RESMI BERCERAI

1137 Kata
*** Keadaan ruang sidang itu terasa dingin, tapi sayangnya tak bisa membuat tubuh Nadia berhenti untuk mengeluarkan keringat. Tangan wanita itu gemetar dengan manik menatap pada hakim yang berada di depannya. Maniknya melirik pada Hasan yang terus berekspresi datar. Ya, sejak kejadian mengenai syarat tak tersurat lalu membuat Hasan selalu menunjukkan ekspresi tidak suka jika dihadapkan dengan Nadia. Pria itu selalu menatap jijik pada Nadia setiap kali mereka tak sengaja bersitatap. Nadia menunduk dengan memainkan jemarinya yang terasa basah oleh keringat. Jantung wanita itu tak berhenti berdetak nyeri. Rasanya semua bagai mimpi buruk. Sebentar lagi... Ia akan resmi bercerai dari pria yang ia cintai. Nadia bahkan bisa melihat ada Naura dari sekian keluarga yang hadir untuk menyaksikan perceraian mereka. Suara hakim mulai menyapa dan hal itu semakin membuat ritme jantung Nadia tak menentu. Rasanya amat sesak untuk bernapas. Tubuh Nadia bagai tertimpa batu besar yang menyesakkan baginya. Segala pertanyaan yang dilayangkan oleh hakim dijawab dengan lugas oleh Hasan dan sedikit tergugu oleh Nadia. Hingga tibalah saat di mana ikrar talak akan dilakukan. "Kepada saudara pemohon, Hasan Kurniawan Fajri, harap berdiri pada tempat yang telah disediakan." Tanpa ragu, Hasan bangkit dari duduknya dan berdiri di tempat yang sudah diberitahukan oleh hakim. Dengan balutan jas dan kemeja putihnya, ia tampak gagah berdiri di depan hakim tanpa sedikitpun raut kesedihan. "Kepada saudari termohon, Nadia Berliani Putri, harap untuk berdiri pada tempat yang telah disediakan." Dengan langkah kikuk dan sedikit gontai, Nadia bangkit dari duduknya. Wanita itu berjalan menuju samping Hasan sembari menunduk. Air mata tak bisa ia cegah untuk jatuh mengaliri pipinya. Raut wajahnya penuh akan kepedihan. Bolehkah ini tidak terjadi? Nadia ingin memberi bantahan pada hakim dan mengatakan ketidaksediaannya dalam mengikuti persidangan, tapi satu sisi saat melihat Hasan yang begitu membencinya dan menantikan perceraian mereka, Nadia tak bisa berbuat apa-apa. Keadaan hening. Semua terasa sakral bagai awal sumpah akad dilakukan, tetapi bedanya ini adalah ikrar talak yang amat dibenci oleh banyak orang, terutama Nadia. Di mana ada pertemuan, di situ ada perpisahan. Nadia pikir perpisahan tak akan sesakit ini, tapi nyatanya sangat sakit bagai paksaan bernapas dalam air. Terasa amat menyesakkan. "Baiklah, ikrar akan kita mulai." Jantung Nadia berdegup kencang saat hakim mengucapkan hal itu. Ada desakan dalam dirinya yang memerintahkan untuk mencegah ikrar itu dilakukan. "Yang Mulia," panggil Nadia dengan suara gemetar. Hasan menoleh cepat menatap pada Nadia. Ia memberikan tatapan tajam takut jika Nadia mengacaukan semuanya. "Boleh saya minta satu hal?" ucap Nadia dengan suara yang kian gemetar diiringi dengan air mata yang mengaliri pipinya. "Ya, silakan." "Untuk terakhir kali sebelum ikrar talak dilakukan, bolehkah saya meminta pelukan pada suami saya untuk yang terakhir kalinya?" pinta Nadia penuh harap. Isak tangis terdengar saat Nadia mengatakan itu. Para penonton yang datang dari pihak keluarga Hasan, terutama ibu dari pria itu menitikkan air mata melihat menantunya yang sebentar lagi akan bercerai dengan putranya. "Kepada saudara Hasan, apakah Anda bersedia?" Hasan menatap lamat wajah Nadia dari samping. Lelehan air mata wanita itu tak membuatnya merasa menyesal sedikitpun. Pria itu sempat melirik pada Naura dan ia mendapatkan persetujuan dari wanita itu. "Ya, saya bersedia." "Silakan kepada saudari Nadia." Sebelum detik berganti, Nadia memeluk Hasan yang berada di sampingnya sembari menumpahkan tangisnya. Isak pilu dari Nadia bagai melodi menyakitkan bagi mereka yang mendengarnya. Dari gerak-gerik Nadia, mereka tahu bahwa wanita itu tidak ada niat sedikitpun untuk bercerai dari suaminya. Setelah lima menit berlalu, Nadia melepaskan pelukannya dan menunduk dalam. Wanita itu menghapus kasar air matanya dan mengeraskan hatinya. "Sudah, Yang Mulia, saya siap melanjutkan sidang," ucap Nadia dengan sedikit lebih lega. "Apakah saudara Hasan ingin dituntun dalam pengucapan ikrar talak, atau Anda sudah tahu bagaimana ikrarnya?" tanya hakim terlebih dahulu. "Saya bisa, Yang Mulia." Jantung Nadia bagai diremas di detik Hasan mengatakan itu. Hah, ternyata hanya dirinya seorang yang terlihat amat menyedihkan di sini. Hanya Nadia yang terlihat sedih atas perpisahan yang akan terjadi. "Kepada saudara Hasan harap mengucapkan ikrar." Hening melanda ruangan itu. Hasan menarik napas dalam, ia menatap Nadia dengan sorot dingin dan masih berekspresi datar. "Pada hari ini, saya Hasan Kurniawan Fajri bin Husein Kurniawan, berikrar menjatuhkan talak kepada istri saya bernama Nadia Berliani Putri binti Handoko Berlian." Waktu bagai berlalu amat pelan. Nadia menikmati tiap rasa sakit yang ia derita. Maniknya memejam dengan lelehan air mata untuk terakhir kalinya. Nadia berjanji, ia tak akan pernah menangis lagi. Ia akan menjadi wanita yang jauh lebih baik walau berstatus sebagai janda selepas persidangan ini. Ketukan palu terdengar menandakan persidangan selesai. Nadia memutuskan untuk keluar dari tempat itu lebih dulu. Ia datang sendiri. Tanpa siapapun yang berpihak padanya karena memang tak ada yang peduli. Nadia menatap langit biru yang terasa cerah hari ini. Entah kenapa saat melihat langit, wanita itu bagai bisa membayangkan bahwa Tuhan sedang tersenyum padanya dan memberikan semangat untuk Nadia terus melanjutkan hidup yang jauh lebih baik. Ya, kehilangan Hasan bukan berarti Nadia harus menyerah atas hidupnya sendiri. ini adalah awal baru, Nadia akan membuka lembaran baru dengan kisah yang akan ia ukir sendiri. Hanya ada dirinya seorang. "Nadia!" panggil seseorang dari arah belakangnya. Nadia berbalik dan menatap dua orang yang menjadi kehancurannya. Wanita itu mencoba untuk memasang wajah seolah baik-baik saja. Senyum menghiasi wajah pucatnya. "Untuk akta cerai akan segera diurus dan aku usahakan agar semua berjalan dengan cepat." Hanya itu? Apa Hasan memanggilnya hanya ingin mengatakan itu saja? Nadia ingin tertawa rasanya. "Ya," jawab Nadia singkat. Nadia berbalik hendak meninggalkan mereka berdua, tapi lagi-lagi suara Hasan membuat langkahnya terhenti. "Aku harap suatu hari nanti kamu akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku, Nad." Nadia mengepalkan tangannya kuat. Ia menahan ribuan pisau yang seolah menusuk jantungnya. "Semoga kelak kamu bisa bahagia dengan takdirmu," sambung Hasan dengan hati yang tulus. "Ya, terima kasih." Nadia terus melangkah pergi tanpa mau berbalik dan menatap pada Hasan. Tidak! Nadia tidak ingin kembali goyah. Ia harus berubah dan menghilangkan semua hal yang berkaitan dengan Hasan termasuk meninggalkan kota ini. Jakarta, kota ini akan Nadia ingat sebagai kota dengan penuh luka dalam hidupnya. Akan Nadia ingat jika di kota ini ia mendapatkan banyak kesedihan tak terhingga. Nadia menaiki taksi yang berhasil ia hentikan. Saat duduk di kursi penumpang belakang, manik Nadia tak sengaja melirik pada tempat Hasan berdiri. Ia menatap dua insan yang saling berpelukan dengan senyum lebar penuh kelegaan di wajah mereka. Semua akan Nadia ingat. Raut wajah bahagia Hasan. Seluruh yang Hasan rasakan di hari perpisahan ini akan Nadia ingat sampai akhir hidupnya. "Berbahagialah, Mas, berbahagialah." Karena jika kamu tidak bahagia setelah pengorbanan cinta yang aku lakukan, maka aku yang akan menyesal telah melepasmu. "Jalan, Pak." Akhirnya Taksi yang ditumpangi Nadia melaju pergi meninggalkan tempat itu. Nadia menatap kosong pada luar jendela mobil. Dear Jakarta, jika tak ada setitik asa yang kutemukan padamu, maka kuharap tempat lain akan memberikan itu untukku. Terima kasih atas tawa dan tangis yang kuterima selama ini. Aku akan kembali jika luka ini telah usai. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN