Satu kali, dua kali, tiga kali, hingga akhirnya aku tidak lagi bisa menghitung berapa kali sudah Pak Galih menikmati manisnya tubuh ini. Terkadang ada rasa bangga, saat tatapannya mengunci kedua mataku. Awalnya tatapan itu biasa saja. Hanya ada nafsu semata, tetapi setelah dua Minggu berlalu dan kami rutin melakukannya, tatapan itu berubah teduh dan penuh rindu. Aku bisa merasakan detak jantung Pak Galih saat ia memelukku sejenak, sebelum ia pergi. Di ruang tamu, di kamarku, di dapur, di ruang tengah, bahkan pernah di kamarnya, saat Bu Kikan bekerja atau lembur sampai jam sebelas malam baru pulang. Ia selalu mengonsumsi obat kuat yang ia beli dari teman kantornya. Ia bilang, Bu Kikan tidak mau kalau lama. Mungkin karena Bu Kikan capek kerja. Kadang Pak Galih hanya memuaskan Bu Kikan s