Evil Prince
Semua pekerja puri Ardhana yang sudah berkumpul langsung berbaris rapi dengan wajah ditekuk. Raut wajah mereka semua terlihat tegang. Suasana kini terasa mencekam. Hening sekali sampai-sampai mereka hanya mendengar suara detak jantung mereka masing-masing. Aura di ruangan itu bahkan terasa sangat mencekam. Pasokan oksigen di sana terasa terbatas. Sebagian dari pekerja itu bahkan mengucurkan keringat yang deras di wajahnya. Sebagian lagi berdiri dengan lutut yang menggigil. Sebagian lagi terlihat kesulitan menahan tangis.
Sosok pemuda berpakaian necis itu pun kembali menghela napas. Hal itu sontak membuat semua pekerja itu kompak meremas tangan masing-masing dengan bibir yang sudah memucat. Dia menepuk-nepuk meja kerjanya pelan. Setelah itu beralih menatap keluar jendela membelakangi semua orang.
“Jadi nggak ada yang mau ngaku?”
Pemuda yang sedang berkacak pinggang membelakangi barisan pekerja itu tersenyum sinis. Dia menghisap rokok di sela jarinya dalam-dalam, kemudian meniupkannya perlahan sambil memutar badannya kembali. Tatapan tajamnya mengarah pada semua pekerja yang sudah menggigil ketakutan.
“Udahlah, Rey! belum tentu juga mereka yang mengadukannya.” mbak Rieta mencoba membujuk Reyhan yang kini meradang.
Tatapan ganas Reyhan pun beralih pada mbak Rieta yang langsung membuat wanita itu menelan ludah. “Kalau begitu jangan-jangan, Mbak yang mengadukannya?” tuduh Reyhan.
Mbak Rieta langsung terbelalak kaget dan lekas membantah dengan menggoyang-goyangkan kedua telapak tangannya. “M-mana mungkin saya berani—“
“Kalau begitu, ya salah satu di antara mereka!” sergah Reyhan dengan suara keras.
Mbak Rieta langsung terdiam.
“Kalau ditanya itu DIJAWAB...!!!”
Hardikan Reyhan membuat semua orang kompak mengelus d**a. Pemuda berusia 25 tahun itu terlihat semakin gusar. Dia melonggarkan ikatan dasinya dengan kasar karena mulai merasa sesak. Setelah itu dia kembali menghembuskan napas gusar.
“Oke... Saya akan bertanya sekali lagi.” Reyhan berucap dengan mata yang kini terpejam. “Siapa yang sudah mengadukan saya membawa wanita ke rumah pada Nyonya Ani? satu... dua... tiga....” Reyhan memukul meja di sebelahnya dengan keras seirama dengan hitungannya.
Hening. Semua pekerja itu tetap menutup mulut rapat-rapat.
“Cih... Jadi nggak ada yang mau mengaku?” Reyhan tersenyum kecut, kemudian menjangkau sebuah vas keramik yang ada di atas meja.
PRAAANNG...
Vas bunga itu pecah berkeping-keping dan menimbulkan suara bising begitu menghempas dinding.
“Sudahlah, Rey... Lebih baik sekarang kita berangkat ke kantor, ya,” bujuk mbak Rieta.
Reyhan tersenyum tipis sambil memasang kancing lengan bajunya. “Oke... Kalau itu mau kalian.” Reyhan kembali menatap para pekerja itu dengan jari telunjuk yang bergerak pelan.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, ..., sebelas, dua belas, ..., delapan belas... kalian semua saya PECAT...!”
Semua sontak terkejut mendengar kalimat itu. Para pekerja yang tadi diam kini menjadi ricuh dan saling berucap pada sesamanya. Mbak Rieta pun kini tampak panik. Dia tak henti memijit keningnya yang sekarang terasa pusing.
“T-tapi Pak—” seorang pekerja mencoba bersuara.
“Kamu nggak denger apa kata saya? kalian semua itu di pecat! Jadi cepetan semuanya pergi dari sini... sekarang!” bentak Reyhan.
Para pekerja itu bergeming dan tetap berdiri di tempatnya. Semantara, Reyhan sudah menyambar jas miliknya dan memasangnya dengan bantuan mbak Rieta. Tatatapan bengisnya benar-benar terlihat menyeramkan. Bahkan lebih menyeramkan dari tatapan medusa yang bisa mengubah semua yang melihatnya menjadi batu. Begitu Reyhan hendak melangkah pergi, tiba-tiba salah seorang pekerja langsung berlutut dan menundukkan kepala dengan air mata yang sudah menetes.
“M-maafkan saya Pak....”
“Jadi kamu pelakunya?” Reyhan tersenyum miring, kemudian menatap gadis itu dengan rahang yang bergerak-gerak pelan.
“M-maafkan saya, Pak... maafkan saya. Saya sudah melakukan kesalahan. S-saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” rintih gadis itu.
“Sekarang kamu berdiri.” perintah Reyhan.
Gadis itu pun bangun sambil menyeka air matanya.
“Siapa nama kamu?” tanya Reyhan.
“H-Hanin.”
Tatapan Reyhan beralih pada pekerja yang lainnya. “Baiklah, kalian semua silakan kembali bekerja dan Hanin... sekarang juga kamu berkemas dan segera angkat kaki dari rumah ini!”
_
Setelah merapikan pakaian dan mengatur napas sejenak, Dinni pun melenggang dengan percaya diri mendekati pagar puri Ardhana yang tinggi menjulang. Dinni langsung menempelkan kartu identitas yang diberikan oleh mbak Rieta pada sensor yang terdapat di pintu gerbang dan secara ajaib pintu itu pun langsung terbuka secara otomatis.
“Oho... amazing,” desisnya pelan.
Dinni pun melangkah dengan tersenyum canggung. Dia merasa senang dan cemas secara bersamaan. Dinni begitu deg-degan menyambut hari pertamanya bekerja rumah itu.Dinni benar-benar tidak mengira bahwa dia akan bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga. Dia juga merahasiakan pekerjaannya itu dari sang Ibu, Juan dan juga Ishaya. Mereka semua tidak tahu detail pekerjaan Dinni yang sebenarnya.
“Oke Dinni... ayo lakukan yang terbaik.” Dinni menepuk pundaknya sendiri, kemudian mengepalkan tinjunya dengan bersemangat.
Dinni terus melangkah rinag. Sampai kemudian setiba di teras rumah, dia melihat pemandangan yang cukup aneh baginya.
“Eh... Orang itu kenapa?” tatapan Dinni tertuju pada seorang gadis yang terus menangis sambil berlutut di halaman di teras rumah.
Tak berselang lama kemudian dia juga melihat seorang pemuda berparas tampan yang melangkah keluar rumah diikuti oleh beberapa orang asisten di belakangnya, termasuk Mbak Rieta. Dinni menatap takjub. Pemuda itu benar-benar terlihat seeprti pangeran dan barisan pengawal seperti yang sering dia lihat di televisi. Apa orang kaya selalu seperti itu? entahlah. Dinni pun masih melongo di tempatnya berdiri.
“Maafkan saya, Pak. Saya mohon kasih saya kesempatan.” gadis yang dipecat itu kembali memohon belas kasihan.
“Dipecat?” batin Dinni.
Dinni yang hatinya mudah tersentuh itu pun melangkah pelan mendekati gadis itu. Dinni menyentuh pundak gadis itu perlahan, kemudian membantunya untuk berdiri. Aksinya itu sukses menarik perhatian semua orang termasuk si pangeran jahat, Reyhan yang terkejut melihat kehadirannya. Reyhan menatap Dinni lekat-lekat, lalu mengangkat jari telunjuknya.
“K-kamu....” Reyhan mengernyit menatap Dinni.
“Dinni kamu ngapain? ayo segera ke sini!” mbak Rieta langsung menghardiknya dengan setengah berbisik.
“Ada apa ini? bukannya dia yang bikin onar di kantor waktu itu?” Reyhan beralih menatap mbak Rieta.
“Hahaha... Emm, nanti biar saya jelaskan. Lebih baik sekarang kamu segera berangkat ke kantor agar tidak telat mengikuti meeting-nya.” mbak Rieta tersenyum dengan bibir yang bergetar karena cemas.
“Dinni ayo kasih salam. Ini adalah Pak Reyhan, majikan kamu.” perintah mbak Rieta.
Dinni yang masih kebingungan pun langsung maju mendekati Reyhan, kemudian menunduk memberi hormat. Awalnya Reyhan menanggapinya dengan wajah masam. Tapi, seketika wajahnya berubah tegang saat melihat ada sesosok mahluk kecil yang menggeliat-geliat di atas kepala Dinni.
“Perkenalkan nama saya Andinni dan mulai hari ini saya akan bekerja seba—”
“AAAA...!!!”
Perkataan Dinni terhenti karena tiba-tiba Reyhan berteriak histeris. Ekspresi wajahnya pun langsung berubah drastis. Tidak ada lagi wajah cool yang menawan. Saat ini dia terlihat seperti bocah kecil yang ketakutan. Reyhan langsung berlarian ke belakang para asisten berbadan tegap yang juga terkejut karena aksinya itu.
Semua orang yang ada di sana pun menatap heran. Bahkan Hanin yang sedari tadi menitikkan air mata juga ikut tercengang. Tak terkecuali Dinni yang tidak kalah syok karena Reyhan berteriak di dekatnya.
“Kenapa dia tiba-tiba berteriak seperti itu?”
Dinni menatap Reyhan sambil menautkan alisnya. “A-ada apa, Pak?” Dinni perlahan mendekat kembali.
Reyhan pun refleks mundur ke belakang dengan pupil mata bergetar. “Singkirkan mahluk itu...! singkirkan mahluk itu sekarang juga...!” bentaknya.
“Ada apa, Rey...? apa yang harus disingkirkan? maksud kamu gadis itu?” mbak Rieta menunjuk ke arah Dinni.
“B-bukan! tapi itu... Itu yang ada di atas kepalanya,” ucap Reyhan tergagap.
“Di atas kepala saya?” tanya Dinni dengan wajah bingung.
Mbak Rieta yang penasaran pun langsung mendekati Dinni. Saat itu juga dia ikut terkejut dan melangkah mundur.
“Di atas kepala kamu ada cicak...!” pekik mbak Rieta.
“Cicak?”
“Cicak?”
“Cicak-cicak di dinding?” Dinni terus bergumam.
Dinni terdiam sebentar. Dia tampak sedang berpikir keras sambil mengedipkan matanya berkali-kali. Setelah lama kemudian, barulah itu barulah matanya membelalak dengan napas yang lamgsung tertahan di rongga dadanya.
“C-cicaaak? AAAAA...!!!”
Dinni langsung berteriak histeris sambil berlari-larian tak tentu arah. Dia terus menggoyang-goyangkan kepalanya, namun seekor cicak berwarna keabu-abuan itu tetap betah bertahan di tempatnya.
“Siapa saja tolongin sayaaaaa...!” Dinni menjerit-jerit meminta pertolongan kepada siapa saja yang ada di depannya.
Situasi pun menjadi kacau. Semua orang berhamburan menghindari Dinni. Mereka sejatinya tidak takut pada cicak yang ada di kepala Dinni. Tetapi mereka takut melihat Dinni yang kini terlihat seperti banteng liar yang sedang mengamuk.
“T-tolong saya, Pak!” Dinni beralih ke arah Reyhan.
“Oh, tidak. No no no...!” Reyhan lekas menghindar.
“Tolong, Pak! tolongin saya.” Dinni masih terus mengarah pada Reyhan.
Tiba-tiba saja Dinni tersandung karena kakinya sendiri. Tubuh gempalnya pun oleng dan bersiap ambruk. Semua orang yang menyaksikan pun terbelalak dengan mulut yang menganga lebar.
Bagai sebuah film dengan adegan slow motion, tubuh Dinni perlahan oleng ke arah Reyhan. Keadaan di sekitar Reyhan pun kini mulai menggelap karena bayangan dari tubuh Dinni. Reyhan berusaha untuk menghindar, tapi sayang gerakannya kurang cepat.
BRUUUK...
Napas semua orang tertahan menyaksikan adegan mengenaskan itu. Sesaat keheningan menyebar, setelah itu semuanya berlarian panik menghampiri Reyhan.
“Reyhan...!”
“Pak Reyhaaan...!”
“Pak Rey...!”
Mereka segera menggulingkan tubuh Dinni secara bergotong-royong. Dinni pun menggelepar di tanah dengan tatapan nanar. Cicak di atas kepalanya melompat turun, kemudian pergi menjauh dan hilang dibalik semak-semak. Setelah melepas kepergian cicak itu, tatapan semua orang pun beralih pada Reyhan yang kini mengangkat jarinya yang masih bergetar.
“Rey... kamu nggak apa-apa?”
“Pak Reyhan, apa anda baik-baik saja?”
Semua orang mengerubungi Reyhan yang kini terkapar lemah.
“Aaaa... Aaaa....
Reyhan hanya mengerang pelan, setelah itu tangannya melemah dan langsung tidak sadarkan diri. Semua orang pun menatap panik. Bersamaan dengan itu pekikan histeris mereka terdengar menggelegar membelah langit.
“Pak Reyhaaaaaaaaaaaan...!!!”
_
Bersambung...