9. Pamit

1125 Kata
Rencana untuk menjaga jarak dari Declan bukanlah rencana yang mudah. Eva harus memikirkan di mana dia akan tinggal setelah memutuskan keluar dari kediaman atasannya itu. Eva tak punya keluarga. Ralat. Mungkin, dia masih memiliki Markus. Namun, tentu saja dia tidak ingin tinggal bersama ayah tirinya lagi setelah apa yang dilakukan pria itu padanya. Dalam hati, Eva masih sangat menyayangkan hubungannya dengan Markus berakhir seperti ini. Padahal, dulu Markus adalah salah satu orang yang Eva sayangi setelah kedua orang tua kandungnya. Pria itu dulu terlihat sangat tulus merawat ibunya yang sedang sakit. Dia juga sangat perhatian kepada pendidikan Eva. Bahkan, dia melarang Eva bekerja saat masih sekolah. Markus sama sekali tak ingin mengganggu dan mengurangi waktu belajar Eva yang banyak berkurang karena harus mengurus rumah dan ibunya yang sakit. Betapa dulu Markus sangat baik padanya. Sebelum meninggal, ibu Eva bahkan berpesan agar dia berbuat baik kepada Markus dan menganggapnya seperti orang tua sendiri. Kenyataan sekarang yang membuat Eva tak mau tinggal bersama Markus memang sangat menyakitkan. Dia harus memikirkan tempat lain yang bisa menampungnya dengan gratis. Saat itu, hanya ada satu nama yang terpikirkan oleh Eva. Rebecca! Eva akan menemuinya besok. Esoknya, saat makan siang, Eva yang biasanya membawa bekal dari rumah karena ingin berhemat, menemui Rebecca dan mengajaknya makan siang. "Aku akan mentraktirmu. Ayolah, Becky!" Eva memohon dengan sangat. "Kau tak sedang ingin makan siang bersamaku," ujar Rebecca sambil menata tumpukan file di mejanya sesuai dengan kategori masing-masing. Pekerjaannya terlihat sangat banyak hingga membuatnya seperti sangat sibuk dan tak boleh diganggu oleh siapa pun. “Kau hanya ingin bicara denganku. Iya atau iya?” "Dan kau tahu itu, tetapi tak peduli?" protes Eva memelas. “Dan kau menyebut dirimu sebagai sahabat yang baik?” Rebecca menatap wajah temannya. Wanita manis berambut gelap itu menyadari bahwa Eva akan gila bila dia menolak. Kemudian, sahabat baik Eva itu terpaksa memenuhi permintaan Eva walaupun tugasnya sangat banyak dan terlihat belum selesai barang setengah pun. “Baiklah, kau tak perlu mentraktirku, tapi kau harus membantuku mengerjakan tugas-tugasku yang menumpuk.” Eva melirik tumpukan file di meja Rebecca dan menelan ludah. Dia sendiri sebenarnya tak sedang luang. Namun, apa boleh buat. Saat ini dia sangat butuh pertolongan Rebecca. “Baiklah. Aku akan membantumu setelah tugasku selesai.” "Dan pastikan bahwa topik pembicaraanmu kali ini adalah sesuatu yang penting," ancam Rebecca sambil mencari dompetnya. "Kau pun harus ingat karena masalahku selalu penting." Eva mendengkus kesal karena tak terima atas tuduhan sahabatnya. Kedua wanita itu lantas pergi ke restoran terdekat dari kantor yang menjual makanan China kesukaan Rebecca. Sambil menunggu pesanan datang, Rebecca meminta kepada Eva agar segera menceritakan apa yang tertahan di kepala sahabatnya sejak lama. “Jadi, apa sebenarnya masalahmu? Apa kau mulai jatuh ke pesona Declan Sawyer? Kau berciuman dengannya? Kau tidur dengannya?” “Tidak mungkin!” seru Eva menghentikan racauan Rebecca. Rebecca adalah satu-satunya orang yang tahu mengenai hubungannya dengan Declan. Termasuk tentang utang keluarga Eva hingga bagaimana semua masalah itu berakhir dengan tinggalnya dia di penthouse Declan. “Lalu apa? Mengapa kau begitu panik saat ini? Seolah-olah duniamu akan kiamat bila aku menolak untuk menemanimu makan siang," protes Rebecca tak terima waktunya diambil untuk hal yang tidak penting. "Aku butuh pertolonganmu, Becky!" pinta Eva dalam bisikan pelan tetapi penuh penekanan. "Izinkan aku tinggal bersamamu untuk sementara. Kumohon!" Rebecca yang sedang minum air putih terbatuk mendengar permintaan Eva. Mejanya basah karena semburan brutalnya. Eva yang merasa bersalah, berusaha bertanggung jawab dengan membantu Rebecca mengeringkan meja dengan tisu. Setelah tenang, Rebecca berkata, "Mengapa mendadak seperti ini? Bukankah kau sudah lama tinggal bersama Declan?" "Iya. Tapi aku sudah tak tahan dengan kelakuan para jalang itu padaku. Kau tahu? Semalam, sepulang pesta, aku memergoki mereka bercinta di dapur dan jalang itu menamparku karena mengganggu mereka!" "Oh, kasihan sekali!" komentar Rebecca refleks. Dia sama sekali tak bermaksud mencemooh Eva dengan mengatakan kasihan dengan ekspresi masam. Dia hanya sebal dengan kelakuan para wanita yang Declan kencani. "Bukannya aku menolak. Tetapi aku yakin bahwa kau tinggal di penthouse milik Declan karena kau harus mengurus keperluan dia, bukan?" lanjut Rebecca kemudian. "Aku akan melakukan sesuatu tentang itu. Sekarang, yang aku butuhkan adalah izinmu. Kau tahu, 'kan, aku tak mungkin pulang ke rumahku yang dulu? Aku tak ingin bertemu Markus." Eva menggenggam erat tangan Rebecca. Dia memandang sahabatnya itu dengan wajah paling memelas yang pernah dia tampakkan. Saat ini, mukanya bahkan sangat mirip dengan anak kucing terlantar yang minta untuk diadopsi. "Baiklah. Namun, mungkin aku tak akan berbeda jauh dengan Declan. Sesekali aku akan membawa pacarku ke rumah. Apa kau akan meminta Declan untuk memungutmu kembali bila kau mulai bosan tinggal bersamaku?" tanya Rebecca saat makanan pesanan mereka datang. "Tidak akan! Aku jamin itu." Eva tahu, Rebecca adalah wanita dewasa yang pastinya sudah menjalin hubungan yang cukup serius dengan seseorang. Dia akan sangat memaklumi hal itu. Tentu saja hal ini akan jauh berbeda dengan Declan. Eva memang merahasiakan perasaannya yang sebenarnya kepada Declan dari siapa pun. Dia tak ingin ada yang mengolok-oloknya dengan sebutan wanita mata duitan atau wanita pemimpi yang tak tahu diri. Biarlah Rebecca tahu sebatas pembullyan yang dilakukan oleh teman wanita Declan sebagai alasan pindah. Perkara lain yang tak perlu akan Eva simpan sendiri saja. *** Kecanggungan antara Declan dan Eva masih berlangsung. Declan memang seorang playboy. Akan tetapi dia bukanlah seorang pria yang gemar ditonton saat melakukan hubungan intim dengan teman kencannya. Apalagi bila yang menyaksikan adalah Eva. Entah mengapa dia merasa seperti seorang kekasih yang ketahuan selingkuh. "Dec, maafkan aku. Aku tahu ini terlalu tiba-tiba. Namun, bolehkah aku tinggal di rumah Rebecca mulai besok?" Pertanyaan Eva membuat Declan terasa seperti disambar petir. Dia berhenti menyuapkan pasta ke mulutnya sembari bertanya, "Apakah ini karena insiden dengan Jessica? Ataukah alasan lainnya?" "Dec, aku minta maaf. Namun, aku akan tetap bekerja di rumahmu sampai pukul sembilan malam jika kau mau. Namun, aku tetap ingin pulang ke rumah Jessica." Eva bersikeras dengan keputusannya kali ini. Bila dia menyerah sekarang, dia khawatir bahwa ke depan akan semakin sulit keluar dari jerat cinta Declan. Declan hanya terdiam, tak ingin menjawab permintaan Eva dengan kata-kata 'ya'. Pria itu kemudian berkata, "Terserah kau. Lagi pula, dari awal kau tak minta tinggal di sini. Tak ada hal itu dalam perjanjian kita." Pria itu lalu beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan meja makan. Pasta yang baru dimakan dua suap ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya yang telah kehilangan selera makan. "Dec, kau tak makan?" tanya Eva yang mulai panik karena takut Declan marah. "Aku sudah kenyang!" jawab Declan singkat tanpa menoleh sama sekali. Eva merasa sangat bersalah. Dia tahu Declan marah. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa untuk membatalkan keputusannya. Kali ini, dia harus bisa melepaskan diri dari Declan. Harus! ‘Maafkan aku, Declan! Ini semua terpaksa kulakukan demi kebaikan kita semua.’ Eva bergumam dalam hati sambil menatap nanar kepergian Declan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN