13. Ajakan Makan Malam dari Dua Lelaki

1814 Kata
Keesokan harinya, Eva menyiapkan sarapan untuk Declan. Dia membuat bubur beras dengan s**u, kacang-kacangan, dan kismis. Setelah matang, dia menyiapkan satu porsi di dalam cawan dan hendak membawanya ke kamar Declan kalau saja dia tak melihat pria itu berdiri di dekat meja makan. “Oh, kebetulan kau sudah bangun. Ayo, makanlah dan segera minum obat lagi kalau kamu masih demam.” Eva meletakkan nampan di meja, kemudian meraih dahi Declan untuk mengecek apakah Declan masih demam atau tidak. Namun, sebelum telapak tangan Eva berhasil menyentuh dahi Declan, pria itu menangkap pergelangan tangan Eva dan dengan tatapan dingin dia berkata, “Bukankah sudah kubilang ganti pakaianmu?” Mulut Eva menganga tak percaya. Dia tercengang mendengar perkataan Declan yang masih mempermasalahkan pakaian yang dia pakai. “Dec, aku tak punya pakaian ganti di sini! Kau ingat, bukan, kalau aku tinggal di rumah Rebecca?” “Kalau begitu, ganti pakaian lelaki b******k ini dengan pakaianku?” perintah Declan memaksa. Dia mengangkat kedua tangan Eva ke atas dan mendekatkan wajahnya ke muka Eva. “Mengapa aku harus mengganti pakaian ini?” Entah mengapa saat ini Eva lebih terpacu untuk membantah Declan dan entah mengapa Declan memilih menuruti rasa kesalnya hanya karena Eva memakai pakaian lelaki lain. Betapa kekanak-kanakan mereka berdua. “Asal kau tahu, Dave bukanlah pria b******k,” bela Eva. Dia sebenarnya ingin menambahkan ‘setidaknya tidak sebrengsek dirimu’. Namun, Eva mengurungkan niatnya karena dia tak ingin membuat Declan naik pitam lebih dari yang seharusnya. “Oh, jadi kau sekarang berani membantahku karena membela pacarmu?” Mata Declan menatap tajam ke mata Eva. Kilatan kemarahan–dan mungkin hasrat–terpancar dari sorot mata keduanya. Tatapan liar Declan melucuti Eva dari atas hingga bawah, membuat bulu lembut di tubuh Eva meremang. “Kau terpaksa memakai pakaian ini karena bajumu basah oleh soda, bukan?” Tanpa disangka oleh Eva, tangan kanan Declan meraih gelas s**u-segar di nampan dan mengguyurkannya ke badan Eva hingga membuat seluruh pakaiannya basah kuyup. “Declan, ini konyol!” protes Eva yang tak bisa berbuat apa pun karena Declan mengunci kedua pergelangan tangannya. “Kau—” Eva tak bisa mengatakan apa pun karena Declan dengan sigap membungkam bibir Eva dengan bibirnya. Tak seperti yang pertama kali yang terasa datar tanpa ada emosi yang menyertai. Kini, aksi Declan terasa lebih agresif dan penuh amarah. Setelah puas, Declan menarik diri dari Eva dan berkata, “Apa? Apalagi yang dia lakukan padamu?” Tangan kanan Declan memegang dagu Eva dan mengangkatnya ke atas. “Inikah alasan mengapa kau pergi dariku? Kau ingin bebas berhubungan dengan lelaki lain?” Dia lalu menyerang ceruk leher Eva dengan bibirnya. Kemudian semakin turun dan menjalar ke bagian tubuh Eva yang lain. “Tidak!” protes Eva. “Apa mau kamu?” “Apa mauku?” Declan mengulangi pertanyaan Eva. “Aku hanya ingin mengingatkanmu siapa pemilikmu sebenarnya. Aku tak suka ada orang lain menyentuh milikku.” Eva hanya menggeleng dan menitikkan air mata, membuat Declan merasa dirinya telah melakukan hal yang buruk kepada Eva. “Lucu sekali. Setiap aku ke tempat ini, hanya bully-an yang aku terima,” ujar Eva pelan tanpa memandang wajah Declan. “Apa kau merasa harus menggantikan tugas pacar-pacarmu untuk menyakitiku?” Declan seolah tertampar dengan perkataan Eva. Dia lalu melepaskan cengkeramannya dari kedua tangan Eva dan melepaskannya perlahan. Eva yang sudah bebas, menepis lembut tangan Declan. Dia ingin segera menyingkir dan membersihkan diri di kamar mandi serta mengganti pakaian basahnya–dengan pakaian Declan–atau bathrobe. Apa pun akan terasa lebih baik daripada pakaian basah yang melekat di badannya seperti kulit tambahan. Lekuk tubuhnya saat ini terlihat sangat jelas dan tampak tidak sopan dari segala sudut pandang. “Makanlah, Dec! Minumlah obat setelahnya. Kau masih demam.” Eva berpaling dari Declan, melangkahkan kakinya menjauhi pria itu. Namun, sebelum terlalu jauh, tangan Declan meraih pergelangan tangan Eva dan menarik gadis itu kembali dalam pelukannya. Pelukannya sangat lembut, berbeda dari yang sebelumnya. “Maafkan aku, Eve. Maaf!” Eva hendak mendorong badan Declan, tetapi pelukan Declan terlalu erat sehingga kekuatan Eva tak berarti apa pun. Tangan Eva bahkan terangkat ke atas hendak membalas memeluk Declan. Namun, dia berhenti karena tahu betapa konyolnya pemandangan ini. “Kembalilah, Eve!” bisik Declan pelan. “Aku berjanji tak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Bila ada yang menyentuhmu lagi–termasuk aku–kau boleh mengambil setengah dari hartaku.” *** Akhirnya, Eva kembali ke penthouse. Tentu bukan karena iming-iming harta yang dijanjikan Declan. Namun, dia hanya tak bisa membohongi perasaannya sendiri yang tetap mengkhawatirkan kondisi Declan walaupun kelakuan pria itu kadang sungguh menyebalkan. Suatu waktu, Declan sangat manis. Namun di waktu yang lain, dia bertingkah seolah tak peduli apakah Eva masih hidup atau tidak. Dia terlihat berperang dengan dirinya sendiri tentang sesuatu yang Eva pun tak tahu apakah itu. Walaupun tentunya Declan tidak terlalu menampakkan bahwa dirinya membutuhkan kehadiran Eva, tetapi Eva tahu Declan membutuhkannya. Hal itu jugalah yang membuat Eva memutuskan untuk kembali ke tempat Declan untuk mengurus semua keperluannya. Setidaknya, dia akan tinggal di penthouse sampai Declan benar-benar sembuh. Hanya untuk memastikan pria itu makan, minum obat, dan istirahat dengan baik. "Aku rasa, Declan benar-benar menyayangimu, Eve." Regina berkomentar saat dia dan Eva sedang menyiapkan makan siang di akhir pekan. Eva menggeleng sambil tersenyum. "Dia hanya tak terbiasa mengurus diri sendiri karena enam bulan yang lalu dia benar-benar dilayani seperti anak-anak," jawab Eva berkelakar. Regina mengangkat bahu dan menipiskan bibirnya. "Aku mengenal Declan sejak dia masih mengompol di popok kertas. Saat dia membawamu untuk tinggal di sini, aku merasa sangat senang. Akhirnya, Declan akan menambatkan hati kepada seseorang." Hati Eva berdesir. Dia tak ingin meninggikan harapan. Akan tetapi, perkataan Regina mau tak mau membuat asanya melambung tinggi. Hanya saja, satu kenyataan membuat Eva tertegun. "Tidak, Regina. Declan memiliki banyak wanita yang cantik dan punya kelas sosial yang bagus. Tak mungkin dia memiliki perasaan terhadapku." Eva terus memotong sayuran sambil berusaha berkonsentrasi di tengah perasaannya yang bergemuruh. "Namun, sejak kamu pergi dari rumah ini, tak seorang wanita pun Declan bawa ke rumah." Regina membantah pernyataan Eva dengan pernyataan yang membuat hati gadis itu bersorak riang. Karena terlampau senang, Eva lagi-lagi harus berusaha keras memijakkan kaki agar tetap berada dia atas tanah. "Ah, bisa saja mereka menghabiskan waktu di tempat lain, bukan?" "Declan kini lebih sering menghabiskan waktu dengan membaca di rumah. Aku seperti tak mengenalnya lagi–dalam arti positif." Regina menata makanan yang sudah siap di piring dan meminta tolong Eva membawanya ke meja. "Hidupnya hanya di kantor dan penthouse saja. Aku tidak bohong!" Eva memilih diam daripada harus merespons pernyataan Regina yang belum tentu kebenarannya. Dia lalu menata makanan di kereta makanan dengan hati tak menentu. Benarkah Declan telah berubah? Apakah Regina tidak berlebihan? Dengan pikiran tak fokus, Eva mendorong kereta makanan ke kamar Declan. Hatinya berdebar-debar, entah karena penuh harap, atau karena takut dia akan jatuh dalam kekecewaan karena ini semua hanya ilusi. Sesampainya di kamar, Declan memang terlihat sedang membaca majalah, seperti yang dikatakan Regina. Lagi pula, dia memang tak mungkin berulah di saat sakit seperti ini. "Eve, bisakah kau membawa pekerjaanku ke kamar?" pinta Declan saat Eva menata makanan untuknya. Eva menggeleng. "Tidak ada pekerjaan sampai kau sembuh, Dec! Aku harus menuruti kata dokter." Eva berlalu dari kamar dengan mata Declan membuntuti semua gerak-geriknya. Sudut bibir Declan menyunggingkan senyuman damai. Kedamaian yang hanya muncul bila ada Eva di dekatnya. Dua hari setelahnya, kondisi Declan sudah kembali sehat. Pekerjaan kantor yang menumpuk, membuat Declan dan Eva harus kerja ekstra keras. Untunglah, Eva benar-benar tahu apa yang harus dia lakukan. Gadis itu mengerjakan semua hal yang mungkin dia kerjakan. Hal ini meringankan semua pekerjaan Declan. "Maaf, aku membuatmu lembur, Eve!" ujar Declan iba melihat wajah Eva yang kelelahan. "Bukan masalah." Eva melanjutkan pekerjaan dengan cekatan, seolah tak ada masalah. Namun, kantung mata hitam yang terbentuk di bawah matanya, tentu berkata lebih jujur daripada bibir. "Bagaimana kalau aku mentraktir kamu makan malam akhir pekan nanti sebagai rasa terima kasih?" tanya Declan sambil melihat arlojinya. Jadwal yang ketat membuatnya tak bisa bercakap-cakap lama dengan Eva walaupun dia sangat ingin. “Makan malam?” Jantung Eva berdegup kencang. Namun, senyuman kecil tersungging di bibirnya. Dia yakin, makan malam dengan Declan tidaklah sesuatu yang spesial. Akhirnya Eva pun menjawab, "Dengan senang hati." Namun, dia memutuskan untuk tak lagi menaruh harapan berlebihan kepada Declan. Pria itu sudah menegaskan bahwa dia hanya menganggap dirinya sebagai sebuah properti. Tidak kurang, tidak lebih. *** Sore itu, Rebecca menemui Eva yang tengah membuat kopi di break room. "Hei, lama sekali rasanya tak bertemu denganmu sejak kau pergi dari rumah. Kurasa, aku mulai mengerti perasaan Declan saat kau meninggalkannya," kelakar Rebecca. "Sangat lucu, Becky!" timpal Eva malas sambil memastikan espresso yang dia buat tak tumpah berceceran. "Hei, kemarin Dave ke rumahku untuk mengembalikan dressku. Apakah malam itu kalian melakukan sesuatu?" tanya Rebecca penasaran. "Kami melakukan apa pun kecuali hal-hal m***m yang kau bayangkan di kepalamu," jawab Eva sambil menyeruput kopinya yang masih segar. "Aku banyak pekerjaan. Apakah ada lagi yang kau ingin tanyakan?" Rebecca tersenyum kemudian berkata, "Kau tampak lelah, sekaligus senang." Eva menatap Rebecca dengan dahi berkerut. Sepertinya, ada hal lain yang ingin Rebecca katakan padanya. "Pastikan kau tak memberi harapan palsu kepada pria lain. Okay?" pesan Rebecca sebelum berpisah dengan Eva. Mereka segera kembali ke pekerjaan masing-masing agar gaji mereka tak dipotong karena tertangkap basah sedang bersantai. Tadinya, Eva tak benar-benar mengerti apa maksud perkataan Rebecca. Namun, beberapa jam kemudian, saat ponselnya berdering, dia mengerti apa yang Rebecca khawatirkan. “Halo, Dave, apa kabar?” sapa Eva sambil terus memainkan jarinya di keyboard. “Hai, Eve. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" sahut Dave dari ujung telepon. "Kalau tak ada pekerjaan menumpuk, aku bisa dibilang baik," jawab Eva sambil tertawa yang disambut dengan tawa Dave juga. Mereka berdua kemudian saling bertukar kabar dan menceritakan keseharian mereka. Setelah beberapa saat, Dave kemudian bertanya, “Bagaimana kalau aku mentraktirmu makan malam akhir pekan nanti?” “Eh, makan malam?” tanya Eva penuh keraguan.. Siapa yang tak tahu bahwa undangan makan malam dari Dave adalah wujud dari ketertarikannya pada Eva. Teringat akan pesan Rebecca, Eva kemudian menjawab, “Maaf, aku sudah ada janji makan malam pekan ini.” Eva yakin bahwa jawabannya adalah hal paling bijak yang dia lakukan saat ini. Pertemuan pertamanya dengan Dave sudah hampir berakhir dengan melewatkan malam bersama. Siapa yang menjamin pertemuan keduanya akan berlangsung dengan ‘biasa saja’? Dave bukanlah pelampiasan. Eva tak akan pernah menjadikan Dave pria semacam itu. Pelampiasan agar dia bisa melupakan perasaannya kepada Declan. Eva sadar bahwa dirinya masih sangat muda. Mengorbankan satu-dua tahun untuk menyelesaikan kontraknya dengan Declan pastilah tak akan terlalu menyakitkan. Setelah utangnya lunas dan dia bebas dari tekanan Declan, barulah Eva akan mulai mencari pria yang tepat dan menjalin hubungan yang serius dengannya. Bila memang saat itu Eva bertemu kembali dengan Dave yang masih lajang, mungkin Tuhan menakdirkan mereka untuk bersama. Bila tidak, dia yakin Tuhan akan mempertemukannya dengan pria yang tepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN