Érique tak hentinya melakukan CPR pada tubuh Victoria, nafasnya tersengkal-sengkal. Rasa cemas melanda dirinya. Dia belum siap kehilangan Victoria. Ini semua salahnya, Dia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan wanita itu. Pria itu memberi nafas buatannya sebentar lalu kembali melakukan CPR. "Kau tidak boleh pergi, Victoria! Kau harus bangun sekarang juga." Gumam Érique gelisah. Jantungnya berkecamuk, jiwanya melayang terbang. Dia memikirkan kemungkinan mengapa Victoria bisa tenggelam di danau. Hanya ada satu yang terlintas di dalam benaknya. Victoria ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Wanita itu mencoba bunuh diri karena sikap Érique yang menurutnya mulai berubah. Satu halaman Diary di kamarnya cukup menjelaskan semuanya.
Usaha Érique tidak sia-sia. Victoria membuka matanya dan mengeluarkan banyak cairan bening dari mulutnya. Érique menghembuskan nafas leganya. Victoria memandangi pria itu penuh tanya, tubuhnya terasa kaku saat bulatan hitam mata Érique memandanginya. Wanita itu diam bersama rasa takutnya. Dia menunduk tak tahu harus berbuat apa.
Érique mendekap tubuh wanitanya, kemejanya yang berwarna biru seketika basah. "Ada apa? Apa yang terjadi, Sayang? Kenapa kau bisa seperti ini? Katakan!" Ucap Érique khawatir. Raut wajahnya sendu. Dia merasa bersalah telah memilih pekerjaan sialannya ketimbang kekasihnya. Dia membuat wanita itu sendirian. Mengapa dia mengabaikan Victoria? Melihat Victorua serapuh ini membuatnya sedih bukan main.
Victoria diam dalam tangisnya. Pelukan hangat Érique membuatnya tenang. Namun, Dia sama sekali tak bergerak. Tangannya terasa berat untuk sekedar memegangi tubuh lelaki itu. Dia sadar bahwa Érique bukanlah miliknya. Dia tidak mau kecewa untuk kesekian kalinya. Air mata mengalir membasahi pipinya. Semua keluh kesahnya tak bisa ia keluarkan. Suara tangisnya pun tak terdengar. Dia seutuhnya diam bagaikan patung liberty.
Érique melepas pelukannya, dia ingin menatap Victoria. Namun wanita itu menunduk, Érique mengangkat wajah Victoria. Mereka saling berpandangan. "Katakan sesuatu, sayang! Kau boleh marah, kau boleh mengumpatku. Bicaralah!" Pinta Érique. Dia menyesal telah membuat Victoria menderita sendirian. Hampir saja ia membenci dirinya sendiri. Otaknya yang pintar seakan tak berarti karena tindakan bodohnya.
"Aku... tidak a.. pa a.. pa .. kak." Ucap Victoria. Satu kalimat yang susah payah ia keluarkan dari bibirnya. Victoria kembali menunduk. Dia sudah banyak merepotkan Érique. Dia adalah wanita tidak berguna dan manja. Dia tidak bisa profesional dan selalu bergantung pada lelaki itu. Karena ia tak bisa berenang, Érique harus membantunya keluar dari danau. Dia lemah sampai tak bisa melawan makhluk bertopeng yang mengganggunya. Harusnya ia mati saja. Kenapa Érique harus datang dan menyelamatkannya. Wanita seperti dia harusnya lenyap di dunia ini. Érique berhak mendapat wanita yang lebih baik. Victoria mengutuk dirinya sendiri.
Érique menggeleng. Kalimat Victoria membuatnya hatinya bergetar, hatinya berteriak marah. Érique tersentuh, Bagaimana bisa ia melupakan wanita sebaik dan setulus Victoria. Dalam keadaan seperti ini. Dia masih berusaha tegar, harusnya Victoria mengumpatnya, memakinya. Bukan menghibur dirinya yang khawatir. "Maafkan kakak, Victoria." Kata Érique menyesal.
"I..ni bukan salah kakak. Aku yang salah. Karena tak bisa berenang, aku terjebak dalam air itu." Balas Victoria sedih. Tidak ada yang boleh disalahkan atas kesalahannya sendiri. Dia tidak ingin bermanja lagi. Semua kecerobohannya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dia sebentar lagi menjadi seorang ibu, kalau dia lemah bagaimana ia bisa melindungi anaknya.
Perkataan Victoria bagaikan sledgehammer yang menghantam tubuhnya. Tak terasa air matanya berlinang begitu saja. Dia bagaikan lelaki cengeng sekarang. Tubuh Érique terguncang, tanpa sepatah katapun, ia mengangkat tubuh wanitanya. Érique membawa Victoria ke dalam kamar mereka. Sulit baginya jika harus mendengar wanitanya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuatnya merasa tak berguna, disalahkan pun tidak.
Érique membawa Victoria masuk ke kamar mandi, sorot matanya menunjukkan betapa menyesalnya dia. Dia menyalakan air, dia ingin memandikan tubuh Victoria. "Kakak tidak perlu melakukan ini. Aku bisa, mandi sendiri! Kakak tidak perlu melakukan apapun, aku baik-baik saja." Jelas Victoria sambil mengukir senyum. Érique tahu bahwa wanitanya hanya berpura-pura.
Érique tak bicara apapun. Dia tetap pada pendiriannya. Semenitpun ia tak akan meninggalkan wanita itu. Dia ingin memastikan Victoria selamat. Victoria berkali-kali menolak perlakuan Érique. Namun, sedikitpun pria itu tidak mendengarnya. Alhasil hanya pasrah. Perlahan, tangan Victoria menelusuri wajah kakaknya. Dia menyentuh bulu-bulu halus yang tumbuh di bagian dagu lelaki itu. Perlakuan manis lelaki itu membuatnya bahagia. Érique tersenyum manis padanya.
"Kakak mencintaimu, Victoria. Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan kakak." Ucap Érique. Suasana mereka hening, hanya ada suara guyuran air yang terdengar. Mendengar ucapan kakaknya membuat Victoria melepas tangannya yang tadi menyentuh dagu pria itu. Cinta terlalu sensitif untuk dibicarakan. Kata cinta hanya penyejuk hatinya sementara waktu.
"Aku akan tetap berada di samping kakak, sampai kakak bosan. Kemudian, aku akan pergi setelah tak di butuhkan lagi. Aku siap dengan semua yang akan terjadi." Balas Victoria. Kumpulan kalimat itu seakan menusuk hati Érique. Kalimat itu mengingatkannya akan perbuatannya yang sesuka hati pergi meninggalkan wanita itu.
"Maafkan kakak,Victoria! Yang telah semenah-menah padamu. Ketahuilah, dari dulu perasaan kakak tidak pernah berubah. Percayalah!" Kata Érique dengan mimik sedihnya. Victoria memeluk tubuh lelaki itu sebentar.
"Aku tahu, aku tahu semuanya. Kakak hanya menganggapku adik. Perasaan itu tidak berubah, aku tidak apa-apa. Mungkin aku terlalu banyak berkhayal memiliki kak Érique. Itu kan maksud kakak?" Tanya Victoria. Mengucapkan kalimat itu tidak segampang yang ia bayangkan. Kini jantungnya bergemuruh menanti balasan kalimat dari Érique. Pria itu mungkin akan mengiyakan pernyataannya sekarang. Semenjak kehamilannya masuk di bulan kelima, ia banyak mengalami kecemasan. Hal yang harusnya tidak ia pedulikan malah selalu menari-nari di kepalanya. Bahkan kalimat cinta yang selalu Érique ucapkan setiap harinya masih saja membuatnya ragu. Sebenarnya bagaimana wujud cinta itu?
Victoria mengamati kakaknya. Lelaki itu menggeleng keras, matanya memerah entah karena apa. "Tidak, itu tidak benar! Sejak dulu kakak mengharapkan kau lebih dari sekedar adik. Saat kau berumur 6 tahun, rasa itu tumbuh begitu saja. Setiap malam kakak membayangkan manisnya hidup bersamamu. Dan mimpi itu kini terwujud, kau ada di depan mata kakak menjadi wanita istimewa. Percayalah, pada kakak, Victoria. Cinta kakak tulus padamu." Jelas Érique dengan mata sedikit mengenang. Sedetik kemudian ia menatap arah lain menghapus air matanya. Mungkin perkataan orang benar bahwa air mata seorang lelaki adalah air mata tulus, bukan karena ia cengeng melainkan sebagai pembuktian. Pria jarang menangis, dan air mata bisa menjadi bukti akan cinta.
"Danielle Steel mengatakan bahwa kejahatan terlalu samar, tak terdengar, dan kehadirannya datang tanpa disadari. Sama seperti cinta, Cinta terlalu samar dan tidak ada alat pengukur yang mampu menghitung berapa besar. Aku tidak tahu apakah perkataan kakak bohong atau benar. Tapi aku akan tetap mempercayainya." Balas Victoria sambil menerawang masuk di dalam gelapnya mata Érique.
"Aku akan membuktikannya semampuku." Ucap Érique. Dia mengucapkan kalimat itu meskipun ia sendiri tidak yakin. Janjinya pada John, ayah Victoria bahkan belum bisa ia tepati. Victoria nyaris mati karenanya. Dia merasa bagai pecundang yang belum bisa menepati janjinya.
Sepuluh menit kemudian, Victoria selesai mandi dengan bantuan Érique. Mereka keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaian. Selesai dengan aktifitas itu, mereka duduk menonton televisi. Mencoba melupakan pembahasan sensitif mereka tentang cinta. Tayangan televisi seakan menjadi gambar tak kosong. Mereka berdua menikmati pelukan hangat mereka. Pelukan itu penuh cinta. Mereka diam tanpa kata. Karena kata ataupun kalimat akan membuat semuanya terasa rumit. Tayangan X faxtor US 2014 terasa tak berarti sama sekali. Mereka melakukan aktifitas itu hingga pagi hari menyapa mereka.
***
Érique tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Dia tak ingin mengakhiri kebersamaannya dengan Victoria. Dia sangat menginginkan wanita itu. Kejadian kemarin, membuatnya takut. Dia tidak ingin hal yang sama kembali terulang. Dia sangat menikmati hangatnya memeluk Victoria. Kasur mereka kembali hangat karena mereka saling berbagi. Meski tidak semua uneg-uneg mereka sampaikan. "Hari ini, kau mau kan ikut kakak kerja? Kakak tidak mau kejadian kemarin terulang lagi." Jelas Érique.
"Ellie akan datang hari ini. Aku bisa tinggal bersamanya hari ini." Balas Victoria. Dia berusaha tersenyum walau bayang-bayang monster menakutkan terus menghantui hidupnya. Érique tidak peduli dengan jawaban Victoria. Keputusannya sudah bulat. Dia kukuh pada pendapatnya. Semalam ia sudah menelepon ayahnya, Givanno. Mendengar putrinya dalam bahaya membuat sang ayah marah. Dia menyemprot dengan nasihat yang cukup menyadarkannya. Satu kalimat terakhir ayahnya yang masih teringat dikepalanya. "Kalau kau tidqk bisa melindungi Victoria, kenapa harus melindungi orang lain?"
"Tidak. Pokoknya kau harus ikut kakak kerja." Tegas Érique sekali lagi. Victoria pasrah, Kakaknya kini kembali pada dirinya yang protektif. Alhasil Victoria ikut bersama kakaknya ke TKP agar kakaknya tenang.
Saat mereka sampai di lokasi kejadian, disana sudah ada Anne, Stephan, Bella, dan juga Josephine. Kehadiran Victoria membuat Anne dan Stephen menggoda Érique. "Hari ini, kau membawa bidadarimu. Pasti sangat menyenangkan." Ucap Stephen menggoda. Érique membalasnya dengan senyuman hangat.
"Tentusaja. Aku merasa menjadi pria paling beruntung bisa memiliki Victoria." Balas Érique lalu melirik Victoria yang sedang tersenyum dengan rona pink di wajahnya. Keputusan Érique membawanya ikut kerja, membuat rasa tegang dan takutnya berkurang.
Anne dan Stephan terkekeh, Sebaliknya Bella tersenyum miring seperti sedang mengejek. "Kau tidak perlu berlebihan, Rik! Hanya anak remaja yang akan mengucapkan kalimat itu." Sindir Bella. Josephine hanya bisa diam, ia mengamati perut buncit milik kekasih Érique.
"Tak usah pedulikan dia, Rik! Kurasa Bella cemburu." Kata Anne membela temannya. Érique hampir tertawa mendengarnya. Apalagi saat melihat ekspresi jengkel Bella.
"Aku tahu. Dan aku juga tidak mau membahas hal yang tak perlu. Kasus ini sudah membuatku pusing." Balas Érique membuat Bella semakin jengkel. Ingin rasanya menjambak Victoria. Bella menahan amarahnya, bagaimanapun ia adalah seorang dokter. Dokter tak pernah menyakiti siapapun.
"Kau cantik, kenalkan namaku Josephine, panggil saja Jo." Kata Josephine memperkenalkan diri. Érique mencoba melihat raut wajah wanita itu. Perasaan yang sama masih melanda dirinya. Kehadiran Victoria cukup mengalihkan perhatiannya.
"Victoria Givanno." Balas Victoria menculurkan tangannya. Mata Josephine sempat menyernyit. Kenapa nama belakang Victoria sama dengan Érique? Dia menyimpulkan bahwa dua orang itu telah menikah karena menggunakan marga yang sama. Josephine merasa iri, tapi mau bagaimana lagi. Érique telah memilih wanita itu. Dia hanya bisa pasrah.
Érique dan rekan kerjanya sedang serius berbicara. Victoria dan Josephine mengobrol satu sama lain. Tanpa di sadari seorang pria dari kejauhan mengamati mereka. Matanya terfokus pada Victoria. "Setelah kejadian kemarin, kau masih bisa tertawa. Namanya Victoria ternyata. Selagi kau mengusik hidupku aku akan membunuh wanitamu itu." Tegas Seorang lelaki. Dia sangat misterius. Siapa sebenarnya dia? Apa dendamnya pada Érique? Apa dia ada kaitannya dengan Elizabeth? Entahlah, hanya tuhan yang tahu.