Bab 9. Aku Suka Kamu

1189 Kata
Idris membuka matanya perlahan. Dia langsung menoleh ke sampingnya memastikan apa masih ada Hera di sampingnya. Idris tersenyum lega. Hera masih tidur di sampingnya. Perlahan Idris sentuh bahu Hera. "Hera. Wake up. It is about three. Hampir jam tiga." Idris melirik ke arah jam yang ada di dinding koridor. Hera menggeliat. Dia kucek matanya. Hera langsung duduk dari rebahnya. "I fall asleep," gumam Hera. "Where is my Daisy?" Idris langsung menyerahkan Daisy ke hadapan Hera. Sepertinya Hera tidak bisa terpisahkan dari Daisy. "Is it about three?" "Yes." Hera perlahan berdiri. "Let's get out of here, Idris. I am afraid my parents were looking for me." Idris raih tangan Hera dan membimbingnya menuju tangga. Idris khawatir langkah Hera tidak fokus karena masih menahan kantuk. "Are you okay, Hera?" tanya Idris memastikan. "Ya." Idris terus mengawasi langkah Hera ketika menuruni tangga. Dilihatnya masih banyak orang berkumpul di ruang tamu dengan kesibukan masing-masing. Tiba-tiba ada yang menyapa mereka. "Idris. Yuk main di depan!" ajak Nadzir. Ada Bagas di sampingnya. Dahinya sempat mengernyit melihat Idris menggandeng tangan Hera. "Hai, siapa namamu?" tanya Nadzir ke Hera. Nadzir terpana melihat Hera. "Hera," jawab Hera dengan senyum tipis. Dia masih terlihat mengantuk. "Dia sepupuku, Nadzir," sela Bagas. Dia hampir saja ingin memisahkan pegangan tangan Idris dan Hera. Hera dengan cepat menepisnya. "Oh. Ana Nazdir. Yuk nal ab hunak. Eh, maksudku kita main di depan rumah Bagas," ajak Nadzir lagi yang tidak sengaja berbahasa Arab. Anak bertubuh bongsor itu memang berbahasa di dalam keluarganya. Idris mengiyakan. Idris dan Hera lalu mengikuti langkah Nadzir dan Bagas. "Sebentar," ucap Idris. Dia tahan langkahnya dan langkah Hera. "Hand Daisy to me. She needs new clothes. My Mom is in the room," ujar Idris ke Hera setengah berbisik. "And I hope Daisy will wear new clothes at your grandma's wedding." Hera dengan cepat menyerahkan Daisy ke tangan Idris. "And I hope you will be my partner," ujar Idris berharap sambil mengerdipkan matanya ke arah Hera. Hera mengangguk cepat. Kantuknya langsung hilang seketika. Idris bergegas menuju kamar yang dia maksud. "Kok bisa kenal dengan Idris?" tanya Bagas ke Hera ketika melihat punggung Idris menghilang dari balik pintu. "Iya. Tadi aku bertemu dia di kebun." Bagas masih menunjukkan ekspresi wajah heran. "Why, Bagas. Jealous?" tanya Nadzir iseng. Bagas menggeleng. "Nggak. Soalnya baru kenal kok pegangan tangan?" "Nothing wrong with that," rutuk Hera. "He is kind and gentle. Dia sopan," Hera membela Idris. *** Idris perlahan membuka pintu sebuah kamar. Sebelumnya dia melihat mommynya menuju kamar tersebut sambil membawa peralatan kerjanya. Idris langsung memburu mommynya yang sedang berdiri memeriksa gaun yang dipakai Eyang Ola. "Idris? Jangan ganggu Mommy kerja," bisik Gema. "Sebentar, Mommy. I just want to put this inside your bag. Hope you can make new clothes for her," ujar Idris sambil membuka tas besar Gema dan meletakkan boneka barbie lusuh ke dalamnya dengan sangat cepat dan sedikit memaksa. Mami Lizett dan Eyang Ola, yang merupakan nenek Hera, tersenyum ke arahnya. Idris balas senyuman mereka dengan menundukkan kepalanya. "Halo Idris." Eyang Ola menyapa Idris sambil menggerakkan tangannya ingin Idris mendekatinya. "Nggak papa, Eyang Ola. Kamu sudah rapi dan cantik," puji Idris. Dia tidak ingin mengganggu penampilan Eyangnya hera itu. Wajah Mommy Idris dan Mami Lizett terpana mendengar pujian dari mulut Idris yang terdengar sangat menyenangkan. "Your name is Idris," sapa Mami Lizett sedikit membungkukkan tubuh tingginya. Idris mengangguk. Dia terlihat malu melihat wajah tegas Mami Lizett. "Idris Elba? I am his fan," canda Mami Lizett sambil mengacak rambut Idris. "No." Idris tampak buru-buru ingin ke luar dari kamar. "I got to go ... excuse me," ucap Idris. "Idris. Wait!" cegah Mami Lizett tiba-tiba. "Do you mind wearing my designed clothes? Special for her wedding. And you will be Hera's partner. Hera is my granddaughter." Lizett menawarkan Idris untuk memakai baju hasil rancangannya agar bisa berpasangan dengan Hera. Idris ternganga mendengarnya. Dia lirik mamanya yang tersenyum ke arahnya. "We ... we talked about that already," desahnya pelan dan malu-malu. Mami Lizett dan Eyang Ola tertawa. "You met her?" tanya Mami Lizett dengan mata terbelalak. Idris mengangguk tersenyum. Senyumnya tampak malu-malu. Pipinya memerah. "Aha ... you like her," ucap Lizett menutup mulutnya. Dia senggol bahu Gema pelan. Mommy Idris itu tersenyum simpul melihat sikap anaknya. Setelah menunduk kepala ke arah tiga perempuan di hadapannya dengan sopan, Idris lalu berjalan cepat ke luar dari ruangan dan kembali menemui Hera, Nadzir dan Bagas yang masih berdiri menunggunya. Tampak Hera langsung menggenggam tangan Idris sambil menatap wajah Bagas denagn tatapan menantang. Bagas hanya mengangkat bahunya dengan bibir mencebik. "Let's go," ucap Hera. Dia dan Idris malah melangkah di depan Nadzir dan Bagas. Bagas terlihat menggeram melihat keakraban Hera dan Idris. Tapi Nadzir cepat menenangkannya dengan menepuk-nepuk pundaknya. Tapi kegeraman Bagas lenyap saat hendak menyebrang ke taman di depan rumahnya. Ada seorang gadis cantik bermata sipit memanggilnya dari arah samping rumahnya. "Maureen!" seru Bagas. Maureen adalah anak dari seorang dokter yang rumahnya berada tepat di samping rumah Bagas. Seruan Bagas membuat Hera dan Idris berhenti melangkah. "Bagas ... aku ikut gabung main ya?" pinta Maureen tanpa malu-malu. "Iya. Boleh. Oiya ... ini Nadzir. Ini Hera dan ini Idris." Bagas dengan semangat memperkenalkan saudara-saudaranya ke hadapan Maureen. Maureen juga tidak kalah semangat menyambut tangan-tangan mereka. Dia lalu meraih tangan Bagas dan menariknya menuju ayunan. Nadzir tersenyum melihat Bagas dan Maureen yang berlarian menuju ayunan di depan pekarangan rumah Bagas, begitupula dengan Hera dan Idris. *** Senang melihat Bagas dan Maureen duduk berdua di atas ayunan yang didorong pelan-pelan oleh Nadzir, Hera mengajak Idris duduk berduaan di salah satu sudut taman. Idris tentu saja senang dengan ajakan Hera. Apalagi Hera menggenggam tangannya erat-erat saat melangkah menuju bangku panjang di sisi taman. "May I touch your hair?" tanya Idris. Tangannya sudah siap-siap meluncur ke arah rambut Hera. "Yes. You can touch them. Ya. Boleh," tanggap Hera dengan senyum cerianya. Hera biarkan tangan Idris menyentuh dan memainkan rambut keriwilnya. Sesekali Idris menarik-narik rambutnya hingga lurus lalu dilepasnya dan kembali menjadi keriting lagi. Idris senyum-senyum melihat rambut keriting Hera yang berwarna coklat tua. Sementara Hera yang sudah tenang seakan tidak bosan melihat mata abu-abu Idris yang tajam mengamati rambutnya dengan seksama. Layaknya rambut Hera menyihir perhatian Idris, sehingga dia tidak lagi menghiraukan Nadzir yang memanggilnya untuk bermain bersama. "J'aime tellement tes yeux. Aku suka sekali matamu," decak Hera kagum. Dia pegang pipi kokoh Idris dengan dua tangan mungilnya. Idris tersenyum. Dia kedipkan dua matanya seraya menatap Hera, disertai senyum hangatnya. Dia ingin Hera puas melihat matanya. Lalu kemudian tatapannya kembali ke rambut Hera yang dia pegang-pegang. "J'aime tellement tes cheveux," balas Idris yang matanya tak lepas dari rambut keriting Hera. Hera menganga. Tak menyangka Idris bisa berbahasa Perancis. "You speak French?" "A little bit. My Dad sometimes read French stories before bed." Mata Hera membulat takjub. Dia rangkul pundak Idris. Idris pun membalasnya. "Wish I could play with you everyday," ucap Hera seraya meletakkan kepalanya di bahu Idris. "Wish I could touch your hair everytime I want," balas Idris. Hera merekatkan tubuhnya ke tubuh Idris. Dia rangkul pundak Idris seerat mungkin. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN