Kejutan untuk Galih

1322 Kata
Selamat membaca Aku sudah tiba di bandara Adisucipto pukul sepuluh pagi. Langit begitu terang, seterang hatiku yang mendapatkan ijin cuti di hari Senin. Mas Galih belum aku beritahu bahwa aku sudah di Yogyakarta untuk menyusulnya. WA-nya aktif kemarin dan belum online lagi hingga saat ini. Ting! Esti Kontak Esti muncul di layar. Maaf baru balas, Bu. Saya baru sempat pegang HP. Bapak saya sudah baikan dan sudah sadar. Masih diobservasi dua sampai tiga hari. Saya ijin ya, Bu. Begitu bapak boleh pulang dari rumah sakit, saya kembali ke Jakarta. Oke, semoga lekas sembuh untuk bapak kamu. Send Tidak mungkin mas Galih dan Esti memiliki hubungan. Aku saja yang berlebihan menebak-nebak. Aku yang parnoan karena bukan hal aneh lagi bahwa di luaran sana banyak terjadi kasus perselingkuhan. Paling banyak pasangan selingkuh dengan pembantu rumah tangga, mantan, dan juga teman kerja. Baru memikirkannya saja, kepalaku rasanya berkunang-kunang. Untunglah aku ingat alamat hotel tempat Mas Galih akan menginap, saat ia bercakap-cakap di telepon dan aku mendengarnya. Aku memesan taksi dan langsung meluncur ke sana. Begitu tiba di lobi, aku mengonfirmasi nama Mas Galih. "Maaf, Mbak, tidak ada tamu hotel kami berna Galih Prasetya," kata resepsionis berwajah manis itu. Aku sontak terkejut. Tidak mungkin. Jelas aku mendengar nama hotel ini. "Mungkin Mbak keliru. Coba dicek sekali lagi, Mbak," kataku penasaran. "Baik, Mbak, mohon ditunggu ya." Aku mengangguk. Ia dan teman di sampingnya sibuk mengecek nama tamu dari layar komputer, sedangkan aku tengah berusaha menelepon Mas Galih. Namun, lagi-lagi aku dapati nomor ponsel Mas Galih tidak aktif. "Maaf, Mbak, kamu sudah mengecek sampai tiga kali. Tidak ada tamu bernama Galuh Prasetya." Aku menunjukkan wallpaper ponsel yang belum sempat aku ganti. Wallpaper itu adalah fotoku dan mas Galih. "Ini orangnya, Mbak." Aku memperlihatkan ponselku pada wanita itu. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Mohon maaf, tidak ada tamu ini di hotel kamu." Aku menahan sesak di d**a. Mas Galih berbohong. Tidak mungkin ia menginap di hotel lain. Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Kakiku yang sudah berada di depan pintu lobi otomatis, kini berjalan balik lagi ke depan meja resepsionis. "Mbak, kalau tamu yang namanya Esti Purwaningsih ada gak?" tanyaku lagi. Bisa saja'kan, mas Galih bukan menggunakan namanya, tetapi nama Esti, untuk mengelabui keberadaannya. Tidak lupa aku menunjukkan foto Esti pada petugas itu. Sekali lagi wanita bersanggul cepol itu menggelengkan kepala. "Tidak ada, Mbak." Aku mengangguk, lalu pamit undur diri. Bukan aku pulang atau mencari ke hotel yang lainnya, tetapi aku memilih duduk di sofa khusus tamu sambil menunggu, siapa tahu Tuhan berpihak padaku kali ini. Satu jam terlewati. Lanjut dua jam, kemudian tiga jam. Sudah jam setengah dua siang dan suamiku belum terlihat batang hidungnya. Perutku mulai berbunyi, minta diisi. Aku hanya membeli roti di bandara tadi dan juga air mineral dalam tumbler-ku. Makanan dan minumanku sudah habis, tetapi Mas Galih tidak ada. Esti pun tidak. Kamu ke mana sih, Mas? Ponsel kamu gak aktif. Angkat telepon aku! Send Aku menunggu dengan tak sabar, ceklis abu garis satu itu, berubah menjadi garis dua biru, tetapi sepuluh menit menunggu, semua sia-sia. Aku menghela napas lelah. Notifikasi medsos milikku sejak tadi berbunyi. Aku akhirnya membuka isi notif itu tanpa semangat. Tiba-tiba aku kepikiran akun media sosial Esti. Wanita itu pernah bilang punya akun fezbuq, tetapi tidak begitu aktif. Aku mencari akun dengan nama Esti dan juga memeriksa fotonya. Ketemu! Aku mendelik senang saat aku menemukan akun milik Esti. Huachi! Belum sempat aku membukanya, suara bersin seorang pria, begitu membuatku terkejut. Dengan hati-hati aku mengintip dari balik sandaran sofa dan benar saja, Mas Galih baru tiba di lobi dan berjalan santai menuju lift, tetapi Mas Galih tidak sendiri, melainkan di belakangnya ada Esti yang mengikuti. Sialan, mereka berdua ternyata berbuat kotor di belakangku! Aku segera bangun dari duduk. Emosi sudah berada di atas kepala dan siap aku tumpahkan pada dua anak manusia yang tidak tahu diri ini. *** Aku yang tadinya ingin berteriak pada dua orang itu, akhirnya memutuskan menahan diri. Aku harus memergoki keduanya sedang berbuat hal terlarang, sehingga cukup bukti untuk melaporkan mereka atas tuduhan perzinahan. Ya, sudah aku putuskan untuk melaporkan Mas Galih dan Esti jika benar mereka berselingkuh. Lift nampak sedang berpihak padaku. Untunglah aku menggunakan hoodie yanga baru aku beli kemarin. Lekas aku memakai masker, lalu menutup kepalaku dengan topi hoodie. Aku setengah berlari untuk berdiri persis di belakang Esti yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka. Ting! Pintu besi itu pun terbuka. Kami membiarkan empat pengunjung keluar terlebih dahulu, barulah kami masuk. Jantungku berdetak cepat. Aku harap Mas Galih tidak mengenaliku dengan pakaian seperti ini. Baju longgar, hoodie besar, dan juga kaca mata hitam. Kulihat ia menekan angka lima. "Mbak mau ke lantai lima juga?" tanya Mas Galih. Aku hanya mengangguk tanpa bersuara. Suasana semakin mencekam karena tidak ada yang bercakap-cakap. Keduanya bukan seperti pasangan selingkuh karena dari pantulan pintu lift, aku melirik Esti yang sejak tadi hanya menunduk. "Vitaminnya sudah kamu bawa?" "Sudah, Pak." "Lain kali hati-hati. Jangan sampai ketahuan lagi." "Baik, Pak." Dada ini rasanya bagaikan tertimpa batu besar. Aku menggigit bibir agar tidak bersuara. Jadi benar bahwa obat yang di dalam laci adalah obat kuat pria. Pintu besi terbuka. Mas Galih keluar, diikuti Esti. Wanita itu hanya membawa tas ransel kecil dengan rok sederhana dan baju kaus. Memang seperti itu tampilan Esti sehari-hari. Apa yang membuat Mas Galih seperti ini? Bukannya mereka jarang terlihat bicara? Apa mereka terlalu pintar sehingga aku tidak mengetahui yang mereka lakukan di belakangku? Kenapa Mas Galih malah mengajak wanita kampung seperti Esti ke kamar hotel? Aku berdiri di pintu yang persis di sebelah kamar yang dipesan Mas Galih. Suamiku membukakan pintu untuk Esti. Wanita itu sempat diam sejenak, seperti ragu. Namun, aku melihat Mas Galih menarik pelan tangan Esti untuk masuk. Sontak d**a ini bergemuruh. Aku cemburu, aku kesal, aku marah. Apa suamiku jatuh cinta pada Esti? Kenapa ia berpaling dariku? Apa kurangnya aku? Dengan kaki gemetar, aku pergi ke lantai dasar untuk memberitahu security. "Saya ingin memergoki suami saya, Mas. Tolong saya." Aku memohon dengan air mata berlinang. "Maaf sekali, Bu. Pihak hotel tidak bisa sembarangan memberi kunci kepada tamu pengunjung tanpa perintah," jawab lelaki muda itu dengan bijak. "Mas, apa yang Mas lakukan jika di dalam sana adalah menantu lelaki, Mas atau mungkin istri Mas yang sedang berselingkuh? Apa Mas bisa menahan diri? Tolong saya, Mas!" Aku merapatkan kedua telapak tangan di d**a. Pria itu mulai ragu, tetapi tidak bisa langsung memberikan keputusan. "Ada apa ini Pak Satya?" suara seorang wanita menegur kami. "Bu, Mbak ini istri dari salah satu pengunjung yang suaminya masuk ke dalam kamar lima kosong empat dengan wanita lain. Mbak ini ingin memergokinya." Wanita itu tersenyum tipis. Mungkin baginya ini sudah sering terjadi, sehingga bukan hal yang istimewa lagi. "Berikan saja, tetapi janji untuk tidak direkam. Cukup kamu saja yang temani Satya." Aku menatap si Wanita setengah baya itu dengan tidak percaya. "Ibu, makasih banyak atas pengertiannya." Aku benar-benar terharu. Security bernama Satya mengambil kartu dari front office, lalu memintaku untuk ikut bersamanya. Jika tadi jantungku rasanya mau copot, maka sekarang, aku merasa dunia sebentar lagi akan berhenti berputar. Karena kini aku sudah di depan kamar yang disewa Mas Galih. Tet! Pria itu menekan bel. Tidak langsung ada yang membuka pintu, aku yakin Mas Galih sedang enak-enakan bersama Esti. Menjijikkan sekali. Satpam menekan untuk ketiga kalinya. Cklek! Suara pintu terbuka membuatku menahan napas. "Permisi, Mbak, tadi apa Mbak telepon layanan kamar?" "Siapa, Sayang?" suara Mas Galih memanggil Esti dengan kata sayang. Aku mendorong petugas security itu karena sudah tidak tahan lagi. Aku dan Esti berhadapan. Pembantuku itu menggunakan kimono handuk dengan rambut setengah basah. "Yang sakit bapak kamu atau otak kamu, p*****r?!" desisku sengit. Aku melihat Esti menelan ludah. Esti begitu berbeda dengan kimono handuk. Wajah setengah keringnya tidak terlihat kampungan, tetapi saat ini wajah ndeso itu tengah ketakutan. "Siapa, Sayang?" Mas Galih keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menggantung di pinggang. Mereka ternyata mandi bersama. Wajah suamiku mendadak pias saat menyadari ada aku berdiri di depan pintu kamar itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN