Betapa Aku Mencintaimu

2189 Kata
*** Nadia duduk merenung menatap pada luar jendela dengan perasaan yang kian menyesakkan tiap harinya. Tak terasa hari berganti dengan cepat. Bahkan seminggu lagi sidang akan dilakukan. Jika sidang telah dilakukan, itu tandanya Nadia benar-benar akan berpisah dari Hasan, pria yang ia cintai. Akhir-akhir ini Hasan disibukkan oleh kerjaan dan mengurus soal persidangan minggu depan, sangat berbanding terbalik dengan Nadia yang hanya diam menanti semuanya terjadi. Ia hanya perlu datang ke persidangan dan menerima semuanya dengan pasrah. Sore itu, tak seperti biasanya mobil Hasan terdengar memasuki pelataran rumah. Senyum Nadia terbit dan dengan gerak cepat segera turun ke lantai dasar untuk menghampiri suaminya. Nadia ingin menyambut suaminya seperti biasa. Langkah Nadia terhenti saat di anak tangga terakhir. Senyum yang terbit menghiasi wajah cantiknya perlahan memudar. Maniknya menangkap sosok Naura di samping sang suami. "Mas," panggil Nadia dengan suara sedikit tercekat. Hasan yang sedang berbincang bersama Naura terlihat mengalihkan atensinya pada Nadia. Pria itu tersenyum dan menghampiri Nadia dengan Naura yang selalu berjalan di sampingnya. "Em, dia ada urusan apa ke sini?" tanya Nadia dengan sedikit terdengar tidak suka. Naura peka akan hal itu, tapi ia lebih memutuskan untuk pura-pura tidak mengerti. "Aku bawa dia ke sini karena mau kasih tunjuk rumah yang bakal dia tempatin setelah–" "Mas, bisa kita bicara berdua?" potong Nadia. Wanita itu menahan amarahnya. Hasan sudah sangat keterlaluan, mereka masih sah menjadi suami-istri, apakah pantas membawa wanita lain ke dalam rumah mereka? Hasan melirik pada Naura dan ia mendapat anggukan tanda setuju dari wanita itu. Dengan berat hati, Hasan mengikuti langkah Nadia dan meninggalkan Naura begitu saja di ruang tamu. Pintu kamar Nadia tertutup rapat. Wanita itu berbalik dan menatap Hasan. Sementara Hasan hanya berdiri diam menantikan pembicaraan yang dimaksud oleh Nadia. "Harus banget kamu bawa dia sekarang? Aku masih istri kamu, Mas, apa kamu kira aku gak ada harga dirinya?" ucap Nadia dengan nada gemetar dan manik yang perlahan berembun. Hatinya bergetar nyeri saat Hasan dengan wajah tak bersalahnya membawa masuk Naura ke rumah mereka. "Nad, aku salah? Maaf aku gak bermaksud," sesal Hasan dan mendekati Nadia untuk menenangkan wanita itu yang akan menangis. "Aku tahu kamu cinta sama dia, tapi bisa hargain aku?" keluh Nadia. "Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu udah bawa dia ke sini dengan alasan mau kasih tunjuk ke dia soal rumah yang bakal dia tempatin setelah nikah sama kamu. Kamu anggep aku apa, Mas? Kamu kira aku gak sakit hati diginiin?" bentak Nadia meluapkan rasa sakit hatinya. Wanita itu mendudukkan dirinya di tepi ranjang dan menutup wajahnya yang kini sudah dipenuhi air mata. "Sakit banget, Mas," ucap Nadia dengan suara serak yang gemetar. Hasan merasa bersalah, ia tidak akan menyangka bahwa Nadia akan sakit hati atas perbuatannya. Ia pikir Nadia akan bersikap biasa saja karena hubungan mereka tak sedekat itu untuk membuat Nadia sakit hati atas tindakannya. "Nad, aku minta maaf." Hasan menghampiri Nadia dan membawa tubuh wanita yang tengah menangis itu ke dalam dekapan hangatnya. Nadia semakin menangis sesenggukan. Rasanya bagai dipeluk oleh bara api. Pelukan Hasan semakin menghancurkan hatinya yang rapuh. "Aku bakal anter pulang Naura sekarang juga, aku minta maaf karena gak bisa mahamin perasaan kamu. Aku minta maaf," ucap Hasan dengan tulus. Pria itu merasa sedih saat manik sendu Nadia menatapnya lekat. Dengan tangannya yang besar, ia menghapus jejak air mata di pipi Nadia. "Aku minta maaf, Nad, tolong jangan nangis." Jantung Nadia berdegup penuh sesak saat melihat kekhawatiran di manik Hasan. Pria itu memberikan harapan seolah Nadia adalah sosok yang berarti dan tak boleh terluka. Perhatian Hasan nyatanya bagai pisau yang menusuknya. Nadia melengos, tak ingin menatap Hasan lebih lama lagi. Wanita itu menyuruh Hasan untuk keluar dari kamarnya karena memang tak ada lagi yang ingin dibicarakan saat ini. Saat pintu tertutup, air mata kembali mengaliri pipi Nadia. Wanita itu membekap erat mulutnya agar tak terdengar suara tangisnya. Nadia menahan rasa sakit itu sendiri. Betapa aku mencintaimu, Mas, sampai saat di mana aku rela kamu berbahagia dengan wanita lain dan membiarkan cintaku terus terpendam. *** Hasan kembali ke rumah setelah mengantar Naura pulang dan sedikit mengurus urusan mendesak dari kantor. Sepanjang perjalanan, ia merenungi perbuatannya. Benar yang dikatakan Nadia, dirinya dan wanita itu jelas masih berstatus suami-istri sah di mata agama dan negara, tak seharusnya Hasan menunjukkan dengan terang-terangan soal hubungannya bersama Naura. Hasan merasa telah menjadi pria jahat saat mengingat Nadia kembali menangis olehnya. Saat ia menaiki tangga, tatapan Hasan terpusat pada pintu berwarna ungu pastel yang tertutup rapat. Ia sedang menimang apakah harus menghampiri Nadia untuk meminta maaf lagi atau membiarkannya saja. Pada akhirnya Hasan memutuskan untuk memberikan ruang untuk Nadia, dirinya tidak ingin membuat wanita itu kembali sedih saat melihat keberadaannya. Sementara itu, Nadia terlihat menulis tentang apa yang ia rasakan ke dalam diary miliknya. Nadia menumpahkan keluh kesahnya melalui diary itu dan saat bait terakhir, air matanya jatuh dan membasahi tinta yang sudah tertulis di atas kertas. "Aku gak kuat," gumam Nadia sembari menarik napas dalam dan kembali menghembuskannya. Rasa tak nyaman itu masih ada dalam dirinya. Rasa nyeri pada hatinya tak kunjung mereda. Nadia benci saat dirinya menjadi selemah sekarang. "Aku mau Mas Hasan cuma buat aku aja, apa gak boleh?" ucap Nadia lagi dengan raungan pilu tertahan. Wanita itu menatap jam di nakasnya yang menunjukkan pukul delapan malam. Nadia merenung. Sudah berapa lama aku jauh dari-Nya? Nadia merasa tertohok saat ia tak mengingat kapan terakhir untuk beribadah. Wanita itu punya banyak beban yang perlu ia tumpahkan. Sayangnya tak ada seorang pun yang bisa menjadi sandaran baginya sekarang. Nadia malu saat ingin beribadah. Apa Tuhan akan mendengarkan kata hatinya? Apa Tuhan akan menerima ibadahnya? "Aku gak tahu mau apa, rasanya sesak banget, Ya Allah." Bagai mendapat petunjuk dari Sang Pencipta, Nadia merasa ada dorongan untuknya melaksanakan ibadah yang sudah lama ia tinggalkan. Dengan langkah lunglai, ia menuju kamar mandinya untuk mengambil wudhu terlebih dahulu. Sepanjang shalat, mata indah wanita itu tak berhenti mengeluarkan air mata. Rasanya sesak sekali. Nadia melampiaskan seluruh rasa sakit hatinya. Wanita itu mengadu pada Tuhannya soal apa yang ia hadapi sekarang. Nadia mengadukan soal rasa cintanya yang tak berakhir indah sesuai keinginannya. Nadia tak bisa bangkit dari sujudnya karena semakin terisak. Nadia merasa setengah bebannya mulai terangkat setelah ia menyelesaikan shalatnya. Ada rasa lega tapi di sisi lain tetap merasa sedih dan tak rela. Nadia terkejut saat ternyata ada Hasan yang sudah memperhatikannya sejak tadi di ambang pintu. Wanita itu tak berani menatap wajah Hasan dan memilih untuk segera beranjak menuju ranjang. "Nadia, kita perlu bicara." Nadia abai, ia tidak ingin mendengar suara itu lagi. Nadia tidak ingin merasakan sesak tiap kali melihat wajah Hasan. Ia tidak mau semakin dibuat tenggelam dalam kesakitan seorang diri. "Besok aja, Mas," balas Nadia dengan suara seraknya. "Tapi aku mau bicara sekarang," ucap Hasan yang semakin terdengar mendesak. "Mas, aku capek." "Capek karena aku?" Nadia menipiskan bibirnya. Ia tidak mau menjawab dan karena hal itulah yang membuat Hasan paham kenapa Nadia tergugu pilu dalam sujudnya tadi. "Nadia, kita perlu bicara, aku gak akan bisa tenang kalau gak ngomong ini sekarang." Hasan setia menunggu Nadia menjawab pernyataannya barusan. Pria itu menghembuskan napas kasar saat lima menit berlalu tapi Nadia tak kunjung menanggapi ucapannya. Dengan langkah lebar, pria itu berjalan menuju sisi ranjang di mana Nadia menghadap ke arahnya. "Bangun, kita perlu bicara," paksa Hasan. "Apa-apaan sih, Mas, aku gak–" "Kamu kenapa, Nad?!" bentak Hasan. Pria itu tidak tenang saat melihat Nadia menangis dalam sujudnya seperti tadi. Ia merasa menjadi dalang dari air mata istrinya itu. "Aku kenapa? Memangnya kamu peduli kalau aku ada apa-apa? Enggak, kan? Jadi, udahlah gak usah dipikirin. Lagian kamu pasti sibuk buat ngurus perceraian kita, kamu kan udah gak sabar mau–" "Jangan bilang kalau kamu mencintaiku, Nad," potong Hasan dengan suara rendahnya. Tubuh Nadia terdiam kaku. Jantungnya berdetak cepat diikuti dengan rasa gugup yang terlihat jelas oleh Hasan. "Nad, kamu gak mungkin cinta aku, kan?" desak Hasan sembari mengguncang bahu istrinya itu. Tatapan Hasan dalam dan sangat intens menatap manik indah Nadia yang terus menghindari tatapannya. "Enggak," balas Nadia singkat. Ia akan terus menyimpan rasa miliknya ini seorang diri tanpa perlu Hasan tahu. Nadia tidak ingin membuat Hasan kerepotan karena memikirkan perasaannya juga. "Kamu serius?" Hasan menatap lamat manik Nadia dan semakin mencengkram erat pundak wanita itu. "Tatap aku dan bilang kalau kamu gak cinta," sambungnya. Nadia menarik napas dalam dan membalas tatapan Hasan. Wanita itu berusaha menahan sesak dalam hatinya. Ia memberikan tatapan seolah Hasan bukanlah apa-apa dalam hidupnya. Nadia tidak akan membiarkan Hasan tahu soal rasa yang ia pendam selama ini. "Aku gak pernah cinta sama kamu, Mas." Hasan masih belum yakin atas ucapan Nadia. Pria itu mencoba mencari kejujuran dalam manik Nadia, tapi ia tidak bisa menemukan hal itu. Di sisi lain dari jawaban Nadia yang tegas, wanita itu seolah berbicara dengan fakta yang ada. Hasan bingung haruskah ia percaya atau tidak atas balasan Nadia. "Maaf." "Apa maksud ka–" Manik Nadia melebar. Dua tahun pernikahannya bersama Hasan, baru kali ini pria itu mencium bibirnya. Baru kali ini pria itu mau menyentuh Nadia lebih dari sekadar cium kening. Entah kenapa Nadia semakin merasa sesak. Ciuman Hasan mengingatkannya pada saat hujan, saat di mana Hasan dan Naura sedang berada dalam mobil dengan ciuman dalam yang saling menyalurkan rasa cinta mereka masing-masing. Aku bukan apa-apa baginya. Hasan menciumnya bukan karena cinta seperti ia mencium Naura. Pria itu hanya ingin mengetes apakah benar bahwa Nadia tidak mencintainya. Manik Nadia menatap kosong. Ia memejamkan mata sejenak dengan linangan air mata yang mengaliri pipinya. Hasan ssmpat khawatir bahwa Nadia mencintainya, tapi saat kejadian detik berikutnya menyadarkan Hasan bahwa perkiraannya salah. Suara nyaring tamparan itu terdengar jelas. Pipi Hasan terasa kebas, tapi ada rasa lega dalam hatinya. Dengan tamparan dari Nadia, bukankah itu sudah menjadi petunjuk bahwa Nadia memang tidak menaruh rasa padanya? Hasan bisa tenang sekarang. "Keluar." "Nad, aku minta maaf–" "AKU BILANG KELUAR, MAS!" bentak Nadia dengan suara gemetar. Hasan menghembuskan napas pelan, pria itu mengabaikan rasa sakit pada pipinya dan mendekat pada Nadia. Ia memeluk erat tubuh rapuh itu dan memberikan kalimat maaf berkali-kali. Hal itu Hasan lakukan hanya karena perasaan bersalahnya. Bagaimana bisa kamu begitu jahat, Mas? Nadia diperlakukan amat baik, tapi nyatanya Hasan tak menginginkannya. Pria itu hanya menjalankan tugasnya sebagai suami penyayang. Pintu tertutup dan tubuh Nadia seketika meluruh jatuh. Wanita itu bersandar pada ranjangnya dan kembali menitikkan air mata. Aku capek nangis, tapi rasanya aku gak bisa apa-apa selain nangis. *** Pagi menjelang, Hasan sudah siap untuk berangkat kerja tapi seperti biasa ia akan kesulitan memasang dasi. Pria itu ingin meminta bantuan Nadia, tapi ia enggan. Hubungan mereka sedikit renggang sejak kejadian semalam. Rasanya canggung sekali jika berdekatan dengan istrinya itu. Alhasil, Hasan memasang dasi seadanya dan berpikir akan meminta bantuan Naura saat di kantor nanti. Setibanya pria itu di ruang makan untuk sarapan seperti biasa, keheningan mengisi ruangan itu. Suara alat makan yang beradu menjadi pengisi suasana. Nadia makan dengan tenang, berbanding terbalik dengan Hasan yang kasang mencuri pandang pada sang istri. Sepuluh menit yang singkat bagai berjalan lambat. Hasan menyelesaikan sarapannya dan hendak pergi, tapi sayang Nadia menahannya lebih dulu. "Ada apa?" tanya Hasan sembari berbalik menatap pada Nadia yang menahan pergelangan tangannya. Nadia tak menjawab, wanita itu bukan tidak mau bersuara melainkan karena suaranya sangat serak dan tenggorokannya sangat sakit tiap kali ia berbicara. Tangan kurus wanita itu meraih kerah kemeja Hasan dan memperbaiki dasi pria itu dengan telaten. Kebiasaan Nadia yang tak bisa membiarkan dasi suaminya tampak berantakan. Hasan memperhatikan wajah Nadia intens saat wanita itu fokus pada dasinya. Ia baru sadar bahwa manik Nadia terlihat sayu dan lelah. Bahkan Hasan baru sadar seberapa parah kantung mata wanita itu. Nadia selesai, wanita itu sedikit menjauhkan tubuhnya pada Hasan dan memberikan senyum tipis pada Hasan seolah mengatakan bahwa ia sudah baik-baik saja sekarang. Tangan Hasan terangkat naik dan mengusap kantung mata Nadia dengan usapan pelan. "Maaf sudah buat kamu nangis semaleman," sesalnya. Nadia tersenyum lebar sampai matanya menyipit. "Aku gak apa, maaf karena terlalu emosional," balas Nadia dengan suara seraknya. "Aku yang salah kemarin, jadi kamu gak perlu bilang maaf. Aku janji besok-besok sampai hari sidang perceraian gak akan bawa Naura ke rumah kita." Rumah kita... Rasanya Nadia ingin tertawa saat mendengar kalimat yang dilontarkan Hasan saat ini. Nyatanya rumah kita yang dimaksud Hasan adalah rumah masa depannya bersama Naura hingga tua. Nadia hanya tokoh figuran yang mengisi kisah cinta Hasan dan Naura. Nadia sadar bahwa ia tak seharusnya mengharapkan lebih dari ini. "Aku pamit pergi, ya?" Nadia mengangguk sebagai jawaban. Hasan tersenyum lega. Pria itu maju dan mengecup kening Nadia seperti biasa. Ia pergi dengan langkah yang terasa ringan karena beban pikirannya sudah terselesaikan. Nadia menatap punggung tegap yang perlahan menjauh darinya. Punggung tegap Hasan yang tak bisa menjadi sandarannya lagi ke depannya. Nadia kehilangan arah untuk beberapa hal. "Mungkin setelah bercerai dari kamu, aku gak akan pernah untuk menikah lagi, Mas." Ya, itulah keputusan Nadia ke depannya. Ia akan mengabdikan dirinya untuk menjadi pengurus panti asuhan atau mungkin panti jompo. Ia berpikir bahwa jika ia tak bisa merasa bahagia dengan hidupnya, maka ia berjanji akan menjadi alasan bahagia bagi orang lain. "Dan pada akhirnya kita akan berakhir di jalan masing-masing," gumam Nadia dengan senyum tipisnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN