7. Saran Sepupu Ipar

1869 Kata
“Dec ….” Bibir Eva tanpa sadar membisikkan nama Declan dengan suara yang lirih. Sebenarnya, Eva tidak memanipulasi suaranya. Namun, bagi Declan saat ini, suara Eva sangat seksi dan menggoda. Isi kepala Declan sudah membayangkan hal-hal yang bisa dia lakukan kepada Eva. “Eve ….” Tenggorokan Declan tercekat. Dia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Kecantikan Eva yang polos begitu menyihir, membuat Declan tenggelam dalam pesonanya. Jantung Eva berdegup kencang seolah akan melompat dari dadanya. Begitu juga dengan Declan. Mungkin, saat ini keduanya bisa saling mendengarkan detak jantung satu sama lain. Ting tong! Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Eva dan Declan terperanjat dan segera sadar dari suasana yang menghanyutkan. Declan panik dan salah tingkah saat melepaskan dagu Eva dari jepitan tangannya. Sedangkan Eva merasa sangat malu karena dia sempat memejamkan mata, bersiap menerima ciuman Declan. Apa boleh buat? Declan dengan penampilannya saat ini tampak sangat jantan, meluluhkan hati kaum hawa mana pun yang melihatnya. “Sepertinya, kau punya tamu,” ujar Eva kikuk. “Oh, iya! Tentu saja,” jawab Declan tak kalah canggung. “Aku akan bukakan pintu untuknya.” “Ajaklah tamu kamu makan malam. Kurasa aku membuat sup dumpling ayam cukup banyak untuk empat atau lima orang.” Eva kemudian berlari ke dapur untuk menata meja dan menyiapkan hidangan pencuci mulut tambahan. Declan terlihat berbicara dengan seseorang di interkom. Tak lama kemudian, muncul seorang lelaki dan wanita yang tampak bahagia. Mereka memeluk Declan bergantian dengan sangat senang, seolah mereka sudah sangat lama tidak bertemu. “Frankie, Jake, apa kabar?” Declan menyapa tamunya dengan wajah riang. Seperti bukan Declan yang biasanya. Kalau Eva menceritakan hal ini kepada orang lain di kantor, pastilah dia akan dicap sedang bermimpi di siang bolong. Tak akan ada satu pun yang percaya bahwa si angkuh Declan juga bisa tersenyum seperti sekarang ini. “Oh, Deke, Sayang! Kau tampak semakin tampan sekarang. Bila kau bukan sepupuku, aku pasti akan menikahimu!” ujar si wanita yang langsung disambut dengan omelan sang suami. “Oh, jadi, kau menganggapku jelek sekarang? Ingat, siapa yang membuatmu menjerit setiap mal–” Sang pria tak meneruskan perkataannya karena kaget melihat kedatangan Eva. Eva menjadi merasa bersalah karena hendak menyapa tamu Declan. Apakah seharusnya dia tidak datang mendekat? “Oh, siapa nona cantik ini? Deke, apakah kau menikah diam-diam dan tidak memberitahu dunia seperti dalam novel?” tanya tamu wanita berambut gelap itu. Dia menyelipkan rambutnya di belakang telinga, lalu menarik lengan Declan untuk meminta penjelasan. “Ayo, kenalkan dia padaku!” Declan tertawa beberapa saat dan berkata, “Frankie, ini Eva, asistenku yang baru. Eva, ini Francesca, sepupuku dari London dan suaminya, Jacob.” Eva dan Francesca serta Jacob kemudian saling berkenalan satu sama lain. “Wah, Deke, apa dia benar-benar asistenmu di kantor? Sejak kapan kau mencampur urusan pekerjaan dan tempat tidur?” bisik Francesca di telinga Declan. “Frankie, ini tak seperti yang kau pikirkan. Dia asistenku, karena beberapa hal, dia harus tinggal di sini,” jawab Declan sambil berbisik juga. “Asisten yang cantik. Aku ingin tahu sampai kapan kata-katamu itu akan berlaku,” bisik Jacob tak mau ketinggalan menggoda Declan. Karena tahu dirinya sedang diperbincangkan, Eva lalu berusaha memutus pembicaraan dengan sopan. “Makan malam sudah siap. Apakah kalian keberatan kalau makan sekarang?” Sepanjang makan malam, Francesca memuji kelezatan sup dumpling buatan Eva. “Hmmm, ini seperti buatan mendiang Bibi Claire. Apakah kau mendapatkan resep ini dari Bibi?” Semua terdiam. Eva yang tak tahu siapakah nama yang baru saja disebut oleh Francesca hanya tersenyum. Namun, Declan kemudian menyahut, “Kalau Eva bertemu dengan Ibuku, saat itu dia pasti masih kecil sekali dan hanya bisa mengotori lantai dengan remahan biskuit.” “Oh, berapa umurmu, Eva?” tanya Jacob penasaran. “Delapan belas tahun,” jawab Eva sambil tersenyum. Namun, dalam hati, dia merasa kasihan kepada Declan yang ditinggal ibunya sejak masih kecil. “Wow!” Jacob memandangi Eva dan penampilannya dari atas ke bawah. “Kurasa, anak zaman sekarang memang tumbuh dengan cepat.” “Apanya yang tumbuh cepat, Jake?” tanya Francesca dengan mata menyipit. “Tenang, Frankie! Kalau Jake berbuat macam-macam, aku yang akan menghajarnya untukmu.” Declan tersenyum jenaka sambil melirik Jacob yang tampak merajuk. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya,” ujar Jacob membela diri. Memang, bagi siapa saja yang melihat, badan Eva memang tampak dewasa. Sama sekali tak kalah dengan Francesca yang terlihat matang. Selesai makan malam, Francesca membantu Eva membereskan makanan. Francesca tentu memanfaatkan saat berdua dengan Eva untuk banyak menginterogasi tentang latar belakang gadis itu. “Wah, aku ingat saat seusiamu dulu aku harus sembunyi-sembunyi kalau ingin keluar dengan Jacob.” Francesca membilas piring putih yang telah disabun dengan air keran. Eva hanya tersenyum, bila tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, memang akan menganggap dirinya beruntung karena hidup bebas di usia muda. "Apa boleh buat. Kedua orang tuaku sudah meninggal." Eva menyembunyikan keberadaan Markus. Dia tak ingin sedikit pun membahas tentang ayah tirinya. "Maaf, Eve. Aku tak bermaksud membuatmu sedih." Francesca tampak menyesal dengan apa yang baru saja dia katakan. Mereka berdua kemudian membahas resep makanan untuk mencairkan suasana. Sementara itu, Declan dan Jacob juga sedang bercakap-cakap dengan topik yang tentunya sangat berbeda. “Aku tahu kalau kamu menginginkan gadis itu.” “Tidak, Jake. Dia berada di sini karena aku ingin melindunginya dari bahaya. Aku harus menjaganya, bukan malah mencari keuntungan dari gadis sepolos dia.” Declan menjawab dengan serius. Matanya menerawang, membayangkan kejadian sebelum kedatangan Jacob dan Francesca. Dia lalu mengembuskan napas perlahan sambil mengacak lembut rambutnya yang masih lepek karena belum mandi. “Lalu, apa artinya lipstik di pipi kananmu?” tanya Jacob dengan senyum jenaka menunjuk pipi kanannya sendiri. Declan pun panik. “Apa? Tadi kami belum sempat berciuman ….” Jacob tertawa terkikik sambil memegangi perut. Saat itulah, Declan sadar bahwa Jacob telah menjebaknya. Pria lajang itu lalu mendengkus kasar, menatap ke arah Jacob dengan pandangan tajam. “Aku melakukan kesalahan. Aku tak ingin hubungan kami jadi kacau setelah kejadian tadi.” “Kau menciumnya?” “Hampir,” jawab Declan tanpa tersenyum. Tampaknya dia benar-benar menganggap kejadian barusan adalah kesalahan. “Dia mendekatiku dan membuat imajinasiku terasa nyata.” “Kurasa, itu hanya karena rasa penasaranmu saja,” ujar Jacob menenangkan. “Tapi aku takut dia akan salah paham.” Declan tampak gugup. Dia menutup mulut dan mengusap muka karena tak habis pikir dengan kelakuannya sendiri. “Bawa pacar-pacarmu ke sini.” Bisikan Jacob terdengar bagai bisikan iblis bagi Declan. “Aku tak membawa pacarku ke rumah.” Declan menyanggah dengan dingin. “Kau bilang, kau tak ingin dia salah paham, bukan?” bisik Jacob semakin pelan, mendekat ke telinga Declan. “Akhiri harapannya dengan membawa pacarmu ke rumah.” Declan menatap Jacob dengan pandangan bingung. Namun, dia sadar. Usulan Jacob memang usulan yang sangat layak untuk dipertimbangkan. *** Di minggu-minggu berikutnya, hari-hari bersama Declan tidak bisa dibilang menyenangkan. Declan memutuskan untuk menuruti saran Jacob dengan membawa kekasihnya ke penthouse, tidak lagi ke hotel. Cara itu tentu berhasil membuat Eva menjauh dan sedikit kecewa tentu. Sebelumnya, dia sempat mengira bahwa dirinya spesial. Kini, Eva sadar bahwa Declan memang seorang playboy yang akan tertarik dengan bibir milik siapa pun yang dilihatnya. Namun, kehadiran para wanita itu di rumah sangat menyebalkan bagi Eva. Keberadaan mereka membuat Eva merasa jengah. Dia harus melayani Declan dan kekasih-kekasihnya yang kadang memperlakukan dia dengan tidak pantas tanpa sepengetahuan Declan. Apa boleh buat, dia tak bisa memilih. Tinggal bersama Markus lebih membuatnya terancam. Dia bisa berakhir di kandang monyet sekalipun asalkan si monyet mau membayar Markus dengan sejumlah uang. Hari berganti hari. Lama kelamaan, setelah awalnya memaksakan diri, Eva pun kini mulai terbiasa. Enam bulan menjalani kehidupan yang seperti itu di rumah Declan membuat gadis itu merasa kebal terhadap segala perilaku para kekasih Declan. "Eve, apa kau keberatan menjalani semua tugasmu?" tanya Declan suatu hari ketika melihat Eva mendengkus kesal. Eva menggeleng sambil meneruskan membuat salad untuk makan malam. "Aku menikmati pekerjaanku, Dec." "Kau terpaksa menikmatinya," ujar Declan datar. Eva pun meletakkan salad yang sudah siap di meja. "Sudahlah! Ini pilihanku, Declan! Tak ada yang memaksaku. Aku akan menjalaninya dengan baik." Declan hari itu pun pulang membawa kekasihnya ke penthouse. Pemandangan yang kini sudah sangat biasa bagi Eva. Eva pun segera membereskan urusannya dan mengunci pintu rapat-rapat karena tak ingin mendengar suara-suara berisik yang menyebalkan dari sepasang kekasih yang sedang bersenang-senang. Hal seperti itu awalnya hanya dilakukan Declan saat akhir pekan. Namun, semakin lama, dia melakukannya setiap hari. Declan membutuhkan wanita lain untuk mengalihkan perhatian dari Eva. Bagaimanapun juga, dia berjanji membawa Eva ke rumah untuk mengamankannya dari Markus. Bukan untuk mengambil kesempatan. Eva yang tak mengerti alasan itu, merasa Declan sengaja melakukannya untuk membuatnya semakin susah. Namun, dia menyibukkan diri dengan hal lain agar perhatiannya teralihkan. Paginya, Eva menyiapkan pancake blueberry kesukaan Declan. Tak disangka, Sophie, kekasih Declan yang menemani pria itu semalam menginginkan makanan lain. "Buatkan aku green smoothie! Aku tak bisa makan makanan sampah seperti ini." Sophie menyingkirkan piring pancake menjauh darinya dengan kasar hingga piring pancake itu meluncur ke lantai, pecah berserakan. "Sophie! Jangan seperti anak-anak!" bentak Declan sambil melotot. "Kalau aku memakan pancake itu, aku bisa membulat! Kau tak mau aku menggemuk, bukan?" bantah Sophie tak terima. Wajahnya berpaling dari tatapan Declan yang tajam. Dia takut. Pria itu lalu menghela napas seraya berkata, "Eve, buatkan smoothie untuknya!" Eva pun membongkar isi kulkas dan menemukan pisang, brokoli dan sedikit bayam dan membuat smoothie dengan itu. Sophie tersenyum simpul saat Eva menyodorkan smoothie yang warnanya hijau terang kemudian meneguknya. Namun, tanpa diduga, wajah Sophie berubah marah dan menyiramkan isi gelas smoothie-nya ke Eva. Wajah dan pakaian Eva basah oleh smoothie hijau yang kini terlihat seperti cairan hijau menjijikkan. Eva kini tampak seperti alien bertubuh hijau yang sering dia tonton semasa kecil. "Apa ini? Mengapa kau menambahkan pisang ke dalamnya? Apa kau mau membuat aku gemuk sepertimu?" Sophie mendelik bengis lalu membanting gelas di meja, membuat piring pancake bergetar. Eva menelan ludah. Ingin sekali dia mencekik wanita gila di hadapannya. Namun, dia bersabar karena posisinya yang lemah. Bisa-bisa Declan akan membatalkan semua perjanjiannya bila sampai rambut kekasihnya rontok karena ulah Eva. Namun, tidak demikian dengan Declan. Dia meraih kerah bathrobe Sophie dan melempar pandangan marah kepada wanita itu. "Berani-beraninya kau memperlakukan Eva sehina ini!" "Declan! Sakit!" Sophie meronta-ronta. "Mengapa kau membela pelayan ini?" "Eva bukan pelayan dan dia tidak gemuk sama sekali! Bercerminlah dan lihat dirimu sendiri! Kau bahkan tak sebanding dengannya!" bentak Declan dengan murka. "Selama ini kau mengira lengan spaghetti-mu itu terlihat seksi, bukan?" Sophie tercengang. Dia tak menyangka Declan akan menghinanya habis-habisan setelah semalam menghabiskan waktu dengannya. Declan lalu memanggil dua penjaga untuk menyeret Sophie keluar dan meminta sopir mengantarnya pulang. Teriakan Sophie tak lagi dia dengarkan. "Pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Eva yang terpaku memandang kejadian tersebut merasa tersentuh. Harga dirinya merasa terbela setelah sekian lama di-bully oleh para kekasih Declan yang lain. Sophie memang terlampau bodoh karena melakukan hal itu di hadapan Declan. Declan pun segera mengambil handuk putih bersih dan mengulurkannya ke Eva. "Maaf. Seharusnya aku tak membawa wanita gila itu kemari." Eva pun mengulum senyum seraya menelan ludah. Wajahnya bersemu merah, apalagi saat pandangannya bertemu dengan mata teduh Declan. Dia mengambil handuk dari atasannya dan membersihkan diri dengan hati bergemuruh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN