6. Magnet

1268 Kata
"Eve!" jerit Declan saat klimaks. Bella yang mendengarnya merasa sangat tersinggung. "Siapa dia, Dee? Pacar barumu?" Declan yang juga merasa terkejut dengan apa yang terlontar dari mulutnya hanya bisa terdiam. Di tak ingin menjawab pertanyaan Bella. Biarlah Bella mengira bahwa dia menyebut nama pacarnya yang lain. Akan lebih baik begitu daripada Bella tahu bahwa Eva adalah nama asisten pribadinya. Wanita kaya yang sombong seperti Bella hanya akan membuat Eva susah bila dia tersinggung. Dia bisa mem-bully Eva untuk menyelamatkan harga dirinya yang sebenarnya tidak terkoyak sama sekali. Apa boleh buat bila ego yang bicara? "Kau ingat? Aku tak punya pacar. Hanya teman kencan. Tak ada ikatan. Kalian boleh mengencani siapa pun dan aku tak akan cemburu atau protes karenanya." Declan mengingatkan Bella bahwa semua yang mereka lakukan adalah hubungan tanpa komitmen. Dengan marah, Bella segera berpakaian setelah membersihkan diri di kamar mandi. Matanya tak berhenti melirik Declan, berharap pria itu akan meminta maaf padanya. Namun, tentu saja seorang Declan tak akan pernah melakukannya. "Sopirku akan mengantar kamu pulang," ujar Declan datar. Hanya saja, harga diri Bella yang sudah sangat tersinggung, memilih untuk menolak mentah-mentah tawaran Declan. "Tak perlu. Aku bisa pulang sendiri!" Bella membuka pintu kamar hotel tersebut dengan kasar. Dia berbalik menghadap Declan dan berkata, "Dan jangan panggil aku lagi kalau kau sedang butuh!" Bella lalu keluar kamar dengan membanting pintu, meninggalkan Declan sendirian di tengah kegalauannya sendiri. Tentu saja. Wanita mana yang tak merasa tersinggung dengan kelakuan Declan Sawyer? Pria itu bercinta dengannya, tetapi menyerukan nama wanita lain. Bukankah itu berarti dia hanya memanfaatkan teman kencannya sebagai pelega dahaga sesaat? Sementara pikiran pria itu berkelana membayangkan percintaan dengan wanita lain. Declan sebenarnya bukan pria yang tak tahu perasaan seperti itu. Insiden yang baru saja terjadi, belum pernah dia lakukan sebelumnya. Entah mengapa saat ini pikirannya hanya dipenuhi dengan Eva dan keinginan untuk menyentuhnya. Padahal, Declan tidak menyukai wanita yang tak berpengalaman seperti asisten barunya itu. “Aarrghhh!” Declan mengacak-acak rambut dan memutuskan untuk segera tidur agar segera bisa melupakan masalahnya. Masalah yang dia tak menyangka akan mengalaminya. *** Bagi Declan, hari-hari bersama Eva tak bisa dibilang menyenangkan. Dia mengira bahwa tinggal bersama dengan Eva tak akan membawa pengaruh buruk baginya. Namun, segalanya tak semudah yang dia pikirkan. Eva memiliki daya tarik tersendiri yang berbeda dari wanita-wanita yang selama ini Declan kencani. “Pagi, Dec! Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?” Pertanyaan tak penting keluar dari bibir Eva. Declan yang terbiasa hidup sendiri di pagi hari tak terbiasa dengan senyuman dan keramahan sepagi ini. Biasanya, dia baru akan mendapatkannya pertama kali dari para karyawan saat dia tiba di kantor. Hal ini sangat baru bagi seorang Declan. Rasanya sangat canggung. Secanggung mengganti sarapan serealnya dengan makanan hangat yang baru dimasak seperti pancake dan french toast. “Eve, kau tak perlu repot setiap hari seperti ini. Kita bisa makan sarapan instan saja.” “Sudahlah, anggap saja ini sebagai biaya sewa kamar di sini.” Eva memprotes sambil menyuapkan potongan besar pancake blueberry yang lembap oleh siraman sirup maple ke mulut. “Kau tahu kalau aku tak bisa membayar dengan uang, ‘kan?” “Kau membuat Regina tak memiliki pekerjaan.” Declan menyebut nama pelayan yang biasanya datang untuk membersihkan rumah saat Declan berangkat ke kantor. “Lalu kau ingin aku melakukan apa di rumahmu?” tanya Eva kemudian. Tentu saja dia memilih mengerjakan pekerjaan rumah saat berada di rumah daripada harus bersantai dan menonton film. Akan terlihat seperti benalu tak tahu diri. “Okay, kalau begitu, kau bisa berbagi tugas dengan Regina. Aku khawatir dia akan merasa tak dibutuhkan lagi kalau kau mengerjakan semua pekerjaan rumah,” jawab Declan kemudian. Eva mengangguk dan melanjutkan makannya. Dia tak menyangka Declan ternyata adalah pria yang sangat perhatian terhadap perasaan wanita. Atau mungkin dia hanya bos yang menghargai perasaan karyawannya? Entahlah. Mungkin yang kedua. Karena bila menyangkut urusan hubungan percintaan, tentu Declan bukan termasuk kategori yang pertama. Eva memilih untuk berangkat ke kantor lebih awal dari Declan dengan menggunakan kendaraan umum. Walaupun Declan menawarkan agar Eva berangkat bersama, Eva tak mau menjadi bahan gosip di kalangan karyawan. Sesampai di kantor, sebelum jam kerjanya mulai Eva akan membereskan ruangan Declan dan membuatnya menjadi nyaman untuk bekerja. Sesuatu yang akan dilakukan Eva juga sebelum dia pulang kerja. “Kau membebani diri dengan tugas yang tak kuperintahkan, bukan?” komentar Declan setiap Eva selesai membereskan ruangan. “Aku sedang tak ada pekerjaan lain,” jawab Eva singkat setiap kali Declan menyatakan hal serupa. Alasan sebenarnya Eva hanya ingin menyibukkan diri dari hal selain bekerja. Dia tak ingin memberi waktu untuk melamun bagi dirinya sendiri. Bagi Eva, semua yang terjadi pada dirinya sungguh mengenaskan. Kepergian ibunya, utang keluarga, dan pengkhianatan Markus sungguh membuat hidupnya menjangkau titik paling rendah. Sekarang, dia harus tinggal bersama Declan dan bekerja untuknya demi melunasi utang. Hal ini membuat Eva merasa semakin tak nyaman karena dia tak mempunyai teman berbagi dan berkeluh kesah. Mungkin, dia harus menahan semua tekanan ini hingga tiga tahun ke depan. Malam hari, Eva akan membuat makan malam. Sore tadi, dia sudah menelepon Regina untuk berbagi tugas dengannya. Ternyata, Regina menanggapi dengan positif. Dia sangat senang karena tugasnya sekarang lebih ringan sehingga dia bisa meluangkan banyak waktu dengan cucunya. Apalagi Declan tidak mengurangi gaji Regina. Tentu saja Regina menjadi semakin senang. "Kau ingin makan apa malam ini?" tanya Eva sambil memeriksa bahan makanan di kulkas. "Kurasa, aku bisa membuat chicken carbonara, salisbury steak, dan sup dumpling ayam atau daging sapi. Mau yang mana?" "Sup dumpling ayam sepertinya enak," jawab Declan asal sebut dan asal pilih saja. Dia tidak pernah berselera makan malam ini. Hanya saja, dia tahu bahwa dia harus makan. "Kau bisa berenang atau menonton film sambil menunggu makanannya matang," saran Eva sambil mengeluarkan pasta bawang dan daging ayam giling dari kulkas. "Tentu!" Declan mengganti pakaiannya dengan kaus tipis serta celana training. Dia lalu mengambil sepeda statis portable, membawanya ke ruang tengah, dan menonton film di Netflix. Declan memang suka berolahraga. Namun, dia merasa harus lebih banyak berolahraga agar energinya tersalurkan untuk hal lain. Jika tidak, dia pasti akan tergoda untuk menyalurkan tenaganya untuk bermain bersama Eva. Memang, malam berdua saja dengan Eva di penthouse membuat Declan merasa kurang nyaman. Dia ingin sekali menyentuh gadis itu. Dia menduga ini karena rasa penasarannya saja. Namun, tiap hari, perasaan itu kian tak terbendung. Declan sadar, dia tak boleh melakukan hal itu kepada Eva karena dia dulu telah terang-terangan menolak menyentuh Eva. Lagi pula, Eva telah menggantinya dengan melakukan pekerjaan lain yang tak bisa dibilang ringan sebagai pengganti tugas menyenangkannya di ranjang. Declan tak mau dianggap pembohong dengan meminta Eva untuk menyerahkan dirinya lagi kepadanya. Dia harus bersikap adil dan profesional. "Makan malam sudah siap!" seru Eva setelah beberapa saat. Namun, Declan memacu sepeda lebih kencang. Dia seolah tak mendengar panggilan Eva. "Declan, berhentilah sebentar," seru Eva lagi. Namun, Declan semakin mempercepat kayuhannya. Dia bahkan sudah tidak lagi memperhatikan film yang dia tonton. Eva yang tak sabar pun akhirnya mendekati Declan dan menyentuh telapak tangan yang berkeringat itu. "Dec, makanlah dulu!" Suara Eva yang lembut melambatkan kayuhan Declan. Tatapan mata mereka bertemu, membuat hati Declan berdesir lembut. Wajah Eva yang begitu dekat, membuat Declan kehilangan kewarasan, tak bisa berpikir jernih. "Eve, aku …." Mata Declan masih menatap mata Eva. Napas Declan memburu. Pandangannya jatuh ke bibir ranum Eva yang terbelah sensual. Wajah keduanya semakin dekat. Declan menjepit dagu Eva dengan jari kanannya. Dia mengangkat wajah gadis manis itu, siap untuk merasakan manisnya. Eva memejamkan mata sebagai respons alami karena terbawa oleh suasana yang memanas. Dia merasakan napas panas Declan menyapu kulit mulusnya. Eva pun, bertanya-tanya dalam hati. 'Apakah ini? Bukankah Declan tidak menginginkan aku? Apakah dia berubah pikiran?'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN