***
Pagi hari datang, Victoria terbangun dan mendapati Érique memandanginya sambil tersenyum. Apa yang dia lihat seakan mimpi baginya.
Jika kebenaran dimulai dengan keraguan, maka di sinilah dia. Victoria memulai semua keraguannya. Apakah Érique mencintainya? Mungkin jawabannya ya.
Namun, tuluskah dia mencintainya? Bagaimana perasaan Érique saat ini ini terhadapnya?. Senyum manis Érique membuat benih cintanya tumbuh subur. Senyum itu membuatnya lemah tak berdaya.
Lemah karna harus bergantung pada lelaki itu. Victoria meraba nakas dan mengambil smartphonenya. Dia melihat jam yang tertera di benda itu. Pukul tujuh pagi tepat.
"Kakak tidak kerja?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Victoria.
"Kakak malas kerja, kakak masih ingin memandangimu," hawab Érique pada wanitanya.
Victoria merasakan tubuhnya menghangat karena ucapan lelaki itu. Kini ia mulai berpikir, Apakah pantas ia mencurigai pria sebaik Érique? Victoria masih syok atas insiden di danau semalam.
Dia tak cerita karena tidak ingin kakaknya khawatir padanya. Dia memilih untuk menyimpan semuanya sendirian. Wanita itu ingin mengurangi frekuensi kemanjaannya.
Sifat itu hanya akan membuat Érique berpaling darinya. Victoria bangkit dari tempat tidur, membuka lemari pakaian dan mengambil handuk.
"Kakak tidak perlu berlebihan, lebih baik kakak mandi lalu bersiap berangkat kerja," kata Victoria sambil melempar handuk di tangannya pada Érique.
Mimik wajah Érique berubah, bola matanya berputar. Dengan malas ia bangkit dari tempat tidur. Dia mengecup kening Victoria sebentar lalu masuk ke kamar mandi. Tak ada yang berubah dari sifat Érique, tapi kenapa Victoria merasa ada yang aneh. Nalurinya terlalu liar jika mengatakan Érique selingkuh.
Elizabeth meneleponnya. Segera ia mengangkat panggilan itu. "Ya, Ellie. Ada apa? Kau menelepon sepagi ini. Tumben sekali."
Victoria heran karena tidak biasanya wanita itu meneleponnya. Victoria penasaran dengan jawaban Ellie. Terdengar helaan nafas diseberang sana. Kemungkinan Ellie akan berbicara hal yang serius.
Jantung Victoria berdetak tak karuan, ia mulai paranoid karena teror yang semalam menimpanya. Dia takut orang terdekatnya ikut jadi korban. Mungkin saja Ellie atau Érique.
"Hari ini aku tidak datang. Aku ada urusan penting. Maaf, Victoria. Tidak apa-apa kan?"
Victoria nyaris tak bernafas karena ucapan Elizabeth. Rasa takutnya semakin bertambah. Jika Érique pergi, berarti dia akan sendirian di rumah. Bagaimana jika peneror semalam datang lagi. Apa dia bisa melawan. Memikirnya saja membuatnya merinding. Oh tuhan, bantulah dia. Victoria menggigit bibir bawahnya karena tak tahu harus berbuat apa.
"Apa.. kau .. tak bisa menunda urusanmu? Satu atau dua jam, kau tak bisa?"
Victoria mencoba bernegosiasi dengan wanita itu. Rasa cemas menyelimuti dirinya. Membayangkan dia sendirian lalu dibunuh membuatnya resah setengah mati.
"Ini masalah yang serius dan aku sungguh minta maaf, aku tak bisa," valas Élizabeth.
Victoria pasrah. Dia memang ditakdirkan sendirian. Érique yang selalu ia andalkan sekarang terasa jauh darinya. Perasaannya mengatakan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi dan menimpa hubungan mereka. Bermula dari provokasi Bella lewat i********: lalu penjelasan Érique tentang Josephine. Semua itu terasa masuk akal, jika ia akan ditinggalkan.
"Baiklah, aku bisa apa? Aku tak bisa memaksamu. Semoga urusanmu cepat selesai," ujar Victoria seolah ia baik-baik saja.
Tubuhnya terus bergetar, jantung dan seluruh organ vitalnya terguncang. Kecemasan menyelimuti dirinya. Victoria duduk di pinggir ranjang sambil bersandar di kepala ranjang.
Menghadapi masalah sendirian membuat kepalanya pusing. Elizabeth berterima kasih karena pengertian Victoria. Dia bersyukur bisa bekerja dengan majikan sebaik Victoria.
Panggilan berakhir. Érique keluar kamar mandi dan melihat kekasihnya dengan wajah lesu. Dia melangkah menuju lemari pakaian, mengambil kemejanya lalu mendekati Victoria.
"Ada apa? Semenjak semalam kau seperti sedang mengalami sesuatu. Apa ada yang mengusik hatimu?" tanya Érique sambil memakai kemeja birunya. Di kamar mandi ia telah mengeringkan tubuhnya.
"Apa kakak bisa izin hari ini? Aku takut kak! Hari ini Elizabeth tidak datang," kata Victoria sedih.
Érique mengukir senyumnya, mengacak rambut Victoria lalu mencium bibirnya sekilas. Dia tahu wanita itu mulai manja karena kondisi kehamilannya.
"Kakak harus bekerja, Sayang. Satu minggu kakak tidak masuk kerja. Bayangkan! Jika kakak tidak punya teman seperti Anne mungkin kakak sudah jadi pengangguran. Mengertilah, Sayang!"
Victoria terdiam, kakaknya memang benar. Tidak seharusnya ia seperti ini. Dia harus berani menghadapi semuanya sendirian. Victoria memeluk sebentar tubuh kakaknya. Ada kehangatan tersendiri yang ditimbulkan saat melakukan kegiatan itu.
"Kau tidak apa-apa sendiri?" tanya Érique lagi.
Bagaimanapun juga ia khawatir dengan kondisi Victoria. Tidak ada apapun yang terjadi belakangan ini. Sifat protektifnya selama ini terasa sia-sia. Semua hanyalah pikiran buruknya saja. Pekerjaannya tak berpengaruh sama sekali dengan Victoria.
Victoria mengangguk atas pertanyaan kekasihnya. Hatinya berteriak karena takut, Érique bahkan tak bisa merasakan bagaimana bergetarnya tubuh Victoria. Belum lagi keringat wanita itu yang jatuh bercucuran.
"Aku tidak apa-apa," ungkap Victoria berusaha tegar.
Érique merasa tenang, Dia bangkit dan memasang kancing baju kemejanya. Setelah itu, Victoria memasangkan dasinya. Érique sangat beruntung memiliki wanita seperhatian Victoria. Dia tidak pernah menyesal mencintai adiknya itu.
"Di dalam lemari ada pistol. Gunakan benda itu untuk berjaga-jaga," tutur Érique pada wanitanya.
Victoria mengangguk meski sejak awal ia menegaskan tak ingin memakai benda itu. Seseorang menelepon Érique. Dengan cepat ia mengangkat ponselnya.
"Halo," sapa Érique.
Mendapat panggilan dari nomor yang tak dikenal sudah sering ia alami. Itulah resiko menjadi seorang detektif. Dia harus siap siaga menjaga keamanan masyarakat. Suara perempuan di seberang telepon terdengar sedih, Érique bisa menebak jika wanita di sana sedang menangis.
"Aku dalam masalah! Mike datang dan ingin membunuhku. Dia mengirimkan pesan yang menakutkan," ucap wanita itu.
Mendengar nama Mike membuat Érique tahu bahwa yang meneleponnya adalah Josephine. Anak dari Bruce, kasus yang sedang ia selidiki. Érique sangat serius mendengar ucapan Josephine. Keluhan masyarakatnya membuatnya tak bisa diam, ia harus menyelamatkan wanita itu.
"Tenanglah, jangan panik. aku akan segera ke sana. Lima atau sepuluh menit lagi," jelas Érique.
Dia menenangkan wanita itu lalu mengambil jasnya. Dia harus bekerja sekarang juga. Dalam kasusnya tak boleh ada korban selanjutnya. Dia harus melindungi masyarakat.
"Terima kasih. Aku menunggumu. Kuharap kau datang lebih cepat," kata Josephine rapuh.
Érique terus menenangkan wanita itu. Dia mematikan teleponnya lalu bergegas untuk pergi. Victoria memandangi wajah pria itu. Tatapannya sangat sendu.
"Kenapa buru-buru? Siapa yang menelpon?" tanya Victoria. Érique tak pernah seperti ini. Mungkin pernah, tapi jarang.
"Ini bahaya, Sayang. Josephine dalam bahaya. Tetaplah di sini, kakak akan pergi sekarang. Pembunuhnya mengincar wanita itu," jelas Érique.
Victoria merasa hatinya bagai tersayat, matanya membendung air mata. Selama kehamilannya ia sering menangis. Melihat Érique mengkhawatirkan wanita lain membuatnya sedih. Érique memandangi Victoria. Dia tahu apa yang dipikirkan wanita itu.
"Ini tidak seperti yang kau bayangkan,sayang. Ini darurat, kakak harus menyelamatkannya. Percayalah, kakak tidak punya niat lain," kata Érique meyakinkan Victoria. Wanita itu hanya mengangguk hingga Érique meninggalkannya.
Apa keselamatan orang lain lebih penting sekarang? Apa artinya aku? Apa selama ini hubungan kita tak berarti, kak? Inikah yang kakak sebut sebagai cinta? Oh tuhan, kuatkan hatiku yang rapuh ini. Aku benci menangis, aku benci lemah. batin Victoria berteriak.
Hidup terlalu kejam bagi Victoria. Dia hanya memiliki Érique. Namun pria itu lebih memilih melindungi orang lain dari pada dirinya yang sedang terancam. Air matanya mengalir begitu saja.
Dia duduk di bawah lantai, menangisi hidupnya yang terabaikan. Tak ada yang peduli padanya. Mungkin dia egois, tapi dia juga butuh perlindungan. Dia butuh rasa aman, kamarnya sangat sepi. Gorden kamar bergoyang seolah menertawakan Victoria yang bersedih.
Érique masih mengkhawatirkan Victoria. Namun, mau bagaimana lagi, ia punya pekerjaan. Victoria baik-baik saja sedangkan ada orang yang lebih membutuhkan dirinya yang jelas-jelas terancam keberadaannya.
Dia hanya mencoba meminimalisir korban. Dia tidak ingin ada korban lain. Saat ia sampai, Josephine sudah menunggunya di luar rumah. Saat melihat Érique, ia langsung memeluk pria itu.
Érique sempat terbelalak karena tingkah wanita itu. Dia merasa aneh jika dipeluk wanita itu namun tetap membiarkan Josephine memeluknya.
"Aku sangat takut, Érique!" ucap Josephine seolah mereka sudah akrab lama. Érique mengelus rambut wanita itu. Dia menenangkannya.
"Semuanya baik-baik saja, tenanglah," kata Érique.
Wanita itu semakin lama mengeratkan pelukannya membuat Érique merasa tidak nyaman. Mereka hanya berdua dan hal itu sangat berbahaya. Apa kata orang jika melihat mereka berdua. Apalagi Érique hanya mencintai Victoria.
Érique melepas pelukan wanita itu. "Maaf, aku sudah punya kekasih. Aku mengerti kau ketakutan. Cukup aku disini. Kau harus menenangkan dirimu, Josephine," kata Érique.
Josephine merasa sedikit malu. Kemarin, Érique sukses membuatnya tenang sampai ia berpikir bahwa Érique dikirim untuknya. "Maaf!" bisik Josephine.
Érique tersenyum sekilas, kini jantungnya bergemuruh tak karuan. Entah karena memikirkan Victoria atau karena ia baru saja memeluk Josephine. Érique yakin semua yang terjadi hanyalah rasa empatinya dan dia bisa menjamin akan hal itu.
"Di mana yang lain? Kau juga menelepon timku? Anne? Stephan?" tanya Érique. Josephine terdiam, ia memegangi lehernya seolah ia sedang malu dan berbuat kesalahan.
Josephine menggeleng beberapa saat kemudian. "Tidak, aku rasa mereka tak perlu ke sini." kata Josephine membuat Érique menghembuskan nafas kasarnya.
"Lain kali telpon mereka juga. Aku tak berpikiran macam-macam," balas Érique sambil menelepon kedua temannya.
Rasanya sangat canggung hanya berdua dengan Josephine. Dia tidak terbiasa dekat dengan perempuan asing. Apalagi Josephine sekarang hanya menggunakan celana pendek dengan kaos putih transparan hingga pakaian dalamnya. Pandangan mata keduanya saling bertemu meski tak ada kata yang keluar dari mulut mereka.
Sementara Victoria sendirian. Untungnya hari ini peneror itu tidak muncul lagi. Hampir seluruh waktunya digunakan menulis catatan diary. Dia tak punya teman berbagi lagi.
Buku kecil bergambar frozen itu mampu menampung semua perasaan sedih Victoria. Kertas itu dipenuhi air mata. Mungkin Victoria berlebihan menyikapi masalah yang menimpanya. Tapi itulah yang di rasakannya. Bell rumahnya berbunyi. Victoria tahu bahwa itu kakaknya. Sudah waktunya lelaki itu pulang ke rumah.
Victoria segera menghapus air matanya lalu melangkah membuka pintu. Saat membuka pintu, ia kembali ketakutan. Manusia bertopeng itu datang lagi. Tubuh Victoria kembali bergetar. Dia menutup mulutnya lalu mundur menjauhi orang jahat di depannya. "Pergi!" Teriak Victoria. Dia sangat ketakutan. Wanita itu berteriak histeris sambil berlari menjauh.
"Mau ke mana kau?" geram orang itu.
Victoria tak mendengar ucapan orang itu. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menjauhi monster yang ada di depannya. Sayangnya, Manusia bertopeng itu menangkap tubuhnya. Orang itu menampar pipi Victoria hingga ia tergeletak di lantai. Untungnya benturan yang terjadi tidak keras. Victoria memegangi pipinya, ia tak bisa bangkit hingga membuatnya merangkak.
"Kau pikir kau bisa lolos? Ini adalah hari kematianmu, nona! Kematianmu adalah hadiah terbaik untuk Érique-mu itu." ejek Orang itu sambil tertawa. Victoria terus mundur, Dia harus selamat. Dia tidak boleh mati.
"Aku tidak rela mati di tanganmu! Kau penjahat! Kau monster!" teriak Victoria dengan suara bergetar. Manusia misterius itu menginjak kaki Victoria, menarik rambut wanita itu lalu mengempaskannya. Victoria merasakan sakit luar biasa. Kini ia kembali menangis.
"Kak Érique! Selamatkan aku!" teriak Victoria dengan lelehan air mata.
Manusia bertopeng itu tertawa. Dia menggoyangkan kepalanya mengejek Victoria. Menarik rambutnya kembali dan berbisik.
"Kau berharap dia datang? Kau bermimpi, Nona! Dia sudah melupakanmu hari ini. Kau adalah orang terakhir yang akan ia selamatkan. Malang sekali nasibmu! Hari ini kau sudah ada dalam buku catatan kematianku," ejek Manusia bertopeng itu. Victoria meratapi nasibnya.
Mungkin monster itu benar, ia bahkan melihat sendiri bagaimana Érique memperlakukannya. Kini hanya isakan tangis yang bisa keluar dari bibirnya.
"Papa, tolong aku!" ucap Victoria dalam hatinya. Mungkin hanya sosok itu yang bisa ia harapkan sekarang.
Dia merasa orang yang menyanyanginya semakin berkurang dan nyaris tidak ada. Sekuat tenaga Victoria menggigit tangan orang misterius itu lalu berlari lalu mendorongnya. Victoria meninggalkan orang itu. Hingga ia sampai di pinggir danau dekat rumahnya.
Air matanya mengalir deras, ia melirik ke arah belakangnya. Orang bertopeng itu sudah tidak ada. Lelehan air matanya bak air terjun sahara. Dia duduk sambil memeluk dirinya. Tangannya terus meraba perutnya.
"Mom akan melindungimu, Nak! Bertahanlah! Mom tidak akan membiarkan orang itu membunuhmu," ucap Victoria. Dia tidak ingin buah cintanya bersama Érique dilenyapkan dengan begitu mudahnya.
Seseorang tertawa membuat Victoria sadar bahwa orang bertopeng itu kini mendekatinya. Victoria menghapus air matanya.
"Jangan mendekat!" bentak Victoria.
Kalimat Victoria justru membuat orang itu semakin tertawa lalu dengusan bengis terdengar. Victoria tidak menyangka makhluk bertopeng itu bisa dengan cepat mendekat ke arahnya. Dia semakin takut, tubuhnya menggigil.
"Beraninya kau memerintahku! Nikmatilah kematianmu ini! Ini adalah akhir dari hidupmu!" geram orang itu lalu mendorong tubuh Victoria masuk ke dalam danau. Victoria tak bisa berenang hingga membuatnya kesulitan bernafas dalam air. Makhluk misterius tersenyum bahagia lalu pergi meninggalkan Victoria.
Érique pulang dengan wajah lesuh. Dia mendengar suara tawa di tepi danau. Di sama sekali tak peduli. Biasanya sore hari terkadang ada pemancing yang datang.
"Sayang!" panggilnya tetapi tak ada sahutan. Dia mengernyitkan dahinya saat melihat ruang tamu berantakan. Kumpulan majalah berserakan di meja, Sofa-sofa jungkir balik. Dia mengembuskan napas kasarnya.
Apa saja yang dilakukan Victoria. Dia memegangi kepalanya karena merasa pusing.
"Victoria!" panggilnya dengan nada yang cukup tinggi. Dia melangkah masuk kamar, matanya tertuju pada buku yang ada di atas nakas. Sekilas ia membacanya, di sana banyak curhatan Victoria.
Rasa khawatir menyelimutinya, Dia membuka isi lemari namun, baju-baju Victoria masih ada. Dia berlari mencari Victoria di seluruh isi rumah. Namun tak ia tak temukan. Dia melangkah keluar rumah, matanya membendung air mata saat melihat tangan di dasar danau melambai dengan lemah.
Dia melompat ke dalam kumpulan air itu. Dadanya sesak, bibirnya bergetar dengan mata berlinangan air mata. Dia mendapati Victorianya dalam keadaan lemah. Wanita pingsan, ia datang saat wanitanya ke habisan nafas. Dengan cepat ia membawa ke daratan. Dia melakukan CPR pada Victoria. Dia sangat menyesal, dia membuat Victoria berjuang sendirian. Betapa bodohnya ia. Dia menyesal telah menyia-nyiakan Victoria.
.
Instagram: Sastrabisu