Batas Kesabaran

1432 Kata
Aku pun masuk dengan menabrakkan tubuh ini pada tubuh Esti, hingga p*****r kampung itu terhuyung. "Jadi ini kamarnya?" aku menatap sekeliling kamar. Dua strip tablet kotak berwarna peach itu ada di atas nakas dan masih terbungkus. Belum digunakan. "S-sayang, k-kapan kamu sampai?" Mas Galih mendadak gugup. Aku tertawa sinis. "Siapa yang kamu panggil, Sayang? Aku atau p*****r ini?!" aku menunjuk Esti empat di keningnya. Suaraku bergetar menahan tangis, tetapi air mata ini tidak boleh aku keluarkan di depan Mas Galih. Ia akan merasa semakin besar kepala. "Sayang, aku bisa jelaskan," kata lelaki itu lagi. "Tidak perlu menjelaskan apapun, Mas. Aku sudah lihat sendiri. Jadi obat kuat lelaki itu kamu gunakan bersama Esti dan yang kemarin kamu gunakan saat bersamaku. Sampai aku tidak bisa jalan. Bedanya Esti masih bisa kerja ini itu, meskipun sudah kamu hajar dengan obat kuat. Apa punya Esti lebih rapat dibandingkan punya istri sah kamu ini? Apa karena milik Esti bau sawah, sehingga kamu senang bercocok tanam di sana dibandingkan denganku yang hanya kebagian dua Minggu sampai sebulan sekali? Ha ha ha ..." "Kikan, aku khilaf, aku minta maaf!" Mas Galih tiba-tiba bersimpuh di kakiku. Suara isakan Esti pun dapat ditangkap telingaku dengan jelas. Namun, aku tidak mau percaya dengan dua manusia tidak tahu diri ini. "Lepas, aku jijik kamu sentuh, Mas!" Aku melangkah mundur, melepaskan tangan Mas Galih yang ada di kedua kakiku. Namun, lelaki itu bergeming dan masih saja bersimpuh. "Apalagi tangan kamu baru saja mandiin Esti, ha ha ha ... gila! Apa kalian saling membersihkan daki? Apa kalian gak tahu, kalau yang kalian lakukan itu, hanya bisa membersihkan daki, bukan membersihkan dosa!" "M-maafkan saya, Bu. S-saya-" "Esti, kamu tidak pernah akan saya maafkan, malah saya sumpahin kamu sial seumur hidup kamu! Mulai sekarang, kamu bukan pembantuku lagi. Kamu, aku pecat! Sekarang kamu keluar! Keluar dari kamar ini! Biar orang-orang tahu, baru saja ada p*****r diusir istri sah!" Aku mendorong Esti keluar dari kamar. Bahkan aku mendorongnya kasar hingga ia hampir terjerembab karena kedua kakinya tersandung. "Sayang, Kikan, jangan begitu, biarkan Esti ganti baju!" Mas Galih mencoba menahan lengan Esti agar tidak keluar dari pintu kamar yang masih terbuka dan masih dijaga oleh satpam bernama Satya. "Jadi kamu lebih membela pembantu, Mas? Kamu lebih membela p*****r ini? Kalau gitu, ceraikan aku sekarang! Aku gak sudi punya suami pecundang! Ceraikan aku dan tolong segera angkat kaki dari rumah orang tuaku!" *** "Kikan, aku minta maaf. Aku khilaf. Aku gak mau menalak kamu. Kita tidak akan bercerai!" Mas Galih memohon sambil menahan tanganku yang sedang menurunkan semua bajunya dari dalam lemari. Namun, aku sama sekali tidak peduli dan terus menurunkan pakaian miliknya. "Kikan, berikan aku satu kesempatan lagi. Aku janji gak akan mengulanginya. Aku hanya khilaf!" "Lepas, Mas, aku gak mau kamu peluk! Aku jijik berada di dekat kamu!" Aku berusaha melepas pelukannya, meski susah, tetapi aku terus berusaha. "Sayang, aku minta maaf! Aku benar-benar minta maaf. Kamu pukul aku, kamu boleh tusuk aku biar kamu puas. Asalkan kita tidak berpisah. Aku hanya khilaf karena Esti terus menggodaku!" Aku meneteskan air mata. Aku cengeng bukan karena aku begitu mencintainya, tetapi karena ... "Sayang, aku minta maaf. Ini, tangan kamu, silakan pukul aku!" Tangan ini ia tuntun untuk menampar wajahnya. Kepalaku tiba-tiba berputar dan untuk detik kemudian aku tidak bisa mengingat apapun lagi. Aku terbangun saat hidung ini mencium aroma disinfektan. Kepalaku terasa berat dan juga sedikit berputar. Samar-samar aku melihat Mas Galih sedang memegang tanganku. Lekas aku melepas genggamannya, tetapi tidak bisa. Tenagaku belum sebenarnya pulih. "Sayang, kamu sudah sadar." Mas Galih tersenyum senang. Senyum yang membuatku semakin muak. "Sayang, kenapa kamu menutupi ini dariku? Kamu hamil, Sayang." Aku tidak sanggup untuk membendung air mata lagi. Maksud kedatanganku menyusulnya ke Yogyakarta memang untuk memberitahunya bahwa aku hamil. Setelah tiga tahun setengah menikah, aku akhirnya hamil juga dan aku hamil di saat aku ragu dengan Mas Galih. Suamiku terus menciumi tanganku dan juga pipinya. Aku menghindar karena masih marah dengannya. "Kasihan anakku punya ayah murahan!" Lirihku tanpa mau menatap wajahnya. Mas Galih tersenyum, lalu mengecup punggung tangan ini. "Apapun yang kamu katakan tentang aku, aku akan terima sayang. Aku hanya minta satu kesempatan lagi untukku. Aku janji akan menjaga kepercayaan kamu. Esti sudah berhenti dan ia tidak akan pernah kembali lagi di kehidupan kita." Aku hanya diam. Gamang, antara harus percaya ucapan Mas Galih, melupakan kesalahannya atau meneruskan rencana perceraianku yang pastinya akan menguras energi. Aku hamil, bukankah emosional ibu hamil harus dijaga, begitu juga mentalnya? Aku tidak ingin terjadi hal buruk pada bayiku. Bayi yang sangat aku nanti-nantikan. "Aku tidak bisa begitu saja memaafkan kamu, Mas." "Iya, Sayang, gak papa kalau kamu masih marah. Aku akan sabar. Tolong jangan ucapkan kata cerai ya. Aku benar-benar minta maaf." Mas Galih mengecup keningku. "Jangan sentuh aku, Mas! Ini hukuman untuk kamu!" "Oh, baik Sayang, aku akan menurut. Terima kasih sudah mau berubah pikiran. Aku akan menjaga kepercayaan kamu." Dua hari aku di rumah sakit. Mual muntah yang saat ini aku alami, membuatku harus mengajukan cuti lebih awal. Tidak banyak, hanya delapan hari karena aku benar-benar tidak bisa bangun dari kasur. Belum lagi muntah yang terlalu sering hingga tubuh ini begitu lemah. Mas Galih yang mengurusku dan juga ibu mertuaku yang dipanggil Mas Galih ke rumah untuk menemaniku. Ia pergi kerja seperti biasa dan pulang kerja pun seperti biasa. Tidak ada lembur atau perjalanan keluar kota. Ia selalu pulang tepat waktu dan bersikap semakin baik. Aku merasa, keputusanku untuk memaafkannya sudah benar karena aku sebenarnya ingin rumah tanggaku baik-baik saja. "Kikan, Mama buatkan bubur kacang hijau. Santannya Mama bikin sedikit saja, tetapi Mama campur s**u. Kamu mau?" aku menoleh ke arah pintu. Ibu mertua sangat perhatian padaku. "Maafkan Mama jadi capek di rumah Kikan ya, Ma. Kikan akan minta carikan pembantu untuk bantu Mama di rumah," kataku tidak enak hati. Ibu mertua menghampiriku. Duduk di ujung kaki ini. "Mama tidak apa-apa. Nanti saja punya pembantu jika kamu sudah mau lahiran. Mama dengan senang hati merawat wanita yang akan melahirkan cucu Mama. Maafkan kekhilafan Galih beberapa Minggu yang lalu. Mama yakin ia tidak sengaja melakukannya dan pasti pembantu kalian itu yang menggoda Galih. Kamu sibuk diluar sehingga kesempatan itu diambil oleh pembantu kamu. Makanya Mama gak mau kamu punya pembantu dulu. Biar Mama di sini saja. Kamu harus hamil dengan hati senang dan tenang. Oke, Sayang." Aku mengulum senyum sambil mengangguk. Sore hari, Mas Galih pulang tepat waktu. Suamiku membawa oleh-oleh buket bunga mawar merah. Selalu ada saja hadiah yang ia bawa, tetapi hatiku seolah-olah belum menerimanya begitu saja. "Buat istriku," katanya sambil mengulurkan buket bunga cantik itu. Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, Mas," ucapku. Mas Galih tersenyum, lalu mendaratkan kecupan di pipiku. "Sama-sama, Sayang. Apapun asalkan kamu bisa maafkan aku. Aku mandi dulu ya. Nanti baru aku pijat." Aku mengangguk. Mas Galih menaruh buket bunga itu di atas meja riasku. Ponsel yang tadinya selalu ia bawa ke mana-mana, sekarang sudah tidak lagi. Terhitung sudah satu bulan sejak aku memergokinya bersama Esti di hotel, sikapnya benar-benar berubah. Ponselnya bergetar, seperti ada notifikasi yang masuk. Aku meraih benda pipih itu untuk mengecek siapa yang mengirimkan pesan padanya. OB Robi Pak, kuenya ketinggalan. Saya simpankan di... Kue apa yang mau dibawakan suamiku sampai tertinggal di kantor? Aku tersenyum, suamiku benar-benar berubah. Sayang sekali aku tidak bisa membaca lanjutan pesan itu karena ponsel suamiku terkunci. Mas Galih keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar. Ia tersenyum begitu manis padaku. "Sayang, apa aku boleh ketemu dedek malam ini?" tanyanya sedikit ragu. Aku tahu maksudnya, hanya saja sakit itu masih ada di hati ini. Aku menggelengkan kepala dengan pelan. "Aku masih belum bisa, Mas. Tolong mengerti. Mungkin sampai bayi ini lahir, aku tidak bisa kamu sentuh. Kenapa? Karena ini hukuman untuk kamu juga." Wajah suamiku nampak berubah yang tadinya riang, langsung masam. "Baiklah, aku udah pernah bilang akan terima apa saja hukuman dari istriku ini'kan?" ia menyentuh pipiku. Lalu berjalan menuju lemari untuk berpakaian. Aku terus memperhatikan Mas Galih yang sedang memakai baju. "Kamu nge-gym lagi?" tanyaku. Mas Galih menoleh, lalu tersenyum. "Ya, gym Sabtu sama Minggu sore aja. Kenapa, Sayang? Badanku berubah ya? Kamu suka gak?" aku mengangguk. "Aku nge-gym karena kamu belum bisa aku ajak keliling mall untuk kulinerndi akhir pekan. Nanti kalau udah bisa jalan-jalan lagi, kita kuliner ya?" aku mengangguk. "Kita gak harus kuliner'kan? Kamu belikan kue aja juga aku udah senang. Kue apa yang ketinggalan, Mas?" "Kue? Kue apa, Sayang?" aku menatapnya heran. Kenapa ia tidak ingat? "Kamu gak ada beliin kue buat aku?" suamiku mengerutkan kening. "Kue apa? Aku hanya pesan bunga saja tadi." Mas Galih berjalan ke arahku. "Tapi OB kamu yang namanya Robi bilang, kalau kue ketinggalan." "Hah, a-apa? Kue?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN