***
Tak peduli malam larut, Victoria bangun dari tidurnya. Di sampingnya sudah ada Érique yang tertidur pulas disertai dengukaran halus. Pria itu terlalu lelah karena momen kebersamaannya dengan Victoria malam itu.
Kedua mata Hazel milik Victoria memandangi wajah kakaknya, wajah itu tenang, tak ada kebohongan sedikit pun disana. Wajah itu meneduhkan hatinya. Érique bagaikan air tenang menghanyutkan, Victoria tahu bahwa suatu hari lelaki itu akan meninggalkan dirinya.
Membayangkan hal itu saja sudah membuat air matanya mengenang. Janji yang terikrar di bibir lelaki itu seakan menjadi kumpulan kalimat kosong. Apa selama ini Dad John benar? Apakah benar Érique mengucapkan janji itu hanya untuk menenangkan ayahnya? Entahlah siapa yang tahu isi kepala lelaki.
Victoria tak bisa tidur. Wanita itu resah, ia gelisah dengan kesetiaan kakaknya. Sebelum tidur, Érique menceritakan semua tentang Josephine. Hal itu membuatnya terganggu.
Érique tidak bohong, namun rasanya kejujuran lelaki itu sungguh menyakitkan. Kalimat yang terucap di bibir lelaki itu masih teringat jelas di memorinya.
"Aku bertemu Josephine. ayahnya menjadi korban pembunuhan berencana. Aku sangat bersimpati padanya. Dia mengingatkanku akan sosok dirimu. Dia sangat rapuh dan aku merasa ingin melindunginya," kata Érique jujur.
Saat itu Victoria hanya tersenyum meski hatinya bagai diremas. Dia tidak bisa marah di depan Érique. Ketakutannya terlalu besar. Dia takut lelaki itu pergi meninggalkannya.
Victoria melangkah keluar rumah, Dia duduk di pinggiran danau dekat rumahnya. Mantel berwarna pink melekat di tubuhnya, melindunginya dari hawa dinginnya malam. Damainya air danau menertawakan dirinya yang terluka, angin malam menyambar wajahnya, langit menghitam nyaris tak berbintang.
Hanya ada cahaya lampu yang menjadi penerang Victoria dalam kesendiriannya. Wanita itu merenungi semua peristiwa yang terjadi, mencoba untuk bijak dalam menghadapinya.
Dia butuh teman berbagi, tetapi tak punya siapapun. Dia sendirian, dia tak tahu harus berbuat apa. Suara dering ponselnya mengagetkan dirinya. Dia mencoba meliriknya dan mendapati ayahnya menelepon bukan John melainkan Givanno.
"Halo, Pa!" sapa Victoria dengan suara parau.
Waktunya sangat tepat, Givanno menelepon saat Victoria sedang membutuhkan teman berbagi. Dia senang tentu saja, namun ada hal yang membuatnya bad mood. Wanita itu berusaha bersikap formal.
"Ada apa, Nak? Apa Dad mengganggu tidurmu? Maaf, Dad hanya mencuri waktu di sela kesibukan. Di Belgia sudah jam enam malam, mungkin di Boston sudah tengah malam. Sekali lagi, maafkan Dad. Dad sangat merindukanmu, Nak," jelas Givanno.
Dia tidak ingin putrinya marah. Victoria menggeleng meski sang ayah tak akan bisa melihat gelengan itu.
"Papa!" panggil Victoria.
Dia mengabaikan penjelasan panjang ayahnya. Meski sudah dewasa, ia tak pernah berubah. Dia tetaplah Victoria yang lemah. Dia masih Victoria yang sama. Victoria yang sangat bergantung pada ayah dan kakaknya.
Dia merindukan sosok ayah seperti Givanno. Andai bisa ia kembali ke masa lalu, maka ia dengan senang hati memilih menjadi dirinya versi kecil. Tak ada pria spesial dan tak ada rasa sakit seperti sekarang.
Victoria mudah percaya pada siapapun, hatinya bernilai tinggi, kepercayaannya terkadang berakhir menyedihkan, sama seperti kehidupan cintanya.
"Ya, Nak! Apa yang kau pikirkan? Kau terdengar sedih di sana. Apa ada masalah dengan Érique?" tanya Givanno khawatir.
Victoria tidak menjawab. Wanita itu diam sejenak. Rasanya ia akan menangis di tengah gelapnya malam. Givanno semakin mengkhawatirkan putrinya.
"Aku mencintai kak Érique, Pa! Apa aku salah jika menginginkan kak Érique seutuhnya?"
Pertanyaan itu keluar dari bibirnya begitu saja. Dia sungguh menginginkan Érique lebih dari apapun. Dia mencintai pria itu. Givanno kaget mendengar pertanyaan putrinya. Menurut sepengetahuannya kedua anaknya itu menjalin kasih. Kenapa Victoria menanyakan hal itu padanya. Seolah Érique bukan miliknya.
"Kau berhak atas semua itu, Nak. Apa Érique tidak mencintaimu? Dia punya wanita lain? Katakan semuanya, Nak!" bujuk Givanno.
Dia ingin putrinya jujur padanya. Victoria sudah ia anggap sebagai anaknya. Dia mengenal Victoria lebih dari siapapun. Mereka memiliki ikatan kuat meski bukan anak kandungnya. Victoria menghela nafasnya sebentar, air matanya mengenang, sebentar lagi ia akan menangis.
"Kak Érique... sejak dulu hanya menganggap Victoria sebagai adik. Tidak ada yang spesial di antara kami, Pa. Aku selalu berharap lebih darinya. Dan sekarang aku sadar bahwa... Dia ti..dak me.. cintaiku," ucap Victoria sedih.
Air mata kini membasahi pipinya, bibirnya bergetar karena kalimat yang ia ucapkan. Hatinya bergetar hebat, jantungnya bergemuruh runtuh. Semua yang ia ucapkan adalah perasaannya selama ini mengenai hubungannya bersama Érique.
Baru-baru ini ia menyadari akan hal itu. Tembok besar itu masih berdiri kokoh di antara keduanya. Sangat menyedihkan bagi Victoria.
Givanno ikut merasakan kesedihan putrinya. Mendengar tangisan Victoria membuatnya tidak kuat, Victoria sungguh rapuh.
"Tenangkan dirimu, nak. Daddy yakin Érique tidak seperti yang kau bayangkan. Dia mencintaimu, nak. Daddy bisa melihatnya saat Dia memohon restu dari Daddy. Percayalah!" kata Givanno menghibur putrinya.
Dia sendiri tidak yakin dengan Érique, tetapi ia tetap berusaha menenangkan putrinya. Hal yang ia takutkan terjadi, Érique mulai membuat Victoria-nya resah. Dia pikir bahwa Érique tidak akan membuat celah berupa kesalahan. Ternyata, Givanno salah. Érique sama saja dengan ribuan pria di dunia.
"Mungkin Papa benar, aku akan mencoba mempercayainya," balas Victoria.
Dia merasa dirinya terlalu emosional, lebih kekanakan dari biasanya. Victoria mencoba meyakinkan dirinya, Lagipula tak ada bukti kuat kakaknya selingkuh. Dia hanya mengikuti insting dan nalurinya yang belum tentu benar.
Givanno tahu putrinya dilanda kecemasan. Dia menyayangkan keduanya belum menikah.
"Daddy harap kau tetap bahagia, Nak! Jangan terlalu banyak pikiran, ingatlah kondisimu. Kau sedang hamil. Jaga kesehatan janinmu," kata Givanno menasihati.
Victoria merasa lebih nyaman dengan perkataan ayahnya. Harusnya ia memikirkan janinnya. Érique bisa mengkhianatinya tapi janinnya tidak. Benih dari Érique itu memberikannya semangat lebih untuk hidup. Dia tidak sendirian, ada kehidupan lain dalam dirinya.
"Terima kasih, Daddy. Kau selalu ada untukku. Aku jadi malu, di usia sebesar ini masih manja padamu," balas Victoria. Dia sangat bersyukur memiliki ayah sebaik dan se-pengertian Givanno. Angin kembali berembus, tubuh mungil Victoria terasa dingin meski mantel tebal melekat dalam dirinya. Dia memeluk dirinya sendiri.
Givanno tersenyum mendengar ucapan putrinya. "Kau tidak perlu sungkan, Nak. Selagi kau belum punya anak kau berhak manja pada Daddy," balas Givanno membuat Victoria tertawa. Keresahan dalam hati wanita itu berkurang saat itu juga.
"Papa bisa saja. Oh ya Pa, aku ingin istirahat dulu. Terima kasih karena menyempatkan waktu meneleponku," kata Victoria tulus. Givanno nyengir karena ucapan putrinya.
"Ok, Nak. Istirahatlah. Malam sudah larut. Daddy matikan panggilannya ya! Selamat tinggal!" cap Givanno.
Victoria membalas ucapan ayahnya lalu mematikan ponselnya. Dia menyimpan ponselnya di kantong baju hamilnya. Matanya menerawang indahnya danau di depannya.
Victoria memandangi sekelilingnya, hingga ia melihat sosok misterius mendekatinya. Tubuhnya bergetar, sosok itu memakai topeng dengan darah di wajahnya. Sosok itu sangat mengerikan. Victoria diam di tempatnya, ia terlalu takut untuk lari. Sosok misterius itu bagaikan hantu. Victoria memejamkan matanya. Sosok itu mencengkram lengan Victoria.
"Kau akan mati.. Anakmu tak akan lahir.. Ingat, nyawamu akan habis." bisik orang itu di telinga Victoria.
Suaranya sangat sulit ditebak, apakah dia perempuan atau laki-laki. Victoria melawan rasa takutnya, ia membuka matanya. Tubuhnya bergetar hebat. Sekuat tenaga ia mengeluarkan satu kalimat.
"Siapa kau?" tanya Victoria berteriak.
Orang misterius itu tertawa. Suaranya melengking bak nenek sihir. Dia mencekik leher Victoria, membuat wanita itu sulit bernafas. Victoria meraa sesak, ia tak bisa memikirkan apapun rasanya otaknya penuhi hal yang gelap, matanya melotot seakan malaikat maut akan menjemputnya.
"Kau harus mati!" geram orang misterius itu. Victoria merasakan sakit yang luar biasa di bagian lehernya. Dia tidak tahan lagi, dunia lain mungkin akan menjemputnya.
"Victoria! Kau di mana, Dayang!"
Teriakan lelaki menghentikan aktifitas orang itu. Dia melepaskan cengkramannya di leher Victoria. Kesempatan itu di gunakan Victoria mengambil nafas, lelehan air mata kini membasahi pipinya. Dia menangis sesenggukan sambil memegangi lehernya.
"Kau lolos hari ini. Ingat aku akan datang lagi! Dan saat itu juga kau akan mati." ancam orang itu lalu pergi.
Victoria duduk lemah menangisi dirinya, dia memeluk tubuhnya. Seseorang terus memanggil namanya. Dia tahu bahwa itu adalah Érique. Dalam keadaan syok, ia bangkit lalu menghapus air matanya. Érique tidak boleh tahu apa yang sedang menimpa dirinya. Dengan langkah pelan ia masuk ke dalam rumahnya.
Saat ia masuk ke dalam rumah, Érique sudah ada di dapur. Dia terkejut saat melihat Victoria berada di ruang tamu. Wanita itu datang entah dari mana. Rasa khawatir tergambar jelas di wajah Érique. Pria itu berlari mendekati wanita itu lalu memeluk tubuhnya.
"Apa yang terjadi? Kau datang dari mana? Jangan lakukan ini lagi Victoria," kata Érique dengan pertanyaannya.
Victoria menghela napasnya, lehernya masih terasa sakit. Namun, ia harus kuat. Dia bukanlah wanita lemah, ia harus belajar menghadapi semua situasi yang menimpanya tanpa sepengetahuan Érique. Victoria harus siap kehilangan pria itu.
"Aku .. aku hanya... mendapat telpon Papa. Aku tidak ingin mengganggu kakak jadi aku .. mengangkat telpon itu di danau," jelas Victoria. Suaranya sangat lemah menunjukkan betapa takutnya ia sekarang.
Érique memandangi Victoria. Matanya menerobos masuk menjelajahi mata hazel wanita itu. Dia curiga, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Victoria.
"Kau menangis?" tanyannya saat melihat mata Victoria berair.
Pertanyaan Érique membuat wanita itu gugup. Untuk menyembunyikan kegugupannya, ia memaksakan dirinya tersenyum.
"Papa menceritakan hal sedih. Aku sungguh merindukannya hingga aku menangis terharu," jelas Victoria.
Érique mengangguk percaya. Apa yang diucapkan wanita itu memang masuk akal dan logis. Érique tersenyum lega. Kepergian Victoria tadinya membuat jantungnya seakan remuk. Dia takut Victoria meninggalkannya. Ternyata hanya ada panggilan dari ayahnya. Hal itu sangat wajar mengingat Boston dan Belgia berbeda beberapa jam.
"Apa yang Dad katakan?" tanya Érique.
Dia ingin tahu, alasan ayahnya menelepon. Sudah lama ia tak mendapat kabar ayahnya. Ini semua karena pekerjaannya. Dia sampai lupa bahwa dia masih punya Ayah dan saudara. Matanya menyipit saat Victoria terdiam.
Victoria memeluk tubuh Érique. Menenangkan dirinya yang masih syok akan kehadiran sosok misterius yang mengusik ketenangannya di danau.
"Papa merindukan kita. Dia tidak sabar menantikan kehadiran cucunya. Papa benar-benar bahagia mendengar ceritaku. Dia lega karena kak Érique menjagaku dengan baik. Aku juga mengatakan bahwa kak Érique detektif yang hebat," jelas Victoria.
Mulut dan hatinya mengatakan hal yang berbeda. Hatinya menangis meski bibirnya berkata ia baik-baik saja.
Érique tersenyum kecil saat mendengar perkataan Victoria. Wanita itu sangat memuja dirinya. Dia tidak perlu terlalu protektif pada wanita itu. Victoria sekarang mulai bahagia. Sifat protektifnya hanya akan membuat Victoria tidak nyaman.
"Kau harus jaga kesehatan ,sayang. Jika Dad menelepon biar Kakak yang mengangkat panggilannya," balas Érique disertai elusan di punggung wanita itu.
"Sekarang kita tidur lagi ya!" pinta Érique lembut.
Victoria hanya mengangguk, membuat Érique membantunya berjalan masuk ke kamar mereka. Rasa takut Victoria tak kunjung berhenti. Ancaman dari orang misterius yang mencekiknya masih memenuhi otaknya. Dia takut orang itu nekat dan membunuh janinnya. Dan itu sangat menyakitkan baginya.
Harapannya hanyalah janin yang ada di dalam kandungannya. Jika janin itu mati, Érique bisa saja mencampakkannya. Dia bahkan tak punya pekerjaan sekarang. Setidaknya janin itu bisa menahan Érique. Mereka tak punya ikatan pernikahan, sangat mudah bagi Érique untuk meninggalkannya.
"Kak Érique!" panggil Victoria.
Érique berbalik lalu menatapnya. Pria itu membantu Victoria berbaring. Dia menutupi tubuh wanita itu dengan selimut. Érique sama sekali tak curiga dengan apa yang di ucapkan Victoria. Semua perkataan wanita itu langsung saja ia percayai.
"Ehmm." balas Érique.
Dia merasa Victoria sangat dekat baginya hingga ia tak perlu menjawabnya dengan berbalik bertanya. Sebaliknya, Victoria berpikiran lain. Dehaman itu seolah tanda bahwa Érique mulai bosan padanya. Hatinya meringis merasakan sakit.
"Andai janin ini keguguran, apa kak Érique masih mencintaiku?" tanya Victoria ragu.
Érique menghembuskan nafas kasar. Dia tidak suka pertanyaan Victoria. Dia mencintai wanita itu sebelum hamil. Dia merasa Victoria terlalu berlebihan menanyakan hal itu. Wajahnya mengeluarkan mimik yang sulit di tebak.
"Cinta bukanlah apa yang kau miliki tapi cinta adalah apa yang kau rasakan. Kakak tidak punya alasan meninggalkanmu. Sejak awal kakak hanya mencintaimu. Jangan tanyakan hal itu lagi," ucap Érique berharap Victoria mengerti. Victoria belakangan ini sulit ia mengerti, meski ia tahu bahwa itu karena hormon kehamilannya.
"Kakak mencintaiku sebagai adik kan? Aku bukan perempuan yang spesial? Itu benarkan?" tanya Victoria dengan linangan air mata.
Ancaman yang telah ia terima membuatnya takut kehilangan Érique. Dia tak bisa membayangkan hidup tanpa pria itu. Mungkin ia bisa hidup namun jiwanya mati. Segala kemungkinan bisa terjadi dan Victoria ingin tahu kemungkinan yang akan menimpa hidupnya.
Érique menghapus air mata wanitanya. Perlahan ia mengecup kening Victoria. Dia berusaha menguatkan wanitanya. Dia sungguh mencintainya.
"Kakak mencintaimu lebih dari sekedar adik. Kau sangat spesial, sayang. Jika tidak kenapa harus ada ini," jata Érique sambil mengelus perut buncit Victoria.
Jawaban itu cukup menenangkan Victoria. Setidaknya untuk sekarang. Dia tidak akan menuntut lebih jauh. Toh belum tentu Érique menikahinya.
.
Instagram: Sastrabisu