Aku menangis untuk hal sepele. Sungguh memalukan, tetapi ini mungkin efek dari kehamilanku. Usia kandunganku masih muda dan emosiku naik turun dan lagi-lagi Mas Galih tidak mau mengerti. Cemburu? Di mana dia saat dia menduakanku dan tidur dengan pembantu busuk menggunakan obat? Apa dia lupa? Aku yang terlalu sabar atau harusnya sejak awal aku tidak memaafkannya?
Aku tidak melihatnya di kamar setelah aku selesai mandi. Acara mencari kado tidak jadi aku lakukan. Biarlah besok, saat jam istirahat aku pergi sebentar ke mall yang tidak jauh dari kantor.
Tok! Tok!
"Kikan."
"Ya, Ma." Suara ibu mertuaku di balik pintu kamar yang masih aku tutup.
"Masuk saja, Ma." Kenop pintu bergerak, kemudian daun pintu ikut bergerak terbuka. Ibu mertuaku tersenyum hangat.
"Ini susunya."
"Makasih, Ma. Padahal Kikan bisa bikin sendiri karena Kikan udah gak bedrest." Aku meraih gelas s**u ibu hamil dari tangan mertuaku.
"Gak papa, menantu Mama pasti capek. Sini, biar Mama pijat kakinya!"
"Jangan, Ma, gak papa. Kikan gak capek, kok. Justru Kikan semangat. Hari ini juga Kikan bisa makan dengan aman tanpa muntah. Maksudnya muntahnya bisa Kikan tahan." Ibu mertuaku nampak menghela napas.
"Syukurlah, Nak. Ya sudah, Mama keluar lagi ya." Aku mengangguk.
"Ma, Mas Galih ke mana?"
"Keluar, gak tahu ke mana."
"Pakai mobil atau motor?"
"Kayaknya jalan kaki. Mama sempat ngintip. Mungkin duduk di pos sama bapak-bapak lain." Aku mengangguk paham.
Aku sudah mengantuk. s**u di gelas sudah habis. Drama Korea favoritku juga sudah selesai. Namun, Mas Galih belum masuk ke kamar juga. Lampu depan sudah mati, tanpa ibu mertuaku sudah tidur. Aku menekan kontak Mas Galih, tapi panggilanku terhalang bunyi sibuk. Aku putuskan untuk mengecek Mas Galih di depan. Kebetulan pos satpam di depan blok tidak jauh dari rumah. Aku bisa melihat hanya dengan membuka pintu pagar sedikit saja.
Sayang sekali tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu di mana Mas Galih?
Mas, kamu di mana? Mau pulang sekarang atau aku kunci pagar ini!
Send
Aku harap ia membaca pesanku, tetapi sampai aku kembali ke kamar, pesanku hanya ceklis satu saja. Rupanya suamiku sedang sibuk dan tidak tahu sibuk dengan siapa. Besok aku harus mencari tahu. Bisa saja setelah Esti, dia punya gebetan lain di kantor.
Aku sudah sangat mengantuk dan akhirnya tidur. Rasanya mata ini amat berat saat bunyi alarm menyadarkan alam bawah sadarku. Aku meraih jam weker di atas nakas. Sudah jam lima pagi. Aku menoleh untuk melihat Mas Galih. Ternyata ia baru keluar dari kamar mandi.
"Tumben pagi sekali bangunnya, Mas?" tanyaku dengan suara serak.
"Aku ada urusan ke Bandung. Naik kereta pagi. Gak lama, besok sudah pulang. Aku harap kamu gak aneh-aneh di sini!" Ucapannya membuatku merasa mual. Terlalu posesif juga rasanya tidak nyaman bukan?
"Maksudnya kamu cemburu dengan Pak Batara?" Mas Galih tidak menyahut. Ia sibuk memakai kemeja kerjanya.
"Aku ikut kamu boleh?" gerakannya berhenti.
"Memang kamu boleh ijin lagi? Kalau boleh, ayo, ikut! Aku juga was-was ninggalin kamu di sini!" Aku kembali tertawa. Niatnya mau ngetes saja. Berarti suamiku jujur, bahwa ia pergi ke Bandung. Jika ia keberatan aku ikut, barulah aku curiga lagi. Semoga saja selamanya Mas Galih seperti ini.
"Kamu begini karena belum dapat jatah ranjang dari aku?" tanyaku sambil bergerak turun dari ranjang.
"Sudah tahu masih tanya! Kamu bermanis-manis dengan duda, sedangkan dengan suami kamu sendiri, kamu gak mau disentuh. Kesannya jijik banget! Ah, sudahlah, aku mau jalan sekarang!" Mas Galih hanya mencium pipi ini cepat, lalu bergegas keluar dari kamar. Apa aku keterlaluan padanya? Ia sudah berubah dan sudah minta maaf, haruskah aku memberinya jatah saja saat ia pulang nanti? Tapi aku masih teringat Esti dan setiap mengingat wanita itu, hatiku sakit sekali.
"Esti, Mama mau minta tolong, tapi jangan bilang-bilang Galih ya." Aku yang tengah menyesap teh hangat, langsung menoleh pada mertuaku.
"Ada apa, Ma?" tanyaku penasaran karena raut wajah ibu mertuaku sangat serius.
"Begini, Jeri lagi sakit. Apa dia boleh ikut tinggal di sini sama Mama? Mama udah ijin Galih, katanya boleh."
"Loh, kenapa Jeri gak di rumah saja? Bukannya memang Jeri tinggal berdua Mama saja?"
"Jeri sakit, Sayang. Mama barusan bilang'kan? Tapi Mama gak boleh tinggalin kamu sendirian di rumah. Galih sangat protektif sama istrinya dan calon buah hatinya." Aku menghela napas. Ipar wanita saja aku risih bila harus tinggal bersama, ini ipar lelaki pula.
"Kikan gak papa, Ma. Kikan bisa sendiri. Mama kalau mau urus Jeri, urus saja dulu, Kikan aman sendirian kok!"
"Kenapa? Galih bilang kamu pasti setuju. Sekarang kenapa gak setuju?" suara ibu mertuaku sudah mulai berubah tidak senang. Inilah yang aku takutkan bila tinggal satu atap dengan mertua, pasti akan banyak terjadi gesekan-gesekan.
"Kikan bukan gak setuju, tapi rumah ini gak terlalu besar, Ma. Kamarnya hanya tiga dan Mas Galih juga-"
"Jadi kamu sebenarnya gak mau Mama di sini juga? Padahal Mama niatnya baik mau urus menantu dan cucu Mama. Makan kamu saja Mama sangat perhatikan. s**u dan segala jenis sayuran Mama masakin kamu, tapi Mama gak pernah minta dibayar tuh! Masa sama adik ipar sendiri kamu keberatan,padahal dia lagi sakit."
Suara motor berhenti di depan rumah. Aku dan ibu mertuaku melihat dari jendela. Untuk apa ijin jika yang dimaksud sudah di depan rumahku.
"Ya Allah, Jeri. Kamu makin pucat saja! Apa kita bawa ke dokter saja?" ibu mertuaku begitu panik.
"Ini udah dari rumah sakit, Tante. Jeri kena typus. Harusnya dirawat, tapi Jeri gak mau. Minta dirawat di rumah saja."
"Ya ampun, makasih ya Ali, udah tolongin Jeri. Bawa masuk ke kamar saja langsung." Jeri dibantu berjalan oleh temannya dan ibu mertuaku. Aku tidak bisa berkata-kata lagi dan memilih langsung berangkat dengan ojek online. Aku belum sempat dandan, meskipun sudah pakai seragam kerja. Kedatangan adik ipar ke rumahku membuatku jengah dan benar-benar tidak suka. Baru aku bisa bernapas sedikit lega tentang perselingkuhan suamiku, kini sudah ada lagi ujian lainnya. Benar-benar melelahkan!
"Halo, Mas, kamu di mana?"
"Aku di jalan, kenapa?"
"Mas, Jeri mau tinggal di rumahku. Aku gak mau, ah, iseng ada ipar tinggal di rumah. Aku jadi gak bebas."
"Mama di sana buat nemenin kamu. Kalau Mama balik ke rumah sama Jeri, yang nungguin kamu siapa?"
"Aku bisa sendiri."
"Mana bisa. Udah, hal yang begini jangan dibesar-besarkan. Ingat, kamu lagi hamil, Kikan! Jangan sampai anak kita cacat karena punya ibu yang bawaannya marah-marah dan kesal terus!"
"Jaga bicara kamu, Mas! Kenapa bawa-bawa kata cacat? Astaghfirullah, cepat kamu pulang, aku pokoknya gak mau Jeri lama-lama di rumahku. Suka atau tidak, itu rumahku, bukan rumah kamu, Mas!"