Galih
"Kenapa, Bro? Muka lu asem banget," tanya Felix, koordinator divisi yang mejanya bersebelahan denganku.
"Bini gue lembur terus. Gue pulang, dia belum pulang, gue berangkat, dia masih tidur." Felix tertawa.
"Mumpung belum punya anak, biarin aja bini lu ngejar karir. Nanti kalau udah ada anak, baru suruh diem di rumah." Aku menghela napas.
"Kerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Bibik yang lama resign. Belum anter yang baru."
"Udahlah, yang gitu ngapain lu ributin sih. Coba ini dah." Aku mengernyit saat melihat plastik bening berisi dua butir tablet yang diletakkan Felix di atas mejaku.
"Apa ini?" tanyaku heran.
"Gue gak lagi sakit, Bro."
"Ini obat kuat. Gue dapat dari temen. Gue udh nyoba sama bini gue dan hasilnya bini gue minta terus. Gue bisa tahan lama. Biasanya paling lama lima belas menit."
"Lah, terus, kalau minum ini jadi berapa lama?"
"Jadi satu jam, Galih. Meskipun lu udah dapat, tapi jagoan lu masih gagah. Bikin bini lu tambah cinta. Gue yakin. Nih, bawa dan coba nanti malam sama bini lu." Dengan tidak begitu yakin, aku menerima obat pemberian Felix. Obat itu aku masukkan ke dalam saku kecil yang ada di dalam tas ranselku.
Jam lima sore, aku sudah tiba di rumah. Namun, pintu pagar tidak dikunci dan ada wanita yang tidak aku kenal, tengah menyiram tanaman istriku.
"Heh, Mbak siapa?" tanyaku yang turun dari mobil dengan wajah tak suka. Wanita itu meletakkan selang air, lalu mematikan keran airnya.
"Maaf, Pak, saya Esti. Tetangga Bik Endah yang akan bekerja di sini," jawabnya sopan. Ia mendorong pagar sambil menunduk.
"Mana Bu Endah?"
"Baru saja pulang lagi ke kampung, Pak. Saya sudah hapal wajah Bapak karena ada di pigura foto besar di ruang tamu." Aku mengangguk. Lalu aku pun memasukkan mobil ke dalam garasi. Esti kembali melanjutkan menyapu halaman setelah ia menutup pintu pagar. Aku melirik pembantu baru yang wajahnya biasa saja dan tidak seksi seperti pembantu teman-teman kerjaku. Dapat yang tertutup dan gak seksi.
"Buatkan saya teh tanpa gula."
"Baik, Pak." Aku naik ke kamarku yang berada di lantai dua, sedangkan Esti berjalan menuju dapur. Sesampainya di kamar, aku mengecek ponsel. Niat hati mau memastikan soal pembantu baru pada istriku, tetapi sudah ada lima panggilan tidak terjawab dari Kikan dan juga sebuah pesan darinya.
"Mas, kamu lagi di jalan balik ya? Aku mau kasih tahu, kalau tadi siang Bu Endah udah bawain ART baru. Namanya Esti. Umurnya dua puluh tiga tahun. Bapaknya lagi sakit dan butuh banyak uang untuk berobat karena mereka gak punya BPJS.
Hari ini aku pulang terlambat lagi. Mungkin jam sepuluh. Kalau kamu udah ngantuk, tidur saja duluan ya Sayang. Love you
Begitulah pesan dari Kikan.
Pulang malam lagi? Aku gak mau tahu, kamu harus pulang sore hari ini. Jam delapan sudah harus sampai rumah. Tadi aku udah ketemu Esti. Kamu gak cerita apa-apa. Bikin aku kaget jadinya. Aku tunggu kamu pulang jam delapan.
Send
Sesekali aku harus tegas pada Kikan yang kesibukannya mengalahkan kesibukanku. Waktu kami berdua sebagai pasangan suami istri, jarang banget di dapat sejak Kikan mendapatkan promosi menjadi orang nomor dua di divisi keuangan.
Istriku
Oke, Sayang. Aku pulang sore. Tapi gak janji jam delapan. Mungkin jam sembilan. Tungguin ya.
Aku tidak membalas pesan Kikan. Aku memutuskan mandi karena tubuh ini terasa lengket. Selesai mandi dan berpakaian, aku turun ke dapur untuk mengambil teh pesananku tadi.
"Pak, Pak, maaf, ini saya kekunci dari dalam!" Seruan dari kamar mandi belakang membuatku terkejut. Ini sudah ketiga kalinya tragedi orang terkunci di sana. Pertama kali Bik Endah dan kedua serta ketiga, adalah mamaku.
"Pak, tolong, Pak! Saya kekunci!" Seru Esti sambil mengetuk pintu kamar mandi berkali-kali. Aku pun bergegas membantu membukakan pintu.
"Eh!" Aku terkejut saat pintu terbuka dan Esti hanya mengenakan handuk saja. Handuknya memang sedikit panjang dari yang ukuran biasa. Panjang handuk sampai menutup betisnya mungkin, tetapi bagian atasnya tentu saja terbuka. Otakku langsung panas.
"Pak, maaf, saya gak bermaksud. Saya mau ke kamar dulu. Makasih udah tolongin saya." Esti bergegas masuk ke kamarnya dengan berlari, sedangkan aku mendadak kekurangan oksigen karena melihat hal yang tidak seharusnya.
Aku memilih tidak keluar kamar sampai nanti Kikan pulang. Aku juga tidak makan malam, padahal Esti sudah memanggilku. Ada Snack di kulkas kecil yang ada di dalam kamarku. Sehingga aku makan malam dengan itu saja.
Jam delapan terlewat begitu saja. Aku menunggu Kikan dengan tak sabar. Apalagi tadi aku sudah terlanjur minum obat yang diberikan Felix. Aku mulai gelisah dan tidak nyaman.
Suara mobil berhenti di depan rumah. Aku melihat dari jendela kamar dan di sana Kikan baru pulang dengan taksi online. Tidak lama kemudian, aku melihat Esti yang setengah berlari untuk membuka kunci pagar. Lalu menutup dan menguncinya kembali setelah Kikan masuk. Mereka bercakap-cakap sebentar, lalu Kikan berjalan masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
"Kamu telat setengah jam," kataku pada Kikan yang baru sampai.
"Jalanan macet banget, Mas. Aku juga ada lemburan. Promosi naik jabatan ini bikin aku terseok-seok. Maafkan aku ya, Sayang, aku mandi dulu!"
"Gak usah mandi!" Aku menahan tangannya, lalu sedikit kutarik kerasa agar ia berada dalam dekapanku.
"Mas, aku kotor banget ini. Aku juga baru dari Ancol siang tadi. Survei lahan apartemen yang akan dibangun di sana. Aku mandi dulu ya. Sebentar aja!" Kikan bergerak cepat masuk kamar mandi. Aku berinisiatif menyusulnya.
"Kikan, buka pintunya!"
"Mau ngapain, Mas? Tunggu di luar aja. Aku lagi boker!" Aku meremas rambut. Gairahku sudah di atas kepala dan otak ini sudah memaksa agar aku melepaskan yang saat ini sangat menyiksa.
Kikan keluar dengan tubuh segar dan aku langsung menyergapnya. Aku sudah tidak tahan dan langsung menggendongnya menuju ranjang.
"Kamu kenapa sih?" tanya Kikan terheran-heran.
"Aku kangen kamu, Sayang," bisikku mesra.
"Mas, tapi aku cape banget hari ini. Besok aja ya atau nanti tengah malam aja. Aku biar istirahat dulu ya. Aku janji aku gak akan kesal saat kamu bangunkan nanti, tapi tidak sekarang ya." Aku terdiam mendengar penolakan istriku, tetapi entah kenapa bibir ini rasanya sangat kelu untuk memprotes sikap penolakannya. Kikan begitu lelah dan saat ini ia malah sudah tidur. Otakku panas karena apa yang harusnya aku salurkan, belum juga terealisasi.
Akhirnya aku turun untuk pergi ke dapur. Pintu kamar Esti setengah terbuka, rupanya wanita itu sedang berbaring miring menghadap tembok. Aku beranikan diri mendorong pintu kamar wanita itu, lalu menutupnya pelan.
"Bapak, mau apa?!" Suara pintu membuatnya berbalik dan sangat terkejut dengan kehadiranku di kamarnya.
"Ssstt!" Aku menutup mulutnya.
"Esti, kamu mau tolong saya? Saya janji akan kasih kamu uang. Kamu butuh uang untuk bapak kamu'kan? Saya akan berikan dan saya janji ini hanya akan terjadi sekali saja. Saya janji!"
"I-iya, tapi tolong apa, Pak?" Aku yang sudah terbakar gairah dan sudah tidak tahan lagi, menarik kepala Esti untuk mencium bibirnya.
Bersambung