Pendek Tongkeng

1221 Kata
08 Ruangan serba putih menyapa indra penglihatan Falea, kala dia membuka mata. Gadis berhidung bangir mengerjap-ngerjapkan mata sesaat, kemudian memindai sekitar. Sepasang mata sendu bermanik cokelat balas menatapnya lekat-lekat. Falea terkejut karena baru menyadari bila ada Benigno di sebelah kanannya. Keduanya saling memandangi selama beberapa saat, sebelum Falea hendak bangkit, tetapi dia langsung mengaduh karena kepalanya berdenyut. "Enggak usah bangun. Rebahan aja," ucap Benigno dengan suara pelan. "Saya, di mana?" tanya Falea. "Rumah sakit terdekat dengan indekosmu." "Hmm, Bapak kenapa ada di sini?" "Andara meneleponku. Dia bilang, pria itu mendatangi kos-an dan menyerang kalian sambil marah-marah." "Ehm, ya." Falea berusaha mencari saudaranya, tetapi kepalanya terasa sakit untuk digerakkan. "Andara, ke mana?" tanyanya. "Di kantor polisi sama Sony dan Trevor. Dia melaporkan cowok itu." "Saya takut, Mas Gibran akan makin emosi." "Itulah yang aku khawatirkan. Apalagi dia juga melaporkan kalian atas tuduhan macam-macam." Falea membulatkan matanya. "Bagaimana bisa dia melaporkan kami? Kan, dia yang datang dan ngamuk-ngamuk." "Namanya orang angkuh dan kalap, ya, begitu." "Duh! Kenapa jadi gini, sih?" Falea memijat pelan dahinya. "Aku sudah minta kamu buat pindah, tapi kamu nolak." "Saya nggak tahu bakal begini." Benigno mendengkus. "Keluar dari sini, langsung bereskan barang-barangmu. Nanti Sony atau Novan yang akan jemput." "Ehm, ya. Saya mau pulang sekarang." Benigno menggeleng. "Tetap di sini sampai besok. Pipimu memar." Falea spontan memegangi wajahnya. "Tadi dia nampar saya, sampai berdengung telinga." "Andara bilang, pria itu menjambakmu." "Ya, ini belakang kepala masih berdenyut." "Kalau dokternya datang, omongin aja." "Hu um." "Atau mau aku yang periksa?" Falea tertegun, kemudian mengangguk. Dia penasaran apakah ada luka karena sakitnya terasa kuat. Falea memiringkan badan ke kiri dengan hati-hati. Dia menunggu Benigno bergerak memeriksanya. Terasa sentuhan pelan di kepala. Falea meringis ketika jemari sang dokter memegangi bagian yang paling sakit. "Ini kayak luka goresan," tutur Benigno sambil mendekatkan senter kecil yang tadi diambilnya dari tas pinggang. "Sakit?" tanyanya ketika mendengar Falea mengaduh. "Hu um," cicit perempuan tersebut. "Mungkin kukunya panjang hingga menggores kulit kepala." "Bisa tolong diobati, Pak?" "Aku mau foto dulu." "Buat apa?" "Bukti tambahan. Mungkin saja bisa menambah daftar tuduhan penganiayaan buatnya." "Saya nggak mau urusan ini tambah rumit." "Maksudnya?" Falea berbalik dan memandangi lelaki berkaus biru. "Kalau dia menarik tuntutan, saya juga akan melakukan hal yang sama." "Ini tidak bisa dibiarkan, Fa. Bisa saja dia akan mengulanginya suatu saat nanti." "Saya nggak mau ribet, Pak. Dia orang kaya, hukum pun bisa dibeli." "Aku yang akan membelamu." "Bapak nggak perlu ikut campur. Ini urusan saya." "Dan kamu adalah pegawaiku, jadi ini juga urusanku." Sementara itu di kantor polisi, Andara dan Gibran masih saling memaki. Gadis berambut pendek sampai ditarik Sony, karena Andara hendak kembali menampar Gibran. Trevor tetap diam dan hanya mengamati. Dia baru bergerak ketika Gibran bangkit dan hendak mendatangi Andara. Trevor menghalangi dan menjadi perisai gadis muda yang memelototi Gibran. "Minggir! Aku tidak punya urusan denganmu!" sentak Gibran yang menyebabkan Trevor menaikkan alisnya. "Kamu lebih baik duduk tenang dan menyelesaikan pemeriksaan," balas Trevor. "Mana bisa aku tenang kalau perempuan kurang ajar itu masih terus memaki?" "Dari tadi saya perhatikan, justru kamu yang memprovokasi dan Andara hanya membalas." "Heh! Kamu nggak tahu apa-apa!" "Ya, saya memang tidak berada di tempat kejadian. Tapi, siapa pun yang mencari masalah dengan pegawai keluarga saya, berarti berurusan dengan saya!" Bentakan Trevor mengejutkan Gibran. Dia mengamati pria bertubuh jangkung yang tidak dikenalinya. "Pegawai?" "Kamu pasti tahu kalau Falea adalah pegawai Mas saya. Begitu pula dengan Andara." Trevor melirik gadis muda yang balas memandangi dengan sorot mata bingung. "Perusahaan tempatnya bekerja adalah salah satu anak perusahaan kami. Kamu nggak tahu?" tanyanya sembari mengarahkan pandangan pada lelaki di hadapannya. Gibran terpegun. Dia sama sekali tidak mengetahui siapa pemilik kantor tempat Andara bekerja. Sementara gadis yang namanya disebut, nyaris tertawa mendengar kebohongan Trevor. Andara beradu pandang dengan Sony yang mengangguk pelan. Gadis berbibir tipis memahami jika ucapan Trevor dilontarkan hanya untuk mengintimidasi Gibran. "Son, telepon Varo. Minta dia kirimkan tim pengacara PG," tukas Trevor yang segera dikerjakan sang ketua regu pengawal. "Aku juga akan memanggil pengacara," balas Gibran. "Silakan. Saya akan sangat senang bisa berhadapan dengan pengecut di pengadilan." "Aku bukan pengecut!" "Pria yang menyerang perempuan adalah pengecut. Apalagi saat ini korbanmu masih terbaring di rumah sakit." "Mereka yang memukuliku!" "Andara melakukan itu untuk mempertahankan harga diri sekaligus membela kakaknya, karena kamu telah memfitnah Falea." "Itu, kan, kenyataannya. Dia mepet ke suami orang! Memang perempuan murahan!" "Kamu yang benga'! Bahlul! Blahau!" cecar Andara menggunakan bahasa daerah yang tidak dipahami orang-orang sekitar. "Heh! Jangan asal ngomong, ya, kamu!" hardik Gibran. "Ini mulutku. Suka-suka aku mau ngomong apa! Lagi pula, kamu memang pengecut, cemen! Ditolak, langsung marah. Ngaca, dong. Sama Pak Ben, kamu nggak ada apa-apanya!" "Kakak dan Adik sama gatelnya!" "Serah! Susah ngomong sama orang pendek tongkeng cam kau! Bebal pula, tuh!" Gibran hendak maju, tetapi langsung ditahan Trevor. Keduanya saling menatap tajam, sebelum Gibran mundur sambil mendengkus, lalu menggertakkan gigi. *** Pagi-pagi sekali Sony dan Novan sudah tiba di ruang perawatan yang Falea tempati. Mereka membawakan pakaian ganti buat Benigno, sekaligus bubur ayam buat semua orang. Falea enggan memakan nasi dari rumah sakit, karena rahang kirinya sakit. Bekas tamparan Gibran meninggalkan lebam di area tersebut, dan menjadikan wajah Falea memprihatinkan. Benigno bersantap sambil berbalas pesan dengan Alvaro. Putra tertua Rafael Janitra tidak akan membiarkan Gibran lolos dengan mudah. Dia meminta Alvaro mengatur rencana untuk memberikan pelajaran pada Gibran. Puluhan menit terlewati, sekelompok orang memasuki ruangan. Benigno berdiri dan menyalami semua tamu. Kemudian dia memperkenalkan para lelaki yang kompak mengenakan kemeja biru tua dengan logo PB perak di dekat saku. "Fa, perkenalkan, ini teman-temanku dari PB. Mereka bosnya Sony dan Novan," terang Benigno. "Halo, terima kasih sudah datang," ucap Falea sambil menyalami para pria berbadan tegap. "Hai, Falea. Aku, Alvaro," balas pria berambut cokelat. "Yang ini, Yanuar. Dua itu, Chairil dan Jeffrey," sambungnya. Falea mengangguk paham. "Maaf, harus merepotkan kalian." "Enggak apa-apa. Ini sudah tugas kami," jelas Alvaro. Dia mengamati lebam di wajah Falea, lalu bertanya, "Selain memar itu, ada luka di mana lagi?" "Kepala, mungkin kena kukunya," beber Benigno mewakili Falea. "Sama ini, Var. Lengannya juga memar," lanjutnya sambil menunjuk tempat yang dimaksud. "Aku boleh lihat?" Benigno mengangkat kaus putih di lengan kanan Falea hingga batas pundak. "Seperti bekas cekalan." "Dia megangin aku kencang banget sebelum nampar," tutur Falea. Alvaro mendengkus pelan. Dia tidak pernah mentolerir orang-orang yang bersikap kasar pada perempuan. "Sudah difoto?" "Ya. Sebelum Andara berangkat ke kantor polisi, semuanya sudah difoto dan divideokan." Benigno terdiam sejenak, kemudian melanjutkan perkataan. "Walaupun sebenarnya bukti-bukti akan lebih kuat kalau Falea lebih dulu ke kantor polisi, sebelum dibawa ke sini." "Betul, tapi kemarin, kan, darurat," sela Yanuar. "Aku panik. Jadi langsung bawa Kakak ke sini," ungkap Andara yang tengah berdiri dan mendekati ranjang pasien. "Enggak apa-apa. Bisa diakali itu," cakap Alvaro. "Pengacara kita baru bisa datang agak siang ke kantor polisi. Setelah itu Mas Bayu baru ke sini buat nemuin Falea," lanjutnya. "Oh, beliau turun langsung?" tanya Benigno. "Ya, Mas. Kalau kasusnya penganiayaan, beliau turun tangan. Karena harus ditangani oleh ahlinya." Alvaro memandangi Falea. "Jangan mundur, Falea. Kita harus memberi pelajaran pada pria pengecut yang beraninya ke perempuan," cetusnya. "Sebetulnya saya takut, Mas," ujar Falea. "Enggak perlu takut. Mas Ben, keluarganya dan kami, akan berusaha keras membela serta melindungimu," pungkas Alvaro. "Betul. Aku nggak mau dia melenggang bebas. Minimal bikin syok terapi dulu. Agar dia tahu, nggak boleh semena-mena pada siapa pun, terutama perempuan!" tegas Benigno.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN