AJUAN CERAI KEMARIN?

1117 Kata
*** Dua tahun yang lalu, tepat saat di mana pertemuan antar dua keluarga untuk membahas pernikahan antara Hasan dan Nadia. Tanpa perlu memperpanjang masalah, Nadia dan Hasan tentu menerima dengan lapang d**a soal pernikahan yang akan terjadi di antara mereka karena mereka berpikir bahwa hubungan itu tak akan sulit untuk dijalani karena keduanya sudah saling kenal walau tak terlalu akrab. Namun walaupun begitu, keduanya masih membuat surat perjanjian berisi jika dua tahun setelah pernikahan tidak tumbuh cinta dari kedua belah pihak, maka perceraian adalah jalan satu-satunya hal yang akan terjadi. Nadia dan Hasan menyepakati perjanjian hitam di atas putih itu secara sadar dan tanpa diketahui pihak keluarga mereka. "Tolong jangan selingkuhi aku sebelum perjanjian kita selesai, Mas. Kalau nanti memang gak ada jalan lain selain perceraian, aku ikhlas." Nadia memandang langit malam sembari bersandar pada bahu lebar Hasan. "Ya, aku janji. Walau suatu saat kita akan berpisah, aku gak akan berselingkuh selagi masih ada hubungan yang sah sama kamu," balas Hasan dengan sungguh. "Ya, aku pegang ucapan kamu." Nadia tersenyum senang saat Hasan telah mengatakan janjinya. Ia percaya bahwa Hasan tidak akan mungkin mengingkari janjinya. Nadia kembali tersadar ke masa sekarang. Ingatannya tentang janji Hasan yang dulu malah semakin membuat luka hatinya kian melebar. Nadia menangis kembali di balik selimut yang melingkupi tubuhnya yang terasa amat panas. Suara ketukan pintu membuat Nadia mau tidak mau harus beranjak dan membuka pintu kamarnya. Tubuhnya terasa pegal karena pingsan di lantai sampai malam menjemput. Wanita itu membuka perlahan pintunya. "Ada apa, Mas?" tanya Nadia saat mendapati Hasanlah yang mengetuk pintu kamarnya. Suaranya terdengar serak dengan mata yang membengkak karena terus menangis. Hasan yang tadinya tersenyum lembut berubah cemas saat melihat wajah Nadia yang pucat pasi, bahkan bibir Nadia yang biasanya merah alami malah terlihat membiru. Kekhawatiran di mata Hasan terlihat jelas oleh Nadia. Wanita itu terdiam saat tangan dingin Hasan menyentuh keningnya yang terasa panas. "Astaga, Nadia! Kamu demam!" pekik Hasan. Hasan segera menggendong tubuh Nadia dan kembali membaringkan tubuh wanita itu di ranjang. Melihat kekhawatiran serta rasa peduli Hasan membuat Nadia tak kuasa menahan air matanya. Hasan semakin panik kala melihat Nadia menangis. Ia pikir Nadia menangis karena kesakitan akibat demamnya, padahal kenyataannya Nadia menangis saat kembali mengingat momen Hasan bersama Naura. Ia tidak rela berpisah. Nadia tidak mau berpisah dengan pria yang ia cintai ini, Nadia ingin egois untuk kali ini saja. Nadia ingin kebahagiaan juga memihak padanya. Saat Hasan ingin pergi mengambil air kompresan, Nadia menahan lengannya. Wanita itu tidak bersuara. Ia menggeleng pertanda tidak ingin Hasan meninggalkannya. "Aku cuma mau ambil air untuk kompres kamu, bentar aja kok." Nadia semakin menggeleng keras dan tangisnya kembali pecah. Hasan kebingungan dengan sikap aneh Nadia saat ini. Ia akhirnya membujuk Nadia terlebih dahulu. Pria itu mengecup pelan kening Nadia dan berkata, "Aku janji cuma sebentar." Nadia menatap kepergian Hasan dengan tatapan kosong. Kenapa Hasan memperlakukannya sebaik ini? Jika terus begini, bagaimana caranya agar Nadia bisa membenci pria itu dikala rasa cinta ini begitu besar melampaui sakit hatinya sendiri? "Nadia," panggil Hasan saat mendapati Nadia melamun menatap jendela. Pria itu datang dengan baskom kecil berisi air dan handuk bersih. Dengan telaten Hasan mengurus Nadia, bahkan ia sempat mengurungkan niatnya untuk memberikan kabar bahagia yang ia miliki. "Kamu kok bisa demam?" tanya Hasan sembari mengusap rambut Nadia dengan pelan dan penuh kasih sayang. "Mas darimana?" tanya Nadia mengalihkan pembicaraan. "Biasa dari kantor, tadi lembur jadi baru pulang sekitar jam sepuluh tadi." Nadia tersenyum. Senyum yang terlihat pedih. "Mas lagi gak bohong, kan?" Ucapan Nadia membuat Hasan mengernyit heran. "Memangnya kenapa aku harus bohong?" heran Hasan. "Gak, cuma sedikit takut. Lagian gak mungkin kan Mas selingkuh? Mas dulu udah janji gak bakal selingkuh sebelum perceraian kita selesai, Mas ingetkan soal janji itu?" Ucapan Nadia berhasil membuat tubuh Hasan kaku. Pria itu merasa tertohok dan menatap manik Nadia yang menyorotnya sendu. Lidahnya terasa kelu hanya untuk membalas ucapan Nadia. Perasaan bersalah tiba-tiba menggerogoti hatinya. Hasan sadar bahwa ia sudah mengingkari janjinya pada Nadia. "Sekarang ada baiknya kamu tidur, Nad. Ini sudah menjelang tengah malam." Nadia menatap lamat wajah Hasan. Ia tentu peka dengan perubahan Hasan walau sedikit. Bahu pria itu tampak tegang, wajahnya tampak berpikir rumit, bahkan tanpa sadar Hasan mengeraskan rahangnya. Semua terekam jelas di mata Nadia. Bukankah itu sudah cukup jelas membuktikan bahwa soal perselingkuhan Hasan bersama Naura memang benar adanya. Ternyata Hasan dan Naura bukan hanya sekadar teman kantor dan sepasang mantan. Ada hubungan lebih di antara mereka yang disembunyikan. Hubungan yang sempat pupus dan kembali bersemi. "Tapi jangan pergi sebelum aku tidur," ucap Nadia dengan suara bergetar. "Iya." "Bisa minta tolong usapkan rambutku, Mas?" pinta Nadia lagi. Hasan tak menolak. Pria itu dengan patuh menuruti semua yang Nadia inginkan. Dirinya tahu bahwa ketika Nadia sakit tentu saja akan berubah manja seperti sekarang. Sejak dua tahun mereka menikah, terhitung tiga kali Hasan merawat Nadia yang sakit seperti ini. Air mata Nadia mengalir jatuh saat ia merasakan usapan di rambutnya. Betapa bahagianya jika usapan itu dilandaskan atas rasa cinta dan penuh kasih yang tulus. Betapa beruntungnya Naura memiliki hati Hasan sepenuhnya. Nadia pemilik raga suaminya, tetapi tak bisa disangkal bahwa Naura lah pemilik hati suaminya. Berada di posisi yang mengharuskan Nadia bagai orang ketiga di antara kisah cinta mereka, padahal sebaliknya. "Nad, kamu nangis lagi?" Hasan mengusap sudut mata Nadia yang mengalirkan air mata dengan deras. Kelopak mata yang tadi tertutup kembali terbuka. Wanita itu menatap sendu pada Hasan dan menangis tanpa bisa ia cegah. "Hey, kamu kenapa, Nad?" panik Hasan sembari memegangi sisi wajah Nadia. "Mas, di sini..." Nadia menunjuk area jantungnya dan meremas itu dengan kuat menunjukkan betapa sakitnya itu. "Sangat sesak, sakit sekali, Mas." "Apa kamu punya riwayat sakit jantung? Ayo kita ke rumah sakit!" Baru saja Hasan ingin menggendong Nadia untuk ia bawa ke rumah sakit, yang terjadi malah Nadia memeluk Hasan erat dan semakin menangis kencang. Hasan ingin melepaskan pelukan itu tetapi yang terjadi malah tangis Nadia semakin terdengar pilu. Akhirnya Hasan membiarkan Nadia menumpahkan tangisnya dan membalas pelukan wanita itu. Ia berusaha menenangkan Nadia sembari mengusap punggungnya. "Kamu kenapa? Tolong jangan bikin aku khawatir," cemas Hasan. "Biarkan terus begini sebentar aja, Mas. Aku butuh sandaran untuk saat ini dan sandaran itu hanya aku temukan padamu." Nadia berkata jujur. Cukup lama akhirnya Nadia jatuh tertidur dalam pelukan Hasan. "Nad, kamu sudah tidur?" tanya Hasan dan ia tidak mendapati jawaban dari Nadia. Sudah bisa dipastikan bahwa Nadia pasti tertidur dalam peluknya lagi. Hasan membaringkan kembali tubuh Nadia di ranjang. Pria itu menatap lamat wajah Nadia yang tampak merah sehabis menangis. Hasan bingung dengan apa yang terjadi dengan istrinya itu. Ia berusaha mencari pemikiran masuk akal, tetapi tak satupun yang bisa dijadikan alasan. Diam sejenak. Tubuh Hasan membeku. Apa jangan-jangan Nadia bersedih karena... "Ajuan cerai kemarin?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN