DIA WANITA YANG KUCINTAI

2154 Kata
*** Tatapan Nadia tampak memburam kala melihat langsung senyum suaminya yang begitu cerah dengan sosok wanita di sampingnya. Tatapan Nadia jatuh pada jemari kekar yang sedang menggenggam erat jemari wanita di sampingnya. Nadia tak bisa menahan rasa sakit hatinya. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan seberapa sakitnya ia kini. Hembusan napas kasar terdengar sebelum Nadia tersenyum lembut menatap suaminya. "Masuk dulu, Mas." Nadia membukakan pintu dan mempersilakan keduanya untuk masuk ke dalam rumahnya. "Aku akan siapkan air minum-" "Gak perlu, Mbak." Tatapan Nadia yang sejak tadi terpusat pada Hasan, kini terpaksa beralih pada sosok wanita di samping suaminya. Ya, wanita itu adalah Naura. Nadia tak menjawab, wanita itu hanya tersenyum tipis. Kini tatapannya kembali beralih pada Hasan untuk meminta penjelasan mengenai kedatangan Naura ke rumah mereka. "Aku ingin jujur, Nad. Aku gak ingin nanti setelah bercerai, kamu sakit hati karena aku sudah mendapat pengganti dan menganggap aku brengsek." Nadia tersenyum dengan perih. Apakah Hasan tidak sadar bahwa sekarang dirinya bahkan sudah menyakiti hati Nadia dengan sangat dalam? Apakah sikapnya yang seperti ini tidak dikatakan b******k? Rasanya Nadia ingin tertawa keras. "Sesuai perjanjian kita, akhirnya kita akan bercerai. Pengadilan agama sudah memutuskan untuk bulan depan dilakukannya sidang. Selain dari perjanjian, sebenarnya ada alasan lain." Nadia diam menyimak, ia tidak ingin memotong ucapan suaminya walau ia mau. "Aku mencintainya." Hasan mengaku jujur dengan perasaannya. Pria itu menunduk merasa bersalah saat melihat manik Nadia tampak meredup sendu. "Aku... aku masih mencintainya walau bertahun-tahun telah berlalu, dan sebab itu juga aku tidak bisa mencintaimu walau pernikahan kita sudah melewati dua tahun lamanya." "Dia wanita yang aku cintai." Pengakuan Hasan membuat Nadia diam tak berkutik. Bahkan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya saja tak bisa ia rasakan. Ia bagai tertimpa batu yang beratnya mampu menghancur leburkan dirinya. Wanita itu tak bisa berkata-kata selain dari air mata yang menetes tiada henti. "Lalu, apa niat kamu bawa dia ke sini?" tanya Nadia dengan suara bergetar berusaha menahan desakan untuk menangis kencang. Hasan yang semula menunduk, kini mendongak menatap wajah Nadia. Tubuhnya sedikit tersentak saat melihat kondisi Nadia yang tampak tak baik-baik saja. "Nad, tolong jangan menangis lagi," sesal Hasan. Pria itu tanpa sadar melepaskan genggaman tangannya pada Naura. Ia beranjak bangkit dan sedikit mencondongkan tubuhnya pada Nadia yang berada di depannya. Dengan terpisahkan oleh meja, Hasan menghapus air mata Nadia dengan perasaan rumit. Dirinya tidak tahan melihat wanita menangis olehnya. Nadia menepis pelan jemari Hasan yang mencoba menghapus jejak air matanya. Wanita itu tersenyum lebar sampai natanya menyipit membentuk bulan sabit. Ia tertawa pelan dengan suara seraknya. "Aku gak apa kok, Mas. Aku terharu karena Mas mau jujur sama aku. Aku juga merasa beban yang selama ini aku tanggung, lepas gitu aja pas liat kamu bisa sebahagia ini." BOHONG! Semua yang Nadia ucapkan adalah kebohongan. Wanita itu mencoba untuk terlihat biasa saja walau nyatanya sangat sulit. "Siapa nama wanita beruntung itu, Mas?" tanya Nadia sembari memberikan isyarat pada wanita di samping Hasan. "Ra, ayo kenalin diri kamu sama Nadia." Naura yang sejak tadi diam menyaksikan keduanya, kini tersenyum lembut. Wanita itu mengulurkan tangannya dan berkata, "Saya Naura, Mbak." "Saya, Nadia. Kalau bisa jangan panggil mbak, panggil Nadia aja." Nadia tahu mengapa Hasan masih terpikat pada sosok Naura, tentu karena wanita itu tampak sangat anggun dan jangan lupakan suara lemah lembutnya yang begitu memikat saat pertama kali mendengarnya. Wajah yang cantik. Semua yang ada pada Naura tampak sempurna. "Saya panggil Mbak Nadia aja, soalnya gak enak kalo cuma panggil nama." Perbincangan antara mereka terus berlanjut. Namun lebih didominasi oleh Hasan yang menceritakan soal segala pemikirannya tentang Naura. Hasan bagai lelaki lugu yang menceritakan soal wanita yang ia cintai di hadapan wanita yang mencintainya. Melihat tatapan antara Hasan dan Naura yang penuh akan cinta, membuat Nadia merasa sesak berada di tempat yang sama dengan mereka. "Mas, bisa kita bicarakan soal ini nanti? Aku lelah ingin istirahat, dan juga ini sudah malam." Nadia tampak berbicara dengan senyum yang masih bertengger manis di bibirnya. Hasan menatap jam tangannya dan ia menepuk jidatnya karena lupa waktu. "Ra, ayo Mas anter pulang." "Gak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri, gak perlu dianter segala," tolak Naura karena jujur ia tidak enak hati. Rasa-rasanya ia sungguh tidak tahu diri saat ini. Walau ia akui bahwa Nadia tentu terluka dengan kedatangannya hari ini, namun mengingat kembali penjelasan Hasan bahwa pernikahan mereka adalah suatu kesepakatan yang akan berakhir membuat Naura egois. Dirinya dan Hasan saling mencintai, dan pernikahan Hasan bersama Nadia akan berakhir dalam satu bulan lagi. Jadi, tidak semuanya salahnya, kan? Pikir Naura. "Gak, pokoknya Mas yang-" "Mas, tolong turutin permintaan aku kali ini. Kamu pasti capek, jadi biarin aku pulang sendiri." Nadia hanya memperhatikan keduanya dengan sorot mata kosong. Bagaimana kekhawatiran Hasan, serta bagaimana Naura yang begitu mempedulikan pria itu. Mereka benar-benar saling mencintai. Nadia bagai parasit sekarang. "Tapi kamu harus janji gak kenapa-kenapa," ucap Hasan dengan berat hati. "Iya." "Telepon Mas kalau sudah sampai,"ucap Hasan lagi. "Iya, Mas." Setelah sedikit perdebatan di antara mereka. Hasan akhirnya membiarkan Naura pulang sendiri dengan menaiki taksi. "Mas, masuklah dulu. Ini sudah gelap dan sepertinya sebentar lagi akan hujan," ucap Nadia. Hasan mengusap wajahnya dan menuruti ucapan Nadia. Pria itu masuk ke dalam rumahnya dengan pikiran yang masih tertuju pada Naura. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap wanita itu. "Mau makan, Mas?" tawar Nadia. "Gak perlu, Nad. Aku sudah makan bareng Naura sebelum pulang," ucap Hasan dengan senyumnya. Sementara Nadia mencoba menahan gejolak rasa di dalam hatinya. Tangan wanita itu terkepal. "Oh kalau gitu, ada baiknya Mas mandi dulu. Ada yang harus kita bicarakan." Baru saja Hasan ingin menyahuti ucapan Nadia dengan penolakan, Nadia kembali berkata, "Ini soal perceraian kita." Tatapan keduanya saling mengunci. Nadia berusaha sebisa mungkin menutupi raut sedih dan kecewanya. "Baiklah." Tiga puluh menit berlalu, akhirnya keduanya kembali berbincang di ruang keluarga. Hasan tampak sedang menunggu apa yang akan dibicarakan oleh Nadia. Dirinya menanti dengan sedikit was-was, takut jika Nadia berubah pikiran. "Jujur sama aku, Mas. Kapan pertama kali Mas ajuin cerai talak ke pengadilan agama?" tanya Nadia dengan suara getir. Setahunya untuk melakukan cerai talak tentu membutuhkan proses paling lama enam bulan dan paling cepat tiga bulan. Lalu, kenapa bisa Hasan mengatakan jika dalam waktu satu bulan lagi mereka resmi akan bercerai. Hasan diam, dirinya menatap Nadia dengan perasaan bimbang. Harusnya dirinya mengatakan ini dengan langsung sekarang juga? "Aku mau kamu jujur, Mas." Hasan menunduk dan berkata, "Dua bulan yang lalu." Nadia terdiam. Spontan wanita itu menggigit bibirnya untuk menahan rasa ngilu di hatinya. Tangannya tak bisa ia hentikan untuk gemetar. "Kapan surat permohonan itu pernah aku tanda tangani? Setahuku itu memerlukan tanda tanganku sebagai termohon, dan aku gak pernah merasa menanda tangani apapun dari pengadilan," ucap Nadia lagi. Hatinya dipenuhi luapan amarah. "Kamu ingat, aku dulu pernah meminta tanda tanganmu di sebuah kertas? Itulah suratnya." Nadia menipiskan bibirnya. Wanita itu tidak habis pikir dengan cara licik yang Hasan lakukan untuk mendapatkan apa yang ia mau. Pantas saja waktu itu Hasan menutup tulisan di surat tersebut dan menyuruhnya menanda tangani dengan cepat. Bodohnya lagi, Nadia hanya mengikuti perkataan itu begitu saja. "Maafkan aku, Nad. Aku takut kamu gak akan setuju kalau-" "Terus apa bedanya sekarang? Aku bisa aja beberkan fakta kecurangan kamu di sidang nanti dan akhirnya kita gagal cerai dan kamu akan dapat sanksi." Hasan lantas melebarkan matanya menatap Nadia dengan mimik wajah tak percaya. "Kamu gak akan buat gitu, kan, Nad?" tanya Hasan dengan tatapan cemas. Nadia bisa melihat tatapan Hasan meredup sendu. Terlihat sekali bahwa Hasan begitu mengharapkan perceraian ini terjadi. "Mas, kamu gak mikirin aku? Keluarga kita? Semua bakal kecewa." "Aku gak bisa, Nad. Aku gak bisa ngorbanin perasaan aku demi perasaan orang lain. Aku gak mau terus-terusan hidup begini sampai tua. Aku takut, aku takut kehilangan Naura kalau aku terlambat. Maafkan aku, Nad." Nadia menggeleng pelan mendengar ucapan Hasan. Pria bijaksana yang dulu ia kagumi sepertinya telah tergantikan dengan pria egois. "Kamu bisa poligami, aku bersedia kalau aku dimadu." Tatapan Hasan tampak meredup, ia tak menyangka Nadia akan mengatakan itu. Dirinya bisa melihat wajah lelah Nadia yang sepertinya kecewa padanya. "Aku... aku takut berdosa karena tidak bisa adil. Aku takut kamu semakin sedih karena melihat betapa aku mencintainya. Dan alasan paling utama karena aku gak mau menduakan wanita yang aku cintai," aku Hasan. Pria itu bisa melihat perubahan wajah Nadia yang tampak semakin sedih. Wanita itu mencoba tersenyum walau Hasan tahu bahwa Nadia mencoba untuk menangis. Hasan bangkit dari duduknya dan berpindah duduk di samping Nadia. Pria itu menarik Nadia ke dalam pelukannya. "Menangislah, Nad. Aku tahu ini berat buat kamu apalagi keluarga kita nanti," ucap Hasan. Nadia meraung pilu dan memukul d**a bidang Hasan dengan keras. "Kamu jahat!" Hasan tak menampik itu karena sejatinya ia memang sangat jahat. "Kamu egois!" Ya, Hasan akui sejak ia bertemu kembali dengan Naura, dirinya berubah sangat egois. "Kenapa harus dia? Kenapa?!" Nadia melampiaskan amarah dan kesedihannya pada Hasan. Dirinya bahkan hingga tertidur karena lelah menangis. Lagi dan lagi, selalu saja begitu. Hasan menggendong tubuh Nadia dan membawanya menuju kamar wanita itu. Setelah Nadia ditidurkan di ranjang, Hasan mengamati sejenak wajah cantik Nadia yang sembab. "Andai kata, hatiku tidak memberikan kesempatan pada Naura, sudah kupastikan kita akan tetap bersama. Tapi, Nad..." Hasan meraih tangan Nadia dan meletakkannya tepat ke area jantungnya yang berdetak. "Jantungku selalu berdebar jika bertemu dengannya, berbeda jika aku bertemu denganmu. Semua terasa hambar, Nad. Seluruh hatiku sudah terpusat pada Naura, dan aku tidak bisa bohong soal perasaan ini. Kita hanya akan saling melukai jika terus bersama." Hasan tersenyum pedih saat Nadia tampak menangis dalam tidurnya. Pria itu mendekatkan bibirnya pada kening Nadia dan berbisik, "Semoga kamu bisa menemukan lelaki yang jauh lebih baik daripada aku." *** Hasan tampak cemas. Dirinya belum kunjung tidur dan sedang berada di balkon kamarnya membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. "Angkat dong, Ra." Hasan terus menelepon Naura, tetapi tak satupun yang mendapatkan balasan. Bahkan terdengar suara operator mengatakan bahwa ponsel Naura sedang tidak aktif sehingga tak bisa dihubungi. Petir menyambar dan itu semakin menyulut kekhawatiran Hasan. Pria itu mengepalkan tangannya dan memilih untuk mencari Naura ke rumah wanita itu. Saat Hasan melewati ruang tamu yang berdekatan dengan dapur, ia tak sengaja bertemu dengan Nadia yang sedang minum air putih. "Mas mau kema..." Suara pintu ditutup kencang membuat Nadia terdiam. "...na?" Nadia tampak khawatir saat Hasan pergi dengan tergesa-gesa menggunakan mobil. Wanita itu hendak menyusul dan mencoba mencari taksi online di jam malam seperti ini, untungnya saja Nadia mendapatkan itu tak lama dari mobil Hasan pergi. "Mau kemana, Mbak?" tanya sang sopir. "Jalan aja dulu, Pak. Maaf ya, nanti saya bayar lebih untuk ini," ucap Nadia. Setengah jam berlalu, menyusuri jalanan tanpa tahu mau kemana membuat Nadia hampir menyuruh sang sopir untuk kembali ke rumahnya. Namun, baru saja mereka hendak melewati persimpangan lampu lalu lintas. Tubuh Nadia menegang kaku kala melihat dengan mata kepalanya sendiri. Di depan sana tak jauh darinya, mobil yang begitu ia kenali tampak berhenti di pinggir jalan. Lalu, tak jauh dari mobil itu ia mendapati Hasan memeluk Naura sangat erat. Ia bisa melihat jelas keadaan Naura yang tampak kacau. Wanita itu sepertinya baru saja mengalami keadaan buruk. Hasan lalu menggendong tubuh Naura dan membawa wanita itu menuju mobilnya. "Pak, tolong berhenti dulu." Mobil menepi tak jauh dari mobil Hasan. Nadia turun dari mobil. Dirinya berlari sedikit cepat untuk menghampiri mereka, tetapi tepat saat dirinya berada di jarak satu meter dari mobil Hasan, hatinya kembali dibuat hancur. Air hujan mengguyur tubuhnya tanpa ia pedulikan. Perasaan yang tak bisa ia deskripsikan saat melihat di dalam mobil sana, Hasan tampak memegang dua sisi kepala Naura dan menciumnya. Ciuman yang mempertemukan dua bibir. Pemandangan yang begitu indah untuk hatinya yang sangat hancur. Bahkan ia melihat dengan jelas bahwa Hasan tampak menangis. Pria itu menangis karena Naura. Pria itu tampak tak berdaya oleh Naura. Naura sangat berpengaruh bagi hidup Hasan. Seolah segalanya yang menyakiti Naura juga akan menyakiti Hasan. Nadia tertawa. Ya, wanita itu tertawa dan mendongakkan wajahnya. Membiarkan air hujan menyamarkan tangisnya. Nadia tertawa tak menyangka bahwa hidupnya sungguh menyedihkan. Cinta tak terbalas. Dicampakkan. Dibuang keluarga. Hidupnya sudah bagai sebuah permainan saja. Timbul pertanyaan dalam hati Nadia. Benarkah Tuhan itu adil? Tak lama dari batinannya, dentum petir terdengar menyambar dan menyentak Nadia serta dua manusia yang hanyut dalam ciuman mereka di dalam mobil. Nadia mengucapkan istigfar karena pemikiran bodohnya. Wanita itu dengan cepat kembali menuju taksi, takut jika Hasan menyadari kehadirannya. "Maaf ya, Pak. Joknya jadi basah karena saya, nanti akan saya bayar tiga kali lipat." Sopir taksi hanya diam dan kembali melanjutkan perjalanannya. "Tadi itu suaminya ya, Mbak?" tanya sang sopir. Nadia tidak menjawab karena dirinya tidak mau permasalahan rumah tangganya diketahui orang lain apalagi orang asing. "Yang sabar ya, Mbak. Niscaya Gusti Allah akan gantikan dengan takdir bahagia buat Mbaknya." Sementara itu, Naura terdiam di dalam mobil. Dirinya sempat melihat melalui kaca spion dalam mobil bahwa Nadia melihat perbuatan mereka. Perasaan bersalah timbul, tetapi perasaan egoisnya lebih besar. Maaf, Mbak. Saya butuh Mas Hasan untuk saya sendiri. Semoga Mbak bisa dapat pengganti Mas Hasan secepatnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN