TERJERAT MASA LALU

1125 Kata
*** Pagi-pagi sekali, tepat saat di mana Nadia turun dari tangga menuju dapur, ia tak sengaja mendapati suaminya telah sibuk menyiapkan bekal. Wanita itu mengernyit bingung. Di hari biasanya, Hasan tidak mau membawa bekal karena dirinya berkata bahwa ia bisa makan siang di kantor. Namun, apa yang sekarang pria itu perbuat? Ia membuat bekal sendiri? “Mas lagi buat bekal apa? Kenapa gak bangunin aku aja?” tanya Nadia saat ia sudah berdiri di samping Hasan. Nadia bisa melihat manik hitam Hasan yang begitu berbinar dan jangan lupakan senyum yang terbit di wajah tampan itu seolah dirinya lupa bahwa semalam telah terjadi sesuatu yang melukai hati Nadia. "Aku gak mau ganggu kamu tidur,” balasnya masih dengan senyum manis yang bertengger di bibirnya. “Biar aku aja, Mas.” Baru saja Nadia ingin mengambil alih kotak bekal dari tangan Hasan, tiba-tiba saja Hasan sudah menjauhkan kotak bekal itu dari jangkauannya. “Ini spesial, biar aku aja. Kamu duduk aja di sana,” ucap Hasan sembari menunjuk meja makan yang sudah tersedia sarapan pagi yang tentu saja dibuat oleh Hasan sendiri. Nadia menjadi tidak enak karena mendapati suaminya yang memasak. Harum masakan Hasan begitu menggoda selera. Saat sesendok nasi goreng tersuap ke dalam mulut, Nadia tersenyum. Masakan suaminya sangat enak sekali. “Pelan-pelan aja, Nad.” Hasan datang sembari mengusap pucuk kepala Nadia penuh sayang. Pria itu duduk sembari bertopang dagu menatap pada Nadia. “Apa masakanku seenak itu?” tanya Hasan dengan senyum yang semakin mengembang. Kekehannya bahkan terdengar bagai alunan musik syahdu di telinga Nadia. Wanita itu mengangguk kuat dengan tersenyum, ia melanjutkan kembali makannya. Dering ponsel dari atas meja di dekat Nadia sedikit membuat Nadia terkejut. Namun, bukan itu yang membuatnya mematung bagaikan batu, melainkan karena tertera jelas siapa yang menelepon Hasan barusan. Naura, seseorang yang dulunya adalah wanita yang begitu Hasan cintai sekaligus cinta pertama dan pacar terakhir Hasan sebelum pria itu memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Nadia. Bukan itu saja yang membuat detak jantung Nadia berdenyut nyeri. Ada bubuhan bentuk love di kontak Naura yang membuat hati Nadia semakin sesak. Matanya beralih pada Hasan yang tersenyum semakin lebar saat melihat siapa yang meneleponnya. Pria itu beranjak dari meja makan untuk mengangkat telepon dari Naura tanpa pamit pada Nadia seperti biasanya. Nadia menitikkan air mata tanpa ia sadari. Haruskah seperti ini? Haruskah sesakit ini? Nadia meremas area jantungnya dan menepuknya pelan. “Aku bisa menyaingi semua wanita yang mencintaimu, Mas. Tapi untuk menyaingi wanita yang kamu cintai, aku bisa apa?” lirih Nadia dengan suara bergetar. Nadia dengan cepat menghapus jejak air matanya saat mendengar derap langkah dari arah pergi Hasan sebelumnya. Wanita itu menunduk untuk menyembunyikan matanya yang tentu sudah memerah karena menangis. “Aku pergi sekarang, kamu lanjutkan makannya. Sampai jumpa,” ucap Hasan sembari mengecup kening Nadia. Ya, kebiasaan yang tak bisa ia hilangkan. Saat Hasan tak lagi ada di rumah, Nadia tak mampu menahan tangisnya. Wanita itu menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja. Lagi dan lagi Nadia menangisi nasib buruknya. “Sadarlah, Nad! Memang sejak awal gak seharusnya kamu mencintai Mas Hasan. Harusnya dulu kamu tolak aja perjodohan itu. Kenapa? Kenapa kamu cengeng banget, hah?!” Nadia terus menangis sembari melontarkan kalimat penuh sesalnya untuk dirinya sendiri. Nadia berharap ada sedikit cinta untuknya di hati Hasan, tetapi saat melihat betapa bahagianya Hasan saat menerima telepon dari mantan kekasihnya, sudah cukup membuat Nadia mengerti bahwa dirinya tak akan pernah bisa memenangkan hati Hasan jika masa lalu pria itulah yang menjadi saingannya. Nadia tidak lagi berselera untuk melanjutkan makan. Wanita itu menyimpan semua masakan Hasan dan kembali ke kamar. Di dalam kamar yang Nadia lakukan hanyalah tidur dan menangis. Sampai tak terasa siang hari pun tiba. Nadia beranjak dari ranjangnya dan melihat jam yang menunjukkan pukul sebelas yang berarti ada sekitar satu jam sebelum jam makan siang kantor. Ya, Nadia berniat untuk mendatangi kantor Hasan untuk melihat sendiri seberapa dekat hubungannya dengan Naura, mantan kekasih suaminya itu. Cukup tiga puluh menit, Nadia sudah selesai dengan segala urusannya. Wanita itu memilih dress elegan selutut untuk ia kenakan disertai kacamata hitamnya. Dua puluh menit perjalanan melalui kota yang sedikit macet, akhirnya Nadia sampai di depan perusahaan Hasan. Wanita itu berjalan menuju ruangan Hasan dengan beberapa karyawan yang menyapanya. Nadia berhenti tepat saat lift tak jauh darinya berdenting tanda terbuka. Nadia awalnya ingin mengenakan lift lain untuk menuju lantai atas, tetapi urung kala ia melihat Hasan turun dari lift tadi bersama seorang wanita. Nadia meremas area jantungnya saat melihat Hasan turun bersama Naura. Wanita itu berjalan pelan mengikuti arah perginya mereka. Hingga sampailah mereka di kantin khusus karyawan lantai atas. Nadia mengambil tempat duduk tak jauh dari mereka. “Coba deh kamu tebak, Mas bawakan apa untuk kamu?’ ucap Hasan tampak antusias. Nadia memperhatikan semuanya. Ia tersenyum pahit kala melihat senyum Hasan terlihat amat lepas saat bersama Naura. “Memangnya Mas bawa apa?” ucap Naura menanggapi keantusiasan Hasan. Hasan lalu memanggil pelayan di sana untuk mengambilkan bekal yang sudah dihangatkan sebelumnya. “Tara, ini dia! Nasi goreng khas buatan Mas, ini masih makanan kesukaan kamu kan, Ra?” ucap Hasan sembari memberikan nasi goreng yang ia buat tadi pagi. Naura tampak mengangguk dan tanpa banyak tanya akhirnya ia memakannya. Berbeda dengan tampang keduanya yang tampak begitu bahagia, Nadia malah sebaliknya. Wanita itu tampak menahan sesak seorang diri. Di balik kacamata hitam yang Nadia kenakan, matanya telah dipenuhi genangan air mata yang siap membasahi pipi. Sudah cukup. Ia sudah tahu alasan mengapa Hasan meminta cerai kemarin malam. Tangan Nadia terangkat mengambil ponselnya dan menelepon Hasan. Ia melihat Hasan mengambil ponsel dan hanya melihat tanpa mengangkat panggilannya. “Siapa, Mas?” tanya Naura mencoba mengintip nama kontak yang sedang menelepon Hasan. Namun, yang terjadi Hasan malah menjauhkan ponsel itu dan menonaktifkannya tanpa rasa bersalah. Semua terekam jelas dalam pandangan Nadia saat ini. Ia sudah cukup tahu di mana posisinya sekarang di hati Hasan. Ya, hanya sebagai wanita pajangan yang dijadikan istri serta tameng agar Hasan tak mendapat cecaran perjodohan dari orang tuanya lagi. Nadia pulang kembali ke rumahnya dengan perasaan hancur. Dunianya terasa runtuh setelah mendapatkan semua fakta. Sepanjang perjalanan pulang, Nadia terus melamun sembari menatap ke arah luar jendela mobil. “Apa aku harus mengalah sekarang, Mas?” “Haruskah aku korbankan cintaku ini agar kamu bisa bahagia dengan cintamu?” “Bisakah aku egois untuk kali ini saja?” “Beritahu aku bagaimana rasanya melupakanmu di saat seluruh duniaku terisi penuh olehmu.” Nadia terus menangisi dirinya hingga setibanya di rumah, ia langsung pergi ke kamar dan tak lama jatuh pingsan di lantai yang dingin selaras dengan hatinya yang perlahan membeku. Bahkan di detik mata itu akan terpejam sepenuhnya, Nadia sempat untuk berucap lirih. "Sekeras apapun aku berusaha, tetap masa lalumu pemenangnya." "Aku... terlihat menyedihkan, ya? Ah, bodohnya aku." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN