SYARAT TAK TERSURAT

1303 Kata
*** Hari itu Hasan pulang dengan wajah penuh rasa gembira. Ia tak sabar untuk menantikan hari perceraiannya lusa nanti. Pria itu bahkan sudah menyiapkan banyak rencana ke depannya setelah ia resmi bercerai dengan Nadia. Termasuk merencanakan pernikahannya bersama Naura. Ya walau tidak bisa langsung menikah setelah cerai, setidaknya ia sudah menyiapkan segala rencana dengan matang. "Mas," panggil Nadia yang membuat lamunan Hasan yang indah terhenti. Masih dengan senyum yang ia tebarkan, Hasan menghampiri Nadia seperti biasa. Pria itu memberikan kecupan pada kening istrinya. "Kenapa, Nad?" tanya Hasan masih dengan senyum yang bertengger manis di bibirnya tanpa pria itu sadari bahwa senyumnya memberi luka pada Nadia. "Kamu capek, gak?" Hasan sedikit melunturkan senyumnya. Ia baru sadar bahwa wajah Nadia terlihat pucat dan tak bersemangat. Dengan cepat Hasan memapah tubuh Nadia untuk ia bimbing agar duduk di sofa. "Harusnya aku yang tanya sama kamu, kamu capek?" ucap Hasan dengan manik khawatir. Pasalnya wajah Nadia sangat pucat bagai tak dialiri darah. Mendengar pertanyaan Hasan, entah kenapa itu terasa begitu menyentil perasaannya. Ingin sekali rasanya Nadia berteriak bahwa dirinya memang lelah. Aku capek, Mas, harus pura-pura gini! Aku capek terlihat baik-baik aja padahal enggak! Aku capek, Mas, sama semua ujian yang Tuhan kasih ke aku! Hasan panik saat melihat manik istrinya berkaca-kaca dan siap untuk menumpahkan tangisnya. Pria itu membawa Nadia pada dekapan hangatnya dan berusaha untuk menenangkan istrinya itu. "Tarik napas dalam, keluarin pelan-pelan." Nadia melakukan interuksi yang diperintahkan suaminya itu. Rasanya sesak tiap kali ia memikirkan bahwa lusa mereka akan benar-benar bercerai dan dirinya tak akan pernah lagi bisa memeluk Hasan seperti ini. Hasan mengernyit saat Nadia semakin terisak dan memeluknya erat. Pria itu dengan sabar mengusap rambut Nadia dengan penuh sayang dan mencoba menenangkannya. Lama waktu berlalu, akhirnya Nadia bisa kembali tenang. "Coba bilang apa yang bikin kamu kayak gini?" tanya Hasan sembari menatap lamat pada wajah Nadia. "Aku ada salah, ya?" sambung Hasan dengan rasa sesal yang ia sendiripun tidak tahu. Banyak, Mas, kamu punya banyak salah sama aku. "Enggak, mungkin emang dasar akunya aja yang moodyan." Hasan menghembuskan napas lega, ia membingkai wajah Nadia dan menatap dalam pada manik istrinya itu. "Inget, jangan gitu lagi. Aku khawatir, Nad," ungkapnya. Perasaan Nadia rasanya sedang terbolak-balik saat ini. Ia merasa perasaannya sedang dimainkan oleh Hasan. Satu sisi pria itu bertingkah seolah dirinya mencintai Nadia, tapi di satu sisi lainnya ia bertingkah seolah begitu mencintai Naura dan tak memiliki perasaan apapun pada Nadia. Siapa yang sebenarnya ada di hati Hasan? Benarkah tidak ada Nadia di sana walau sedikit saja? "Mas, boleh aku tanya sama kamu?" ucap Nadia mencoba memberanikan diri untuk bertanya. "Boleh, mau nanya apa emang?" jawab Hasan dengan senyumnya. Tangan Nadia terangkat menyentuh area jantung Hasan dan merasakan detak jantung pria itu sedikit menggebu. Bisakah Nadia berharap jika itu disebabkan olehnya? Bolehkah ia berharap detak jantung yang menggebu itu karena Hasan sedang berdebar melihatnya? Bolehkah? "Nad, kamu kenapa?" heran Hasan. "Di sini, apa ada aku?" tanya Nadia sembari menatap tangannya yang menyentuh area jantung Hasan. Hasan mengernyit, ia tidak paham dengan maksud Nadia. Pandangannya teralihkan pada tangan istrinya yang sedang berada di area jantungnya. Sedikit lama berpikir barulah Hasan mengerti maksud dari pertanyaan Nadia itu. "Tentu ada." Manik Nadia melebar dengan jantung yang semakin berdegup kencang. Apakah itu tandanya Hasan mencintainya juga? Binar dalam manik Nadia tak bisa tertahankan. "Walau kamu istri aku, tapi aku udah nganggep kamu kayak adik aku, Nad. Aku sayang sama kamu," sambung Hasan yang menghancurkan harapan Nadia. Rasanya seperti diterbangkan lalu dihempaskan kembali. Hasan terlalu jahat mempermainkan hati Nadia! Adik? Nadia tidak mau dianggap adik oleh pria yang ia cintai! Nadia ingin Hasan melihatnya sebagai seorang wanita, bukan adik semata. Bisakah Nadia mengungkapkan rasa cintanya sekarang? Bolehkah itu terungkap sekarang? "Mas, kita lusa bercerai, boleh aku minta syarat perceraian?" "Syarat? Bukannya aku udah cantumin–" "Bukan, Mas, ini syarat tak tersurat. Aku ingin syarat ini cuma kita berdua yang tahu dan aku mau kamu nerima syarat yang bakal aku ajuin ini," potong Nadia dengan manik menatap dalam pada manik Hasan. Ia harus mengatakan syarat itu sekarang. "Baiklah, syarat apa emang?" Hening melanda mereka. Nadia mengepalkan tangannya. Tubuh wanita itu terasa sedikit kaku, tapi tak apa. "Aku ingin kita melakukan itu." Hasan mengernyit tidak mengerti. Maksud dari ucapan Nadia apa? Itu yang dia maksud merujuk ke arah mana? "Maksudnya?" heran Hasan. Nadia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia membalas tatapan Hasan dengan berani walau nyalinya semakin menciut saat manik hitam pekat itu menatapnya intens. "Aku ingin kita melakukan hal yang suami-istri lakukan." Hasan mematung. Pria itu terkejut dengan syarat yang diajukan oleh Nadia. Namun sisi logikanya mencoba untuk berpikir positif, mungkin maksud Nadia bukan merujuk pada hal seperti itu. "Yang seperti apa maksud kamu?" tanya Hasan dengan raut wajah serius. "Aku ingin kita berhubungan intim sebelum lusa benar-benar bercerai." APA?! Sontak saja hal itu membuat Hasan berdiri dari duduknya dan menatap Nadia dengan tajam disertai tangan yang terkepal. Ia tidak senang saat Nadia mengatakan itu. Wanita itu pikir apa sampai mengajukan syarat yang tak masuk akal? "Kamu kayaknya sakit, mending istirahat. Aku masih ada urusan," ucap Hasan hendak pergi, tapi Nadia menahan pergelangan tangannya. Tak ingin menyerah, Nadia menatap penuh keseriusan pada manik Hasan dan mengabaikan rasa takutnya. Nadia membalas tatapan itu tak kalah tajam. "Aku serius, Mas, aku ingin–" "DIAM!" bentak Hasan untuk pertama kalinya. Tubuh Nadia gemetar, tapi ia tetap berusaha untuk berani. Syarat yang ia ajukan memang bodoh dan terkesan tak memiliki harga diri, tapi Nadia tidak ingin menyesal. Ia tidak ingin berstatus janda dengan keadaan masih perawan. Harga dirinya hancur begitu saja saat Hasan berkata, "Kamu murahan banget, ya, Nad?" Senyum mengejek itu membuat Nadia mematung di tempat seolah dirinya tengah mendapatkan luka tusukan pada hatinya. Maniknya meredup saat wajah Hasan yang menunjukkan kebencian padanya. "Aku gak akan mau cerai kalau syarat itu gak kamu penuhi!" Hasan mengepalkan tangannya kuat. Kilat kebencian membara dalam maniknya melihat pada sosok Nadia di depannya yang berdiri menantang. "Kamu gila? Mana mungkin aku lakuin itu ke kamu, Nad. Kamu–" "Aku cuma minta satu syarat itu, Mas." "Aku gak akan bisa dan gak akan pernah mau! Kamu gak mikir, aku nganggep kamu adik dan mana ada kakak yang–" "AKU ISTRI KAMU BUKAN ADIK KAMU, MAS!" balas Nadia dengan suara lantang. Bibirnya terasa gemetar setelah membentak Hasan. "Kalau kamu gak mau, aku gak akan pernah datang ke persidangan itu! Aku gak akan mau bercerai sama kamu," sambung Nadia dengan wajah serius penuh keyakinan. "Kamu gila," ucap Hasan dan pergi dari sana. Ia menutup pintu rumah dengan kencang sampai terdengar suara nyaring dari pintu yang tertutup. Pria itu meninggalkan Nadia yang tubuhnya jatuh meluruh dan terduduk lemas di lantai. Gila! Ya, Nadia akui dirinya memang gila. Meminta syarat tak masuk akal itu pada Hasan, tentu Hasan tidak akan mengabulkannya. Harusnya Nadia sadar diri bahwa itu tak akan pernah terjadi walau ia memintanya sebagai syarat perceraian sekalipun. Hasan jelas tidak akan mungkin mau melakukannya karena pria itu hanya akan melakukannya bersama Naura, wanita yang ia cintai. "Sekarang semuanya sudah jelas," gumam Nadia sembari tersenyum tipis. "Mas Hasan tidak sedikitpun merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan." "Terima kasih." "Terima kasih atas semua luka ini." Tangan Nadia terangkat menyentuh area jantungnya. Wanita itu meremasnya kuat, menyisakan rasa sesak yang lambat laun menghancurkan dirinya dari dalam. "Akan aku simpan dengan rapat luka ini, tenang saja." Nadia memejamkan matanya, sesaat ia kembali membuka mata dengan sorot kosong menatap langit-langit ruangan. Maniknya menerawang dengan terus merenungi kehidupan rumah tangga yang ia jalani dua tahun bersama Hasan. Siapa bilang cinta datang karena terbiasa? Bukti nyata cinta tak akan tumbuh walau sudah terbiasa adalah Hasan dan Nadia. Sebaik apapun seseorang yang berada di samping pria itu, ia tetap akan mencintai masa lalunya. Hanya Naura karena hanya wanita itu yang berkedudukan tinggi di hati Hasan. Hanya Naura, bukan Nadia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN