PERCINTAAN SATU MALAM

1243 Kata
*** Hasan pergi menuju rumah Naura. Pria itu ingin berbagi masalah soal syarat tak tersurat yang disampaikan oleh Nadia padanya. "Mas, kenapa ke sini?" tanya Naura dengan raut wajah khawatir. Wanita itu menatap ke sekitar karena takut akan ada tetangga yang melihat dan mencemarkan nama baiknya. Mendengar pertanyaan Naura membuat Hasan kian marah. Ia merasa menceritakan masalahnya dengan Naura bukanlah jalan keluar yang baik. "Salah kalau aku dateng ke sini?" ucap Hasan dengan wajah berekspresi datar. Naura kewalahan sendiri saat melihat raut wajah Hasan berubah drastis. Wanita itu ingin memberikan penjelasan, tapi sungguh ia tidak ingin timbul fitnah yang disebabkan oleh tetangga yang melihanya. Hasan mengepalkan tangan dan berlalu pergi dari rumah Naura saat tak mendapati jawaban dari wanita itu. Ia memutuskan untuk pergi daripada semakin terjerumus pada amarah yang bergejolak. Hasan linglung, ia bingung hendak kemana. Syarat Nadia yang membuat pikirannya terbebani, lalu Naura yang tak memberikannya izin untuk berkunjung. Hah, sangat sial sekali. Saat melintasi daerah club, Hasan terpikirkan untuk menghabiskan malamnya dengan meminum alkohol agar biaa melupakan semuanya yang terjadi. Pendengaran Hasan sontak disambut dengan suara dentum hebat saat ia memasuki pintu masuk club itu. Pakaian wanita yang banyak berpakaian minim beserta pria dari berbagai profesi memenuhi isi club itu. Hasan duduk sembari menunggu bartender untuk menyiapkan segelas alkohol untuknya. Satu gelas. Dua gelas. Dan Hasan berhenti pada gelas ketiga. Ia sudah tidak kuat dan mulai mabuk. Ini kali pertamanya pria itu menyentuh alkohol. Rasanya menyakitkan tapi sekaligus melegakan. "Saya gak tahu harus apa," racau Hasan sembari memegangi kepalanya yang terus mendengungkan kalimat Nadia. "Saya gak mau." Sang bartender mendekati Hasan dan menemani pria itu selagi tidak ada yang meminta tambahan alkohol. "Mas, kamu sudah mabuk apa perlu jasa antar pulang?" tanya bartender itu. Ia menggelengkan kepala melihat Hasan yang sudah mabuk berat padahal hanya minum tiga gelas saja. "Saya bingung," adu Hasan. Sang bartender dengan patuh menyimak hal apa yang akan dibicarakan oleh Hasan. "Saya punya istri dan dua hari lagi akan cerai." Sang bartender diam tak menyela. "Dia mengajukan syarat tak tersurat dan isinya saya harus melakukan hubungan intim dengannya!" Manik sang bartender sedikit terbelalak. Kenapa seorang wanita sekaligus istri bisa mengatakan hal seperti itu? Ia sedikit penasaran dengan kejadian sebenarnya. Dengan penuh keberanian ia bertanya, "Memangnya kenapa bisa dia mengajukan itu? Bukankah sudah wajar jika sepasang suami-istri melakukannya?" Wajah Hasan semakin terlihat suram. Pria itu berkata, "Dia memintanya karena tidak mau berada dalam keadaan janda tapi perawan. Dia–" "Memangnya berapa lama pernikahan kalian?" tanya bartender memastikan. "Dua tahun." Manik bartender itu terbelalak. Bagaimana bisa usia pernikahan sudah dua tahun tapi sang istri masih perawan? Apa tidak salah? Apa pria di depannya ini terkena impoten? "Lalu, apa salahnya melakukan itu?" Apa salahnya melakukan itu? Jelas bagi Hasan itu sangat salah karena dirinya tidak ingin menyentuh wanita manapun, kecuali Naura. "Dua hari lagi kalian bercerai, kan? Kenapa tidak lakukan dan lupakan. Toh nanti juga cerai dan tidak akan bertemu lagi. Lagipula melakukan itu tidak terlarang karena kalian masih suami istri yang sah." Hasan terdiam mencerna perkataan sang bartender. *** Suara bel yang terus ditekan membuat Nadia yang tertidur di sofa ruang tamu segera bangkit. Wanita itu merapikan pakaian tidurnya yang terasa kusut dan bergegas untuk membukakan pintu rumahnya. Saat pintu terbuka, Nadia mengernyit saat ia mencium pekat bau alkohol dari tubuh Hasan. Lalu, jangan lupakan wajah Hasan yang terlihat memerah dan tampak kentara bahwa ia sedang mabuk. "Mas, kenapa kamu bisa–" Belum sempat Nadia menyelesaikan ucapannya. Hasan menarik wanita itu menuju kamar terdekat dari ruang tamu itu. Langkah Hasan yang lebar disertai cengkraman kuat di lengannya membuat Nadia kesulitan berjalan mengimbangi. Ringisan terdengar saat Hasan menyentak kasar Nadia hingga wanita itu menghempas ranjang di sana. Pria itu menutup pintu dan tak lupa menguncinya. Wajah berekspresi datar yang memerah karena