karena senada dengan mata birunya yang terang, menegaskan kecantikan Eva dan membuatnya semakin mempesona. Eva bercermin dan tampak puas dengan penampilannya. Riasan ringan yang diaplikasikan ke wajahnya membuatnya terlihat lebih segar walau tadinya murung dan sedikit pucat. “Sempurna! Ayo kita berangkat!” seru Rebecca yang juga tampak memukau dengan dress hitam yang dia kenakan. *** Ruang tamu dan ruang tengah rumah Selena telah berubah menjadi lantai dansa. Di sana telah menunggu Selena dan beberapa pria muda tampan yang memang terlihat mapan. Mereka tampaknya punya pekerjaan yang baik nan menjanjikan. Eva dengan enggan menggerakkan kaki jenjangnya memasuki ruangan temaram dengan lampu warna warni yang sedikit membuatnya tak nyaman. “Eve, kemarilah! Tak perlu takut-takut. Ini bukan kantor Declan!” seru Selena yang sepertinya sudah terlalu percaya diri karena alkohol yang dia konsumsi. Selena menarik tangan Eva dan mencarikan tempat duduk untuknya di dekat dua orang pria gagah yang berpenampilan menarik. Kemudian, salah satu pria muda bernama Dave tampak tertarik dengannya dan berusaha merebut perhatiannya. Dave berkelakuan sopan dan Eva pun menghargainya. “Dave,” ujar pria muda itu sambil mengulurkan tangan kanan. Senyum manisnya mengingatkan Eva akan sosok protagonis di koleksi film-film populer milik ibunya yang sering dia tonton di rumah. “Eva,” jawab gadis manis itu disertai senyuman malu-malu yang membuat d**a Dave semakin bergemuruh. Tak sedikit pun Dave berusaha menyentuh Eva. Bahkan, pria itu tak mencoba menggoda Eva dengan rayuan sama sekali. Mereka berbincang dengan santai sehingga suasana hati Eva yang tadinya suram pun berubah ceria karena lawan bicaranya pandai bercanda. Lama kelamaan, Eva mulai merasa nyaman berada di tengah-tengah keramaian itu. “Kau tak minum?” tanya Dave penasaran. “Minuman ringan saja,” jawab Eva dengan malu-malu. “Aku baru sembilan belas tahun sejak dua bulan lalu.” Eva menambahkan ketika melihat wajah Dave dan kedua rekannya yang tampak kebingungan. Dave pun tertawa. “Kau mungkin anak muda paling patuh yang pernah kutemui.” “Mungkinkah dia satu-satunya di dunia ini?” tanya Selena. “Aku sudah minum saat usiaku enam belas tahun.” Semuanya tertawa mendengar celoteh Selena yang lama kelamaan semakin melantur. Eva hanya tersenyum. Dia sudah terbiasa ditertawakan karena kepatuhannya pada aturan. Dave kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Aku akan mengambilkan Orange Crush untukmu.” “Jangan!” tolak Eva cepat. Apa boleh buat. Orange Crush adalah minuman favorit Declan dan Eva sedang tak ingin mengingat apa pun tentang Declan saat ini. “Aku … tak suka Orange Crush!” Dave kemudian mengambilkan Fanta untuk Eva. Selanjutnya, Eva dan Dave larut dalam obrolan tentang film yang mereka berdua kebetulan sama-sama suka. Tak perlu waktu lama bagi orang-orang di sekitar mereka untuk menyadari betapa keduanya tampak nyaman satu sama lain. Tak hanya Eva, Selena dan Rebecca juga tampak cocok dengan kedua rekan Dave. Tak lama kemudian, Rebecca pun berpamitan untuk melanjutkan kencan di tempat yang lebih pribadi. “Eve, malam ini aku akan menginap di tempat Lukas,” pamit Rebecca sambil bergelayut manja di lengan kekar pria berjenggot yang mengingatkan Eva pada sosok Alpha yang sering digambarkan di dalam novel manusia serigala. “Wow, sepertinya malam ini Rebecca tak akan tidur sampai pagi.” Selena berkomentar tak pantas seraya tertawa terbahak-bahak. “Sayang, aku juga bisa membuatmu seperti itu bila kau mau.” Pria bernama Steve yang tengah merangkul Selena sepertinya tidak terima dengan komentar Selena yang menunjukkan kekaguman kepada penampilan fisik Lukas. Selena menoleh kepada pasangannya dan tersenyum sinis menantang. “Coba kau buktikan sekarang!” Eva hanya melongo saat memandangi Selena yang dibopong oleh Steve ke lantai atas. Gadis polos itu hanya bisa menggeleng dan kemudian menghabiskan minuman ringan di gelasnya. "Bagaimana kalau kita juga segera menyingkir dari sini?" tanya Dave kemudian. Eva tampak ragu. Namun, dia sudah cukup dewasa untuk memutuskan apa yang sebaiknya dia lakukan. Dia pun akhirnya menuruti kemauan Dave. "Apa kau keberatan kalau aku mampir minum teh di apartemenmu?" Dave berinisiatif karena Eva tampak sangat pasif. Tentu saja, minum teh bukanlah sekadar minum teh. Semua orang dewasa, termasuk Eva mengerti maksud Dave. Apalagi yang akan dilakukan oleh dua orang dewasa setelah berpesta dan saling menarik perhatian satu sama lain seperti tadi? "Aku menumpang di apartemen Rebecca," jawab Eva jujur. Walaupun Rebecca mengatakan akan ke tempat Lukas, tetapi Eva sengaja mengatakan hal itu karena ingin menolak Dave. Namun, Eva sendiri tak yakin apakah penolakannya adalah hal yang benar. Dave adalah pria yang baik. Apakah tepat bila dia menolak lelaki seperti Dave? Apakah dia tak akan mendapatkan lagi kesempatan seperti ini di masa depan? Hanya saja, Dave bukanlah pria yang mudah menyerah. Ditolak seperti itu, dia tak langsung putus asa. "Oh, kalau begitu, bagaimana kalau kau ke tempatku saja?" Eva hanya bisa terpaku menatap Dave. Pandangan mereka bertemu, tetapi tak satu pun kata terucap sebagai jawaban dari bibir Eva. Bila sudah seperti ini, alasan apa yang akan dipakainya untuk menolak ajakan Dave? Eva menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Bisakah Eva menolak Dave lagi? Atau haruskah dia kehilangan V-cardnya malam ini bersama Dave?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN