Sebuah Kesepakatan
Belasan orang berpakaian necis kini berbaris rapi di lorong rumah sakit. Mereka semua bertubuh kekar dan berwajah garang. Sebagian dari mereka juga memiliki tato yang terlihat menyeramkan. Dinni bergidik ngeri ketika berjalan melewati mereka semua. Meskipun mereka mengenakan kacamata hitam, tetapi Dinni merasa semua mata itu kini menatap padanya. Dinni pun mempercepat langkahnya mengikuti Mbak Rieta yang sudah jauh di depan. Lemak di pinggulnya kini ikut bergetar seiring derap langkah kakinya. Dinni benar-benar merasa ketakutan, tapi dia harus bertanggung jawa atas kekacauan yang sudah diperbuatnya itu.
“Ayo buruan, Din!” hardik mbak Rieta.
“I-iya, Mbak.” Dinni lekas menyusul dengan berlari-lari kecil.
Dinni menelan ludah ketika mbak Rieta membuka pintu itu. Jemari gendutnya kini saling berpilin. Dia benar-benar takut masuk ke dalam sana. Dia takut bertemu dengan sosok Reyhan yang pasti akan sangat murka padanya. Dinni merasa sekujur tubuhnya begitu dingin, tapi ujung jarinya kini basah karena keringat.
“Ayo buruan masuk!” perintah mbak Rieta.
Dinni melangkah ragu. Dia berjalan dengan wajah tertunduk. Keringat dingin terasa mengalir di punggungnya. Napasnya kini tertahan. Dinni benar-benar ketakutan sekali. Tapi, dia harus bertanggung jawab atas aksi gilanya yang membuat majikannya itu ambruk tak sadarkan diri.
“Mbak Rieta, keluar sana!” suara Reyhan terdengar lirih.
“B-baik.” Mbak Rieta pun pergi diikuti oleh sorot mata Dinni yang seakan memintanya untuk tetap tinggal di sana.
Hening.
Suasana berubah menjadi sunyi. Dinni sekarang bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. “Ya ampun... kaki aku udah kesemutan lagi. Aku kan, nggak bisa berdiri lama-lama.” jerit Dinni dalam hatinya.
Sosok Reyhan kini menatapnya tajam. Wajahnya masih terlihat pucat, tetapi itu tidak mengurangi ketampanannya. Dia menatap Dinni dari ujung kaki hingga kepala berulang-ulang. Pemuda arogan itu kini mencabut selang infus di lengannya dengan kasar, kemudian melangkah pelan mendekati Dinni yang kini semakin ketakutan.
“Siapa nama kamu, ha?” bentak Reyhan.
“D-Din—Dinni, Pak,” jawab Dinni terbata.
“Saya bukan bapak kamu.”
“M-maaf, Tuan.” Dinni meralat ucapannya.
Reyhan menatap gusar. “Apa kamu pikir ini jaman Majapahit? Apa kamu pikir ini drama kolosal. Tuan...?”
Dinni hanya menunduk dan menjawab dalam hatinya. “Terus aku mesti panggil apa coba? Nanti kalau aku panggil, Mas... salah lagi. Nggak mungkin kan, aku manggil sayang?Kita kan, harus saling mengenal dulu sebelum sampai ke tahap itu.” Dinni masih sempat-sempatnya ber-halu-ria.
“Kamu sadar apa yang udah kamu lakukan ke saya?” tanya Reyhan.
Dinni menggeleng dengan wajah sok polos. Jujur dia pribadi menganggap kejadian itu biasa saja. Semua hanya karena sikap Reyhan yang terlalu berlebihan menurut Dinni.
“Gara-gara kamu saya terpaksa membatalkan pertemuan penting dengan Investor dari luar negeri. Gara-gara kamu saham perusahaan saya jadi turun 1,27 persen. Gara-gara kamu kondisi psikis saya jadi terganggu. kamu tahu itu, ha...!?” bentak Reyhan dengan wajah memerah menahan emosi.
Dinni tertunduk lemas. Dia tidak menyangka bahwa perbuatannya telah menyebabkan kerugian sebanyak itu.
“M-maafkan saya,” ucapnya lirih.
Reyhan tersenyum sinis. “Maaf kamu bilang? apa kamu pikir semudah itu... kamu harus bertanggung jawab atas semua itu.”
“B-bertanggung jawab?” Dinni menelan ludah.
“Kamu harus mengganti rugi atau kamu akan saya laporkan ke polisi.”
Dinni terkejut. Untuk sesaat dia bahkan merasakan nyawanya hampir melayang meninggalkan raga. “G-ganti rugi?”
“Iya... kamu harus mengganti kerugian perusahaan saya. Kalau kamu nggak bisa menggantinya, saya akan jebloskan kamu ke penjara.”
Duaaaarrrrr...
Sambaran petir diluar sana membuat suasana kian terasa mencekam. Reyhan mengapit sebatang rokok di jarinya, membakarnya dengan sorot mata yang masih menatap Dinni, lalu mulai menghisapnya.
Dinni tertegun. “S-saya bahkan baru mulai bekerja hari ini... saya nggak punya uang sepeserpun dan saya juga nggak sengaja berbuat seperti itu.” setiap perkataan Dinni diiringi oleh air mata yang menetes pelan.
“Kalau kamu nggak mau ganti rugi... silahkan saja sewa pengacara. Tapi asal kamu tahu, belum ada satu pun pengacara yang berhasil mengalahkan pengacara keluarga Ardhana.” Reyhan menghembuskan asap rokoknya sambil tersenyum angkuh.
“S-saya mohon maafkan, saya.” Dinni tiba-tiba saja menjatuhan lututnya.
Reyhan menautkan alisnya. Dia cukup terkejut karena gadis itu tiba-tiba saja berlutut dengan air mata yang kini mengalir semakin deras.
“Maafkan saya... saya benar-benar minta maaf. Saya sama sekali tidak mempunyai maksud untuk mencelakai anda ataupun membuat perusahaan anda merugi. Saya benar-benar minta maaf.” Suara Dinni terdengar serak.
Reyhan mematikan puntung rokoknya. Dia mendekati Dinni, kemudian ikut berjongkok di hadapannya. Sorot matanya kini melembut. Kedipan matanya bahkan terlihat iba. Dinni pun menatapnya penuh harap. Gadis itu terus mengucap maaf berulang-ulang. Tangan Reyhan pun terangkat dan menyentuh pundaknya pelan.
“Maafkan saya... saya mohon!” pinta Dinni.
Reyhan tersenyum lembut, tapi seketika wajah itu langsung berubah garang. “Sampai ketemu di persidangan,” bisiknya pelan.
Kedua pupil mata Dinni tersentak mendengar bisikan itu. Sementara, Reyhan tersenyum licik sambil menarik wajahnya. “Sekarang keluar dari sini! saya muak ngelihat wajah kamu,” ucapnya.
Dinni tersenyum getir. Dia pun bangun dengan jemari mengepal kuat. Ditatapnya sosok pria berhati batu yang kini membelakanginya itu. Tanpa berpikir panjang Dinni melepas salah satu sepatunya, kemudian menimpuk punggung Reyhan dengan sepatu itu.
“K-kamu...!” Reyhan berbalik dengan mata setajam anak panah.
“Apa...!? dasar manusia nggak punya hati. Percuma punya banyak harta, berwajah tampan, tapi nggak punya simpati sama sekali. Benar-benar manusia sampah.” Dinni meluapkan kekesalannya.
“S-sampah...?” Reyhan terlihat terkejut.
“Iya... kamu itu nggak lebih dari sekedar sampah.”
“K-kamu? kenapa kamu bicara santai dengan saya, ha!” bentak Reyhan.
Dinni berkacak pinggang. “Emangnya kenapa, ha? Toh kita seumuran... belagu amat. Jabatan dan harta hasil nepotisme aja bangga,” ledek Dinni.
Reyhan mulai merasa gerah. Dia bahkan melepaskan satu kancing kemejanya. “Apa perlu saya menambahkan pasal tindakan kekerasan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik dalam tuntutan saya?”
Dinni terkesiap. Dia menjadi gagap dan kesulitan untuk melawan.
“Kamu nggak tahu siapa saya, ha!? Saya bahkan bisa ngehancurin kehidupan kamu dan keluarga kamu.” Reyhan menekankan ujung kalimatnya.
Dinni terdiam. Bayangan sang ibu langsung terlintas diingatannya. Kepalan tangannya pun mengendur dan berakhir lunglai. Matanya yang tadi melotot juga berubah sayu. Dinni seakan kehilangan taringnya. Reyhan pun tersenyum puas melihat hal itu.
“Jadi persiapkan diri kamu baik-baik... karena kehidupan kamu setelah ini nggak akan mudah lagi.” Reyhan melanjutkan kalimatnya.
Dinni terhenyak, dia menatap wajah itu dengan d**a bergemuruh. Dinni pun mengalihkan pandangannya karena enggan menatap wajah yang penuh aura kesombongan itu. Tapi kemudian, matanya menangkap sesuatu yang ganjil di langit-langit ruangan itu.
“Kenapa kamu diam? apa kamu udah sadar posisi kamu sekarang?” tanya Reyhan.
Dinni tidak menjawab, tapi kini telunjuknya terangkat ke atas langit-langit. Reyhan pun menatap heran, kemudian dia melayangkan pandangannya ke arah telunjuk Dinni.
“AAAA....!”
Pekikan histeris kembali terdengar. Reyhan segera bersembunyi dibalik tubuh Dinni yang gempal. Semantara, Dinni masih terpaku menatap seekor cicak yang menempel di langit-langit itu.
“B-bawa saya keluar dari sini... bawa saya keluar dari sini.” Reyhan berucap dengan suara bergetar.
Dinni mendorong Reyhan untuk menjauh darinya. “Kenapa anda nyuruh-nyuruh saya? kan, saya udah dipecat,” ucapnya.
Reyhan yang kini ketakutan terlihat kebingungan. “Pokoknya bawa saya keluar atau singkirkan mahluk itu dari sana.”
Dinni menghela napas sebentar, kemudian dia memungut sepatunya yang tadi digunakan untuk melempar Reyhan.
“K-kamu mau apa?” tanya Reyhan.
Dinni tersenyum, kemudian melemparkan sepatu itu ke tempat cicak itu menempel.
“AAAA...!!!”
Teriakan maha dahsyat itu pun membuat semua pengawal yang berdiri di luar ruangan bergegas datang. Mereka berlarian menuju kamar Reyhan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dinni pun langsung mengunci pintu itu tepat sebelum salah seorang dari mereka meraih gagang pintu itu.
“A-apa yang kamu lakukan, ha? kenapa kamu mengunci pintu itu?” hardik Reyhan.
Dinni hanya tersenyum. Hal itu pun membuat Reyhan kian panik. Lebih-lebih saat dia menyadari bahwa mahluk mengerikan itu kini sudah menggeliat-geliat di lantai dengan posisi terbalik.
“K-kamu... kamu sengaja ya!” napas Reyhan kini memburu.
“Well... yang sebelumnya itu saya nggak sengaja. Tapi yang ini... iya saya sengaja.” Dinni menyeringai dengan ekspresi menakut-nakuti.
“A-apa mau kamu, ha!?” bentak Reyhan.
Dinni menghela napas sebentar. “Saya mau laporan itu dibatalkan.”
Reyhan melotot. “Apa? kamu mau saya ngebatalin gugatan saya?”
“Anda nggak mau?”
Reyhan terdiam dengan butiran peluh yang sudah membanjiri sekujur tubuhnya. Dinni pun menyinsing lengan bajunya, kemudian menangkap cicak berukuran super mini itu dengan tangan kosong.
“Hap....” Dinni tersenyum begitu berhasil menangkap cicak itu.
Dinni kembali berbalik, tetapi Reyhan sudah tidak ada di tempatnya. Pemuda itu ternyata sudah meringkuk di pojok ruangan. Suara helaan napasnya terdengar sesak. Dia sangat ketakutan melihat Dinni memainkan hewan itu di tangannya.
“Oke... oke...! saya bakalan ngebatalin tuntutan itu,” ucapnya kamudian.
Dinni tersenyum penuh arti. “Tapi saya juga nggak mau dipecat,” ucapnya dengan wajah sok sedih.
Reyhan berusaha menahan emosinya. Kedua gerahamnya kini mengatup kuat. Dia jelas tidak menginginkan hal itu, tapi dia juga tidak mempunyai pilihan. Apalagi saat ini Dinni mengayun-ayunkan cicak di tangannya seperti hendak melemparkan ke arahnya.
“Oke... fine.”Akhirnya kata itu terucap. “Saya nggak akan pecat kamu... dan saya juga nggak akan laporin kamu ke polisi.”
_
Bersambung...