mabuk itu perlahan menyeringai. Nadia merasa tubuhnya gemetar ketakutan dengan Hasan yang seperti ini. Ia tidak pernah melihat sosok Hasan yang terkesan jahat. "Mas, kamu mau apa?" tanya Nadia dengan suara gemetar ketakutan. Hasan berjalan mendekat dengan tangan yang melonggarkan dasi yang ia gunakan. Ia merangkak naik dan menindih tubuh Nadia. "Kamu yang minta," bisik Hasan s*****l pada telinga Nadia. Pria itu memberikan kecupan halus pada telinga istrinya itu. Nadia merasakan tubuhnya berdesir hebat. Ia takut setengah mati dengan Hasan yang sedang dilingkupi oleh kemarahan seperti ini. "Mas, aku–" "Diam, Nadia. Aku akan memberikan syarat itu dan ingatlah jangan pernah hadir dalam hidupku setelah perceraian kita." Sesak. Nadia mencoba mengambil napas sebanyak yang ia bisa untuk mengisi hatinya yang terasa sesak. Wanita itu menatap lamat pada wajah Hasan yang hanya memancarkan kebencian untuknya. "Kamu itu murahan, Nadia, sangat murahan." Nadia kian merasa sesak dan air matanya mendesak untuk segera keluar. Ia terus menatap wajah Hasan dan tak sedikitpun ia bisa membenci pria itu walau sudah dihina habis-habisan. Hasan bangkit dengan bertumpukan lututnya. Pria itu perlahan membuka jas dan kemeja yang dikenakannya hingga akhirnya menunjukkan tubuh atasnya tanpa kain sehelai pun. "Buka bajumu," perintah Hasan yang tak dihiraukan oleh Nadia. "BUKA!" bentak Hasan dan dengan geram merobek baju tidur yang digunakan Nadia. Hasan melakukannya dengan paksa. Pria itu tak membiarkan Nadia menikmati percintaan mereka. Tangan Hasan dengan kasar terus menampar wajah Nadia dan menghentak tubuhnya kasar. Permainan kasar, Hasan suka itu. Deru napas berat mengisi ruangan itu. Suara khas penyatuan terdengar nyaring. Nadia menatap Hasan dengan sorot kosong. Ia terus menitikkan air mata walau tanpa suara. Dirinya bagai boneka pemuas nafsu pria. "Kau... Ah! Pasti suka begini, kan? Ngh..." Hasan terus meracau dalam percintaan mereka. Pria itu menyentak kasar tiap kali dirinya mendapat pelepasan. Bukan hanya satu kali, Hasan melakukannya berkali-kali berharap Nadia sadar bahwa hal yang ia pinta bukanlah sesuatu yang indah untuk dilakukan. "Dasar jalang!" Nadia memejamkan maniknya karena sudah tak sanggup melihat wajah Hasan. Ia sudah cukup terluka dengan segala u*****n yang diberikan suaminya itu. Hasan tak sadar terus melakukannya sepanjang malam dan membuat tubuh Nadia sangat remuk. Permainan Hasan melembut dan hal itu menghanyutkan Nadia dalam percintaan mereka. Desah bersambut terdengar, tak bisa Nadia pungkiri bahwa permainan kali ini begitu nikmat dan sayang untuk dilewatkan. Desahan lembut terdengar dari bibir wanita itu tiap kali hentakan pelan ia rasakan. Hasan melakukannya dengan pelan dan penuh kelembutan sehingga membuat Nadia juga bisa merasakan nikmatnya percintaan. Namun, saat keduanya hendak mencapai kenikmatan itu bersama, Hasan sudah lebih dulu menumpahkan benihnya dengan desahan panjang yang menyadarkan Nadia. "Ahh Naura." Setelah itu, tubuh Hasan ambruk menimpa tubuh Nadia di bawahnya. Pria itu jatuh tertidur dengan membayangkan bahwa ia melakukannya bersama Naura. Nadia tertawa hambar. Wanita itu mengangkat naik lengannya dan menutup matanya yang kian sembab. Bibir wanita itu gemetar saat membayangkan Hasan melakukannya dengan lembut karena berpikir bahwa dirinya adalah Naura. Naura. Naura! NAURA! Entah kenapa Nadia membenci nama itu. Dengan tenaga yang ia miliki, Nadia beranjak pergi menuju kamarnya dengan langkah tertatih. Tiap langkah yang ia ambil membuatnya meringis karena intinya yang terasa lecet atas kejadian tadi. Sampai di kamarnya, yang Nadia lakukan adalah mandi di bawah shower. Merasa tidak akan ada yang mendengar, Nadia menumpahkan tangisnya di sana. Ia meraung pilu sembari mengusap tubuhnya. Selesai dengan itu semua, Nadia memilih untuk tidur dalam balutan selimut dan meringkuk memeluk tubuh lemahnya. Ia mencoba untuk tidur, tapi u*****n penuh caci maki yang dilontarkan Hasan masih terngiang-ngiang dalam kepalanya. Kamu itu murahan, Nadia, sangat murahan. Dasar jalang! Lebih menyakitkannya lagi saat Nadia mengingat ucapan Hasan yang seolah tak ingin melihatnya lagi. Ingatlah jangan pernah hadir dalam hidupku setelah perceraian kita. "Akan aku ingat setiap ucapanmu, Mas." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN