Mencari Tahu Kabar Esti

1147 Kata
"Oh, yang itu kue Robi, Sayang. Dia baru saja syukuran tujuh bulan istrinya dan bawain kue dan nasi kotak. Aku benar-benar lupa karena buru-buru tadi. Aku gak mau terlambat, Sayang. Maafin ya." Aku tersenyum kaku. Susah sekali untuk percaya Mas Galih disaat ia sudah pernah membuatku sangat patah hati. "Oh, sayang sekali kamu gak bawain, Mas. Padahal kalau nasi kotak syukuran gitu, pasti rasanya enak. Mungkin karena didoakan." Mas Galih tersenyum. Ia duduk sambil memijat kaki ini. "Nanti kita mau syukuran empat bulan atau mau tujuh bulan?" tanyanya. "Entahlah, Mas, masih awal sekali. Mungkin nanti saja tujuh bulan." Suamiku tersenyum sambil mengangguk. "Aku ke dapur dulu ya, lapar nih, mau makan." Aku mengangguk. Yang perlu aku lakukan saat ini adalah berusaha memercayai suamiku, meskipun belum sepenuhnya. Sambil terus mencari informasi apakah di luaran sana suamiku masih menjalin hubungan dengan Esti. Ngomong-ngomong Esti, aku lupa untuk mengecek bagaimana kabar pelakor itu. Aku menghubungi Bu Endah, ART lamaku yang mengenalkan dan membawa Esti bekerja untukku. "Halo, Bu Endah." "Halo, Non Kikan ya. Ya Allah, apa kabar, Non?" "Sehat, Bu. Bu Endah gimana kabarnya?" "Alhamdulillah saya juga sehat, Bu. Bapak gimana, Non?" "Bapak juga sehat. Bu Endah sekarang kerja di mana?" aku tentu saja harus berbasa-basi dahulu. Tidak bis langsung to the point menanyakan kabar Esti. "Saya masih di rumah aja, Non. Suami yang kerja jadi sopir sekarang. Antar-antar sayuran ke pasar. Oh, iya, Non, saya mau minta maaf soal Esti. Saya udah dengar kabarnya." "Bu Endah sudah tahu?" "Iya, saya tahu, Non. Esti ketahuan mencuri perhiasan Non Kikan. Ya ampun, saya beneran malu, Non. Padahal Esti itu setahu saya baik anaknya. Selalu kirim gaji juga untuk orang tuanya di kampung." Oh, jadi kabar diembuskan adalah Esti mencuri. Ya, tentu saja ia pencuri yang mencuri suamiku. "Oh, itu, ya, Bu. Sudah saya pecat." "Iya, Non, mohon maafkan saya ya, Non." "Bukan salah Bu Endah. Oh, iya, bapaknya sakit ya dan Esti ada pulang kampung?" "Iya, benar, bapaknya Esti sakit. Sempat koma tiga hari, terus sadar lagi. Esti udah gak di kampung lagi. Udah kerja lagi katanya di rumah orang kaya di Lampung." Mulutku membentuk huruf O. "Oh, jadi sudah ke Lampung, Bu?" "Iya, Non, udah kerja di Lampung." Aku menghela napas panjang. Rasanya lega sekali. "Ya sudah, makasih banyak ya, Bu. Saya ada sedikit rejeki untuk Bu Endah buat jajan. Jangan ditolak." "Oh, iya, aduh, gak usah, Non. Saya malu sama kelakuan Esti." "Gak papa, Bu. Yang terjadi gak perlu disesali. Yang penting Esti udah gak kerja di saya dan udah gak di Jakarta." "Iya, Non, begitu yang saya tahu karena adiknya Esti teman anak saya dan dia ikut mengantar Esti ke stasiun bus." "Baik, Bu, terima kasih informasinya." Aku pun menutup panggilan. Setelah itu aku kirimkan uang dua ratus ribu pada Bu Endah sebagai ucapan terima kasih atas informasi yang ia berikan padaku. Kini aku bisa menata hidupku kembali bersama Mas Galih. Suamiku benar-benar khilaf. Buktinya ia sekarang sudah berubah dan sayang perhatian padaku. Malam hari, setelah makan malam. Mas Galih sibuk di depan laptop, sedangkan aku asik menonton televisi. Drama Korea tema kerajaan adalah favoritku saat ini. Seru, lucu, penuh intrik, dan pastinya romantis. Malam ini aku lebih banyak senyum setelah mendapatkan kabar tentang Esti. "Kamu lagi senang sepertinya, Sayang. Apa tidak mau cerita padaku, ada apa?" tanya Mas Galih yang saat ini baru saja menutup laptopnya. "Aku lagi senang aja, Mas. Namanya juga ibu hamil, wajar kalau mood-nya naik turun. Kalau badanku enakan, aku masuk kerja besok ya, Mas?" "Yakin?" aku mengangguk. Terlalu lama sudah aku cuti dan aku pun mulai bosan karena hanya berbaring nonton televisi saja. "Oke, tapi tidak terima lemburan ya." Aku pun mengangguk setuju. Keesokan harinya, aku diantar Mas Galih berangkat ke kantor seperti biasa, sedangkan mama mertuaku tinggal di rumah. Sepanjang jalan, Mas Galih mengusap perutku penuh kasih sayang. Aku tersenyum dengan menatap penuh harap tentang masa depan rumah tangga kami. "Ingat, jangan lembur hari ini!" "Baik, Mas. Aku berangkat ya." Aku mencium punggung tangan suamiku. "Asam folat udah?" tanyanya. Aku mengangguk. "s**u ibu hamil kemasan kotak juga sudah, Mas. Makasih ya." Aku memberikan kecupan di pipinya setelah satu bulan lebih aku sama sekali tidak mau menyentuhnya. Mas Galih pun nampak begitu senang. Aku turun dari mobil dan langsung disambut oleh satpam yang ramah seperti biasa. Hari pertama setelah sekian lama libur dan hari ini aku merasakan semangat yang luar biasa. Kabar kehamilanku sampai ke semua orang yang ada di kantor, terutama tim ku. "Permisi, Bu." Aku menoleh pada Rubi yang tersenyum padaku. "Ya, ada apa, Neng?" "Ini, Bu, ada titipan dari Pak Batara." Aku mengerutkan kening. "Apa ini?" "Gak tahu, Bu. Katanya suruh kasih Ibu karena Ibu lagi hamil." Aku mengerjap beberapa kali. Pertemuan kami saat meeting tadi pagi berjalan seperti biasa. Tidak ada yang aneh sama sekali. "Oh, oke, makasih, Rubi. Saya baru ingat kemarin sempat persen sesuatu sama Pak Batara." Aku tersenyum penuh arti. Aku harap tidak ada gosip apapun setelah ini. Tahu sendiri dunia perkantoran yang kerap tidak lepas dari gosip. Aku membuka bungkusan itu. Aku tercengang, lalu sedetik kemudian aku tersenyum. Bahkan mataku berkaca-kaca karena terharu. Isinya adalah nasi kuning apa tumpeng mini dan ada juga potongan cake ulang tahun. Benar-benar ini yang aku impikan tadi malam. Aku langsung menelepon bosku itu. "Halo, Pak. Makasih bungkusannya. Tahu saja saya lagi pengen makan nasi dan mungkin dan cake. Makasih ya, Pak." "Sama-sama, Kikan. Itu anakku ulang tahun. Dia suruh aku bawa buat makan di kantor. Udah aku bawa, rupanya bibik bawain lebih. Jadi aku kasih kamu aja. Kalau aku juga yang makan, lemak di perutku ini pasti akan semakin tebal dan anak perawan incaranku akan terbang ketakutan melihat lemakku." "Ha ha ha ... nge-gym dong, Pak." "Gak ah, kalau nge-gym nanti bukannya dapat perawan, malah nyasar dapat bujangan. Jijay deh!" Aku terbahak. "Ya ampun, Pak Batara lucu sekali. Makasih udah bikin saya ketawa, Pak. Makasih hadiahnya. Sampai kan salam saya untuk si Cantik Maura." "Makasih juga Kikan." Aku menutup memutus percakapan kami untuk mengecek jam tanganku. Sudah jam lima sore dan waktunya aku bersiap karena Mas Galih akan menjemputku. Benar saja, mobil suamiku sudah di depan. Aku melambaikan tangan padanya diiringi senyuman lebar. "Mas, mampir ke mall sebentar ya." "Mau apa, Sayang? Kamu gak cape?" "Aku mau beli kado untuk anak Pak Batara. Si Cantik Maura ulang tahun keempat. Aku dikasih nasi kuning dan juga kue. Aku senang banget dan Pak Batara baik banget. Tahu kalau aku lagi pengen makan kue dan nasi kuning." "Yang dikasih kue, kamu aja?" suaranya berubah dingin. "Iya, Mas, aku aja yang dikasih karena aku lagi hamil." "Kalau gitu gak perlu kamu belikan kado anak bos kamu itu. Nanti duda iu besar kepala. Cukup aku yang khilaf, Kikan, kamu jangan ikut-ikutan!" "Hah, apaan sih, Mas? Gak lucu marah kamu itu! Jelas beda dong, aku sama kamu! Kamu sama Pak Batara juga beda!" "Oh, kamu bandingin suami kamu sama bos duda kamu itu?! Keterlaluan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN