7. Kemarahan Galih

1365 Kata
"Aku gak suka kalau kamu asal bicara!" Mas Galih meninggalkanku dengan wajah masam. Aku pun segera menyusulnya. "Mas, harusnya aku di sini yang kesal dengan kamu dan Esti. Kamu tahu, tadi Bu Citra bilang, kamu anter Esti nganter laundry setrika pakaian yang ekspres. Tapi, Esti bilang dia yang mengerjakan. Gak mungkin Bu Citra bohong. Jadi yang bohong pasti kamu dan Esti. Jujur aja, Mas, kalau kamu naksie Esti. Apa karena aku belum bisa kasih kamu anak?" cecarku sudah tidak tahan lagi. Mas Galih hanya tertawa sumbang, lalu berjalan masuk ke kamar tanpa memedulikan protesku. Aku menyusulnya ke kamar dalam keadaan menangis. Suamiku menghela napas, lalu mendekatiku. "Jangan sentuh, kalau kamu belum cerita yang sesungguhnya!" Aku bergeser saat tangan Mas Galih mencoba menyentuh pundakku. "Sayang, maafkan aku yang tidak jujur. Jadi, nanti malam aku harus ke Jogya ada urusan sama vendor. Mungkin tiga hari aku di sana dan pakaian yang mau aku bawa nanti malam, belum disetrika Esti. Dia hilang gak keburu karena aku mau packing segera, jadi aku yang bawa ke laundry bersama Esti. Begitu ceritanya. Aku naik pesawat jam delapan malam, Sayang. Maaf ya, aku kelupaan bilang." Aku menatap Mas Galih tidak percaya. "Mas, kamu mau keluar kota nanti malam dan kamu baru bilang sekarang? Yang benar saja, Mas! Aku ini istri kamu, masa yang lebih dulu tahu kamu mau pergi itu si Esti!" Suamiku bangun dari duduknya. "Kamu akan stres sendiri jika terus berpasangka buruk. Aku gak mau meladeni wanita yang cemburu tanpa alasan jelas. Aku mau beresin pakaianku!" Mas Galih mengambil koper dari atas lemari, lalu mengambil baju untuk ia masukkan ke dalam koper hitam miliknya. Aku yang sudah terlanjur kesal, memutuskan untuk menemui Esti. Wanita itu masih sibuk memasak menu request suamiku. "Kenapa kamu bohong, Es?" tanyaku langsung. Esti menoleh ke belakang dengan terkejut. "Bohong apa, Bu?" tanya Esti dengan wajah bingung. "Kamu bilang, kamu yang setrika pakaian, sehingga kamu kelelahan, ternyata pakaian kamu bawa ke laundry. Apa itu tidak bohong?" "I-itu-" "Kamu termasuk ART-ku yang paling lama bekerja di rumah ini. Aku harap kamu menjaga kepercayaanku, Esti. Jika aku menemukan lagi hal aneh antara kaku dan suamiku, maka aku gak segan pecat kamu!" "Maafkan saya, Bu. I-itu- saya karena-" "Masih belum selesai juga? Setelah interogasi aku, sekarang kamu interogasi Esti?" aku dan Esti menoleh serentak ke arah asal suara. Suara Mas Galih yang terdengar tidak senang. "Masalah anter pembantu bawa laundry aja, kamu sampai kebakaran jenggot. Jangan tuduhkan apa yang tidak aku lakukan, Kikan, karena aku bisa benar-benar melakukannya suatu hari kelak! Paham!" Aku menelan ludah. Apa memang aku yang terlalu berlebih-lebihan atau memang suamiku sedang menutupi kebusukannya? "Maafkan saya, Bu, besok-besok saya akan setrika semua pakaian Ibu dan bapak. Saya gak akan anter ke laundry. Maafkan saya ya, Pak, Bu, karena masalah ini jadi berdebat. Semoga saya masih bisa bekerja di sini." "Kamu masih bisa bekerja di sini, asalkan kamu tahu batasan antara majikan dan pembantu!" Ketusku pada Esti. "Baik,Bu, saya akan lebih hati-hati." "Baguslah kalau kamu mau introspeksi, karena jika tidak-" "Di rumah ini yang bisa memecat pembantu adalah suamimu ini, Sayang. Selagi Esti tidak mencuri, nakal dengan pembantu tetangga, dan juga gak becus kerja, maka dia tetap bekerja di sini. Sudah, jangan bikin aku marah!" Mas Galih menarik tanganku untuk masuk ke dalam kamar. Pintu kamar dibanting keras olehnya. Aku pun didorong sampai punggung ini menyentuh tembok. Mas Galih mencium bibirku dengan sedikit kasar. "Kamu tahu kalau aku marah'kan? Sudah lama aku tidak melakukannya. Apa kamu mau aku begitu lagi?" tanyanya dengan napas naik turun. Wajahnya merah menahan emosi, hingga membuat nyaliku ciut. "Tidak, Mas," jawabku sambil terus menatap sorot mata tajamnya. "Bagus, kalau gitu, puaskan aku karena semalam aku tidak puas!" *** "Aku berangkat ke bandara sekarang saja," katanya sambil bergerak turun dari ranjang. Napasku masih lagi naik turun karena kelelahan, sehingga tidak mampu menyahut ucapannya. Rasanya beda karena suamiku bisa bermain lebih lama. Ini seperti bukan dirinya dan bukan seperti biasanya. "Ini masih siang dan kamu belum makan ikan pesmol pesanan kamu, Mas," kataku. "Ada yang harus aku siapkan untuk meeting besok." "Kamu gak capek? Kamu sangat berbeda hari ini." Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar mandi. "Tidak, aku merasa biasa saja. Aku duluan bersih-bersihnya ya." Aku mengangguk dan tidak berniat menjawab. Seluruh tubuhku terasa sakit. Tulang ini serasa lepas dari tempatnya karena dua jam bersama Mas Galih. Aku benar-benar tidak bisa bangun dibuatnya. "Mas bantu aku ke kamar mandi," kataku setengah memohon. "Aku sudah bilang, Sayang, jangan membuat aku marah." Aku mengangguk. Mas Galih menggendongku ke kamar mandi, bahkan ia membantu membilas badan ini. Suamiku kembali seperti sedia kala dan ternyata memang aku yang berpikir terlalu berlebih-lebihan. Suamiku mencintaiku dan ia tidak pernah menolak jika aku sedang ingin bersamanya. Selesai mandi, kami pun makan. Semua hidangan sudah tertata rapi di meja. Namun, aku tidak melihat Esti. "Bu, Pak," panggil wanita itu tiba-tiba, hingga aku dan Mas Galih menoleh serentak. "Ada apa?" wajah Esti nampak basah. Ia seperti habis menangis. "Bu, Pak, saya ijin pulang kampung. Bapak saya masuk rumah sakit dan saat ini tidak sadarkan diri. Apa saya boleh ijin dua atau tiga hari?" aku menoleh pada suamiku. "Boleh saja karena saya rasa, pekerjaan rumah tidak terlalu banyak jika kamu hanya ijin satu atau dua hari. Jangan lebih ya, karena kalau lebih dari tiga hari, kamu akan saya potong gajinya. Paham!" "Baik, Pak, Bu, terima kasih. Mm ... satu lagi, Pak, Bu, apa s-saya boleh kasbon?" "Berapa?" tanyaku. "Dua juta sampai tiga juga kalau ada, Bu. Kalau tidak ada segitu, berapa aja buat tambahan beli obat bapak saya." Esti masih menunduk. "Satu juta, gimana?" tanyaku. Esti mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Bu. Saya ijin merapikan pakaian." "Tunggu, kamu mau naik apa?" tanya suamiku. Esti mengentikan langkah, kembali menoleh kepada kami berdua. "Saya naik ojek online, Pak." "Kamu bareng saya saja. Saya naik taksi online. Kamu rutenya stasiun kan?" "Iya, Pak, saya mau ke stasiun, tapi gak papa saya bisa naik ojek saja. Jangan merepotkan Bapak dan Ibu." Aku hanya jadi pendengar yang baik saja, saat majikan lelaki dan ART yang masih dalam pantauanku ini bercakap-cakap. Karena aku sudah memutuskan untuk memergoki keduanya dengan caraku. Aku tahu pasti ada yang tidak beres diantara Mas Galih dan Esti, hanya saja aku belum punya cukup bukti. "Aku gak setuju kamu antar Esti ke stasiun! Biarkan Esti naik ojek online saja. Jangan sampai pembantu diberi ruang untuk jumawa dan lupa diri!" Aku melirik sengit suamiku. Mas Galih hanya bisa diam, lalu kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. "Aku berangkat, Sayang. Kamu hati-hati di rumah. Minta ditemani mama kalau kamu takut atau kamu nginep di rumah mama aja." Aku mengangguk paham. Mas Galih sambil membuang sampah ke tong sampah depan. "Mobil kamu taruh di bandara?" tanyaku. "Iya, biar aku gak repot. Semoga aja sehari urusanku selesai. Jadi, bisa lebih cepat pulang. Dah, Sayang. Aku berangkat!" Aku mengecup bibir suamiku sekilas, lalu melambaikan tangan mengantarnya keluar dari gerbang. Esti pun sudah pergi juga, malah ia sudah lebih dahulu pamitan. Aku masuk ke dalam rumah. Tidak tahu harus melakukan apa di waktu akhir pekan seperti ini. Suami pergi, pembantu juga pulang kampung. Kemarin udah shopping, udah jajan di mall juga, tapi aku belum nonton. Ya, aku putuskan untuk menonton saja. Aku pun mengganti pakaian. Hanya baju kaus warna merah muda, dipadupadankan dengan celana jeans. Tidak lupa aku mengikat rambutku model ekor kuda. Setelah rapi, aku memesan taksi online. Tujuanku adalah mall terdekat dari rumah yang memiliki bioskop. Kring! Kring! Aku mengerutkan kening saat suamiku melakukan panggilan. "Halo, Mas, kenapa?" "Kamu di mana?" "Di rumah, tapi mau ke mall Ambara, mau nonton. Boleh ya?" "Oh, tentu saja boleh, Sayang. Hati-hati di jalan ya." "Oke, kamu juga." Aku menoleh ke pintu yang baru saja aku kunci. Ada hal yang hampir saja aku lupakan. Taksi pesananku masih dalam perjalanan, sehingga aku sempatkan untuk mengecek tempat sampah tadi. Hanya kertas struk belanja suamiku di minimarket sejuta ummat. Eh, ini apa? Aku membuka plastik flip bening dan mengeluarkan isinya. O-obat ini bukannya obat kuat yang ada di kamar Esti? Kemarin bukannya kata Esti sudah dibuang? I-ini malah tersisa dua tablet. Aku mengambil obat tersebut, lalu aku simpan ke dalam tas. Jika benar Mas Galih dan Esti main belakang, maka aku akan membuktikan sendiri dengan mata kepalaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN