8. Nonton Bioskop

764 Kata
Gara-gara obat tadi, aku tidak bersemangat mau nonton. Sudah berdiri lama di depan loket sambil melihat layar iklan film yang ditayangkan hari ini, tetapi aku belum juga menentukan pilihan. Malas dan rasanya ingin pulang saja. "Kikan." Aku berbalik ke belakang saat suara berat itu memanggil namaku. "Pak Batara, b-bapak di sini?" tanyaku sambil celingak-celinguk memperhatikan sekililing, tetapi sepertinya bosku memang datang sendiri. "Iya, saya di sini, di depan kamu. Kamu sendiri?" aku mengangguk sambil tersenyum. "Suami gak ikut?" "Lagi ada kerjaan di luar kota, Pak," jawabku. "Bapak sendiri?" pria tiga puluh delapan tahun mengangguk sambil tersenyum. "Anak-anak lagi di rumah neneknya. Saya bosan di rumah, dari pada bengong nanti kesambet laporan keuangan, mending saya cari angin. Kamu mau nonton film apa?" "Eh, s-saya bingung mau nonton apa, Pak." Aku mendadak tidak enak hati dan ingin segera keluar dari bioskop. "Mungkin tidak jadi saja." Pak Batara menahan lenganku saat aku lewat di depannya. "Temani saya. Saya traktir nonton dan makan juga." Pria dewasa itu tersenyum amat ramah. "Saya gak jadi nonton deh, Pak. Saya mau keliling aja." "Ayolah, traktir nonton saja gak papa. Say agak traktir makan kalau kamu merasa sungkan." Jika aku kembali menolak, pasti bosku ini kecewa. Beliau adalah direktur keuangan yang baru di perusahaan tempat aku bekerja. Dari yang aku dengar, statusnya dua anak dua. Entah sudah ditinggal meninggal atau duda cerai, aku tidak terlalu kepo, karena jika sudah berada di depan laptop kantor, maka aku akan fokus di sana. Kabar burung yang beredar aku ketahui saat aku makan sore di kantin. Anak-anak membicarakan Pak Batara yang tampan serta status dudanya. "Ini, jangan kebanyakan bengong! Film mau dimulai!" Pak Batara memberikan satu cup pop corn di tanganku. "Biar saya bawa airnya. Tolong ambilkan tiket kita di saku baju saya!" Aku mengangguk dan melakukan semua yang ia perintahkan. Sungguh amat disayangkan karena aku malah memilih film romantis yang seharusnya aku tonton bersama pasangan. "Saya lompat satu kursi, biar kamu gak canggung." Katanya sambil menunjuk kursi yang harus aku duduki, sedangkan dirinya duduk di sebelah kursi yang kosong di sampingku. Bos pengertian, mungkin karena memang ia lebih dewasa dan ia adalah bos di tempatku bekerja. Tentu saja ia harus menjaga image sebagai atasan yang baik, apalagi ia baru tiga Minggu ini menjabat. Lagian, jika aku baca raut wajahnya, ia bukan tipe lelaki tebar pesona. Film dimulai, ia menikmati adegan setiap adegan, sedangkan aku tidak. Kepalaku penuh dengan kecurigaan yang dilakukan Mas Galih di luaran sana. Aku mengeluarkan ponsel dan iseng mengecek kapan terakhir kali WA Mas Galih aktif. Ternyata tiga jam lalu. Tepat setelah Mas Galih meneleponku. Aku pun melihat kontak Esti. Wanita itu terakhir kali aktif WA tiga jam setengah yang lalu. Mas, lagi apa? Send Esti, bagaimana kabar ayah kamu? Send Dua orang itu aku kirimi pesan. Namun, keduanya hanya ceklis satu saja. Aku harus berhuznuzon. Tidak mungkin Esti bermain-main dengan kesehatan bapaknya di kampung. Lampu bioskop menyala. Aku pun baru tersadar bahwa film sudah habis. Aku benar-benar salah pilih film. Seharusnya aku nonton film action, bukan film romantis seperti ini. "Kamu sibuk sekali saya perhatikan," kata bosku. "Ya, suami kerja di luar kota, saya tentu deg-degan, Pak," kataku sambil tersenyum. "Kenapa tidak menyusul saja. Besok masih Minggu. Emangnya dinas ke mana?" aku benar-benar tidak memikirkan hal itu. Ya, bukankah seharusnya aku ikut saja dengan Mas Galih. Besok masih ada hari Minggu, tetapi aku tidak ingat akan hal itu. "Ke Yogyakarta, Pak." "Yogyakarta dekat. Kamu masih punya jatah cuti? Cuti sehari tidak apa-apa. Kita harus dekat dengan pasangan. Jangan sampai nanti, setelah ia tidak ada, kita baru sadar bahwa kita kesepian tanpanya." Mata berbingkai kaca mata itu menerawang hampa. Apakah ia memikirkan mantan istrinya? "Apa boleh, Pak?" tanyaku ragu. Paka Batara tertawa pelan. Kedua kaki kami terus melangkah keluar dari koridor luar bioskop. "Boleh saja. Berikan kejutan untuk suami kamu. Biarkan ia terkejut saat kamu tiba di sana. Saya pernah begitu dan saya sangat senang diberi kejutan oleh istri saya. Oke, saya pamit ya, Kikan. Makasih udah nemenin saya nonton sambil main HP ha ha ha ...." "Iya, Pak, maaf ya. Saya yang terima kasih sudah ditraktir." Pak Batara pun pergi, sedangkan aku masuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Langit sudah semakin gelap dan aku memutuskan langsung pulang saja. Masih ada lauk yang dimasak Esti, sehingga aku tidak perlu makan diluar. Setelah tiba di rumah, aku pun mandi, kemudian makan. Tentu saja aku sangat setuju dengan ide pak Batara untuk menyusul suamiku. Tiket langsung aku pesan online. Tiket pagi, jam delapan. Aku akan memberikan kejutan untuk suamiku. Jika benar dia sedang bersama Esti, maka aku sudah melakukan hal yang tepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN