ART Elit
“Dokumennya sudah selesai kamu baca dan ditandatangani semuanya?” tanya mbak Rieta.
“Udah, Mbak.” Dinni menyerahkan berkas-berkas berisi perjanjian kerja yang sudah dibaca dengan teliti sebelumnya.
“Oke... besok kamu langsung mulai bekerja, ya,” ucap mbak Rieta.
“T-tunggu Mbak!” Dinni kembali bersuara saat mbak Rieta hendak melangkah pergi.
“Iya, ada apa, Din?”
Dinni terlihat sedikit ragu-ragu. Dia menatap mbak Rieta sekilas, lalu menundukkan wajahnya. “Kenapa waktu itu Mbak meyakinkan saya untuk mengambil pekerjaan ini?” tanya Dinni.
Mbak Rieta tersenyum. Perempuan berusia tiga puluh lima itu menatap Dinni dengan lembut. Dinni pun juga balas menatap matanya. Dalam hati Dinni mulai mengagumi kecantikam mbak Rieta yang terlihat awet muda. Potongan rambut pendek bergaya bob tanpa poni itu membuat mbak Rieta terlihat fresh. Fitur wajahnya juga sangat menarik. Rasio hidung mancung, bibir mungil dan mata indahnya terlihat begitu sempurna.
“Karena kamu terlihat putus asa.”
Jawaban mbak Rieta membuat Dinni tersentak. Dia menatap nanar sebentar sebelum akhirnya tersenyum malu. Ternyata orang lain pun bisa membaca apa yang dia rasakan.
“Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?”
“Hmm... tapi, kenapa berkas lamaran saya jadi nyasar ke berkas lamaran untuk ART, Mbak? Jujur saya masih bingung sampai saat ini. Harusnya saya sadar dengan interview yang super aneh di hari itu, tapi....” kata-kata Dinni terhenti.
“Sepertinya itu kesalahan pihak penerima berkas dalam memilah berkas lamaran yang masuk,” jawab mbak Rieta.
“Tapi kenapa mereka bisa salah? Padahal jelas-jelas saya menuliskan posisi yang saya lamar. Apa semua karena penampilan saya?” Dinni teringat bahwa dia juga menyertakan sebuah foto full body di dalam berkas lamarannya.
“Kalau itu saya juga kurang tahu... yang jelas sekarang, kamu sudah setuju untuk menerima tawaran saya. Sebenarnya itu diluar prosedur yang berlaku. Tapi, karena saya merasa bersalah sama kamu, makanya saya menggunakan hak khusus saya untuk merekrut kamu,” jelas mbak Rieta.
Dinni pun berhenti meracau mendengar penjelasan itu. Ya, mempermasalahkan tentang hal itu tidak ada gunanya lagi. Yang jelas saat ini dia sudah mendapatkan pekerjaan. Dinni berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya hatinya masih meragu. Wajar saja, bekerja sebagai asisten rumah tangga bahkan tidak pernag terpikitkan olehnya. Menurut bayangan Dinni dulu sewaktu dia masih kuliah, dia akan bekerja dengan gaya necis sebagai karyawan kantor. Atau dia bisa bekerja di perusahaan dengan lingkungan kerja super sibuk. Namun mimpi tinggallah mimpi. Nyatanya hari ini dia ada di sini sebagai seorang asisten rumah tangga.
Diam-diam mbak Rieka tersenyum pelan. Dia bisa menangkap ekspresi keraguan di wajah Dinni.
“Kamu nggak perlu berkecil hati. Mungkin di luar sana pekerjaan ART memang dipandang rendah. Tapi posisi kamu di sini tidak seperti itu. Karena kamu akan mengemban tugas khusus sebagai ART elit.” mbak Rieta mengedipkan matanya.
“A-ART elit?” ulang Dinni.
Mbak Rieta tersenyum. “Iya... ART elit.”
_
Dinni menekan tombol bel rumah Ishaya dengan senyum sumringah. Tidak datang dengan tangan kosong, Dinni juga membawa satu kantong singkong goreng balado harga 10.000 rupiah dan sudah dapat banyak. Dinni pun menunggu Ishaya sambil bersiul pelan. Begitu pintu terbuka, Dinni langsung memeluk Ishaya erat-erat mengekspresikan kebahagiaannya.
“Ka-kamu ke-na-pa, sih Din?” Ishaya yang tercekik kesulitan untuk bersuara.
Dinni memeluk Ishaya lebh erat lagi, bahkan kali ini dia mengangkat tubuh mungil itu hingga kaki Ishaya melayang di udara.
“Is... akhirnya aku dite—” ucapan Dinni terhenti begitu menyadari ada Juan yang sudah duduk dalam di sana.
“K-kamu....”
Dinni tertegun. Dia melepaskan Ishaya dan langsung tertunduk melihat tatapan Juan padanya. Sejak pergi dari rumah tempo hari, Juan terus berusaha menghubungi Dinni untuk membujuknya agar mau pulang ke rumah. Juanjuga tak henti mengirimkan pesan yang berisi nasehat, tapi Dinni tidak menghiraukannya. Dinni bersikap keras kepala dan akhirnya itu membuat Juan marah padanya.
“Ayo pulang ke rumah!” Juan langsung meraih tangan Dinni untuk membawanya pergi dari sana.
“Aku nggak mau pulang!” Dinni menarik tangannya kembali.
Juan memejamkan matanya sejenak. “Please, Din... kamu nggak boleh bersikap ke kanak-kanakkan kayak gini.”
“Kekanak-kanakkan kamu bilang?” Dinni menatap tajam.
“Aku nggak mau ribut sama kamu okey... tapi sekarang, sebaiknya kamu ikut aku dulu.” Juan mengulurkan tangannya pada Dinni.
Dinni menataop uluran tangan itu dengan ragu. Dia masih merasa marah padan ibunya. Dinni masih belum bisa bertatap muka dengan ibunya. Amarah Dinni kembali muncul saat dia mengingat apa yang sudah terjadi di rumah itu.
“Aku nggak bisa pulang sekarang.” Dinni tidak manyambut uluran tangan itu dan langsung menyembunyikan tangannya ke belakang punggung.
Pupil mata Juan bergetar. Dia masih menatap tangannya yang masih menggantung di udara. Raut kecewa jelas tergambar di wajahnya. Helaan napas pemuda itu kini terdengar berat. Bibirnya kembali terbuka hendak bersuara, tapi tatapannya kemudian tertuju pada Ishaya yang juga ada di sana. Juan pun berusaha menahan diri. Dia mengangguk pelan, kemudian menatap Dinni dengan mata sayu.
“Oke... kalau emang itu mau kamu.” Juan berkata lirih, kemudian segera pergi dari sana.
“Ju—” jemari Dinni terangkat hendak memanggilnya kembali. Tapi kemudian, Dinni mengurungkan niatnya.
Dinni menatap kepergiannya dengan rasa sesal yang mulai tumbuh di hatinya. Harusnya dia tidak perlu bersikap seperti itu kepada Juan. Dari kemarin dia tidak mengangkat telepon dari Juan, tidak membalas pesan-pesannya dan juga menolak saat Juan mengajaknya untuk bertemu. Dinni sadar bahwa apa yang dilakukan Juan adalah sebagai bentuk kepeduliannya. Juan tidak ingin Dinni bertengkar dengan ibunya. Juan tidak ingin Dinni keluyuran di luar rumah tanpa kejelasan. Dinni mengerti semua sikap Juan untuk kebaikannya, tapi... saat ini Dinni masih ingin sendirian saja.
“Kamu nggak apa-apa kan, Din?” tanya Ishaya.
Dinni menatap Ishaya perlahan. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Sedetik sebelum tangisnya pecah, Ishaya pun langsung memeluknya seraya menepuk-nepuk punggungnya pelan. Tangis Dinni pun pecah dalam pelukan sahabatnya itu. Ishaya pun tak henti menenangkan Dinni layaknya menenangkan seorang bocah yang sedang merajuk.
_
Tik.
Tik.
Tik
Tik
Suara detak jarum jam dinding kini terdengar nyarin di tengah kesunyian malam. Dinni membuka selimutnya dan bangun dari tidurnya. Malam ini dia begitu gelisah hingga tidak bisa terlelap. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12.00 malam. Ada begitu banyak hal yang menganggu pikirannya saat ini. Dinni mendesah pendek sambil menjangkau segelas air putih yang berada di atas meja. Sementara, Ishaya sudah tertidur nyenyak. Suara dengkuran gadis itu bahkan terdengar keras.
“ART elit...?” Dinni kembali teringat ucapan mbak Rieta.
Dinni beranjak mengambil tas miliknya. Dia mengeluarkan sebuah amplop kecil berwarna cokelat dari dalam sana. Amplop itu berisi sejumlah uang yang tadi diberikan oleh mbak Rieta sebagai gaji dimuka yang bisa digunakan Dinni untuk biaya transportasi dan biaya hidup. Nominalnya yang cukup banyak membuat Dinni termangu. Dia berusaha menolak, namun mbak Rieta terus memaksanya untuk menerima uang itu.
Dinni kemudian mengeluarkan sebuah kertas kopian yang berisi kontrak kerjanya. Di sana tertulis bahwa Dinni akan bekerja di sana selama satu tahun dan penambahan kontrak akan didiskusikan setelah kontrak awal berakhir. Selama setahun itu Dinni tidak diperkenankan untuk berhenti. Jika dia melanggarnya, Dinni harus bersiap menerima sanksi yang telah disepakati. Selain itu di sana juga tertera nominal gaji yang akan diterima oleh Dinni. Deretan angka yang terlihat banyak itu membuat Dinni menelan ludah.
“Wah... Ini bener-bener luar biasa,” gumamnya. Dinni menunjuk jumlah angka itu dengan telunjuk gempalnya yang bergerak pelan.
Mata Dinni beralih pada catatan penting yang tertera dibagian paling bawah. Di sana tertulis beberapa peringatan bagi Dinni sebagai pantangan selama bekerja di sana.
1. Tidak menceritakan keadaan di Puri Ardhana kepada siapa saja.
2. Menutup mulut dan mata pada setiap apa yang terjadi di lingkungan Puri Ardhana.
3. Bersedia tunduk dan patuh pada setiap perintah yang mungkin sedikit beresiko.
4. Diwajibkan untuk menjaga nama baik keluarga Ardhana di mana saja dan kapan saja.
JIKA PERINGATAN INI DI LANGGAR, AKAN ADA SANKSI SEBERAT-BERATNYA YANG BAHKAN BISA MEMBUAT ANDA TIDAK BISA LAGI HIDUP DI NEGARA INI.
Dinni bergidik ngeri. Tiba-tiba saja hawa dingin terasa menyergap kuduknya. Perasaannya mulai terasa tidak enak. Dinni kembali menatap nominal gaji yang akan diterimanya, kemudian beralih menatap kalimat 'ancaman' yang sudah membuat hatinya gelisah. Tiba-tiba jumlah angka yang fantastis itu menjadi tidakmenarik lagi. Dinni mulai merasa khawatir dengan perjanjian kontrak kerja yang tidak biasa itu.
“Hah... memangnya ada apa sih, di rumah itu? Apa jangan-jangan mereka itu....”
Dinni mulai menerawang. Berbagai pikiran gila dan aneh tentang keluarga Ardhana silih berganti terbayang di benaknya. Mulai dari bayangan bahwa keluarga Ardhana ternyata adalah kumpulan vampir yang sudah hidup berabad-abad, atau dugaan bahwa keluarga Ardhana adalah komplotan mafia yang berbahaya. Hingga Dinni pun membayangkan bahwa keluarga Ardhana telah melakukan pesugihan dan merekrut para asisten rumah tangga sebagai tumbalnya.
“Aaaah... aku mikir apaan, sih?” Dinni menampar pipinya sendiri.
Dinni berusaha menghalau pikiran gila itu dan meyakinkan dirinya sendiri. Dia menutup bagian catatan penting itu dengan telapak tangannya dan kembali fokus pada jumlah gaji yang akan diterimanya nanti.
“Lihat gajinya, Din... Setahun kerja di sana, kamu bakalan punya modal banyak buat buka usaha. Setahun itu waktu yang sebentar. Iya... udah nggak ada lagi waktu buat mencari-cari pekerjaan yang lain. Umur kamu terus bertambah, Din... Ingat kan, kalau kamu punya target menikah di umur 25 tahun?” Dinni berucap panjang lebar pada dirinya sendiri.
“Pokoknya kamu pasti bisa!” Dinni mengacungkan tinjunya ke udara.
DUAAAAR... JEBLAAAR...
Tiba-tiba saja kilat dan petir menyambar di luar sana. Dinni sangat terkejut dan berhenti bernapas untuk sejenak. Hujan pun langsung turun dengan deras. Beberapa menit kemudian listrik tiba-tiba padam. Tanpa berkata-kata lagi, Dinni mulai merangkak dalam kegelapan naik ke tempat tidur, menarik selimutnya hingga menutupi wajah, kemudian langsung memicingkan matanya.
_
Bersambung....