07
"Dia itu, siapamu?" tanya Benigno sembari memandangi perempuan berambut sepundak yang sedang duduk di sofa hitam.
"Kami nggak punya hubungan apa-apa," jelas Falea.
"Kalau begitu, kenapa dia bentak-bentak kamu?"
"Saya juga nggak paham, Pak. Hanya saja ...."
Benigno menunggu Falea melanjutkan perkataan, tetapi sang gadis justru menunduk. "Fa, teruskan."
"Ehm ... saya ...."
Benigno berdiri dari kursinya dan bergerak menyambangi perempuan bermata cukup besar yang sedang menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Cerita saja. Aku siap dengerin," tukasnya.
Falea menarik napas dalam-dalam dan menahannya sesaat, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia menimbang-nimbang sejenak, sebelum menengadah dan memandangi pria yang balas menatapnya lekat-lekat.
Sorot mata teduh Benigno menjadikan Falea merasa tenang. Meskipun pria di hadapannya terkadang menyebalkan, tetapi Falea sadar jika Benigno adalah pria penyabar dan pendengar yang baik.
"Dia pernah ungkapin, kalau dia suka sama saya." Falea memutuskan berterus terang pada sang bos, dan ternyata hal itu membuatnya lega.
"Kapan?"
"Setelah kita ketemu di resepsi tempo hari."
"Lalu, kamu jawab apa?"
"Saya tolak."
"Why?"
"Saya ingin fokus kerja."
Benigno mengangguk paham. "Dia terima keputusanmu?"
"Kayaknya nggak. Karena habis itu, dia marah-marah dan ngebut. Saya sampai takut."
"Setelah itu, apa ada yang terjadi?"
"Enggak ada. Kalau ketemu di rumah sakit, dia mengabaikan saya."
Benigno terdiam sejenak. Dia memikirkan penuturan Falea, sebelum menyadari bila sepertinya Gibran masih kukuh untuk mendapatkan gadis di hadapannya.
"Kupikir, lebih baik kamu segera pindah ke rumahku," ucap Benigno yang mengagetkan Falea.
"Bukannya saya hanya menginap jika darurat? Seperti kemarin malam? Lagi pula, ini belum masuk waktu saya bekerja full pada Bapak. Jadi, saya rasa ide itu berlebihan. Lalu ...."
"Kamu nggak capek ngoceh panjang gitu?"
Falea tertegun sesaat, sebelum menggigit bibir bawah untuk menahan omelan yang nyaris keluar dari mulutnya, akibat tindakan Benigno yang memotong omongannya.
"Aku rasa itu tidak berlebihan. Dengan tinggal di rumahku, dia nggak akan bisa mendatangimu dan marah-marah kayak barusan," ungkap Benigno.
"Tapi, kontrak saya di rumah sakit belum selesai," terang Falea.
"Biar nanti aku yang omongin ke Mbak Yanti."
"Jangan, Pak. Saya nggak mau kalau beliau nantinya akan berpikir kurang baik pada saya."
"Tinggal dijelaskan kalau kamu takut ketemu cowok itu."
"Saya nggak takut."
"Aku khawatir dia akan bersikap kasar padamu."
"Saya yakin nggak."
"Aku yang khawatir."
Benigno cepat-cepat merapatkan bibirnya agar tidak kembali keceplosan. Dia mengeluh dalam hati ketika mata Falea membulat sejenak, sebelum perempuan tersebut kembali menunduk.
Selama beberapa saat suasana hening. Falea menjengit saat Benigno meraih ponsel dari pangkuannya. Pria berparas separuh luar negeri mengutak-atik ponsel, kemudian mengirimkan lokasi mereka pada Gibran.
Benigno sengaja melakukan itu untuk memancing pria yang merupakan salah satu pewaris rumah sakit tempat dirinya dirawat tempo hari. Pria berkumis tipis tidak menyukai Gibran, terutama karena pria tersebut ternyata juga menginginkan Falea.
Puluhan menit berlalu. Ponsel Benigno berdering. Dia segera berdiri untuk mengambil telepon genggam di meja kerja.
Falea memperhatikan pria bertubuh tegap yang sedang berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Kala Benigno memutus sambungan, Falea terus mengamati lelaki yang tengah membereskan berkas-berkas yang baru ditandatanganinya.
Benigno memanggil Mahya dan keduanya berbincang serius selama beberapa saat. Kemudian Benigno mengajak Falea pergi menuju tempat lain.
Sementara itu di depan gedung, Gibran tengah berdebat dengan dua petugas keamanan yang mencegahnya memasuki lobi utama. Pria berambut lebat mengumpat beberapa kali karena kesal diperlakukan seperti itu.
Seorang pria bersetelan jas hitam mendatangi ketiga orang yang masih berdebat. Dia mengajak Gibran ikut bersamanya ke kantor khusus bagian keamanan dan sang tamu menyetujuinya.
Petugas keamanan yang tadi berdebat dengan Gibran, menelepon Benigno. Tidak berselang lama pria beralis tebal telah keluar dari lift khusus direksi bersama Falea.
Petugas keamanan yang menghubungi sang bos, mengantarkan keduanya hingga tiba di mobil. Sementara rekannya berpindah ke dekat tempat resepsionis.
"Tahan dia sampai setengah jam. Bilang saja, saya lagi terima tamu penting," cakap Benigno yang dibalas anggukan ketua regu satu.
"Siap, Pak!" tegas pria berseragam satpam sambil memberi hormat.
"Ingatkan Ethan buat tidak menemui pria itu."
"Baik."
"Saya pergi dulu."
"Hati-hati di jalan."
***
Bunyi ribut-ribut di depan indekosnya malam itu menyebabkan Falea penasaran. Dia dan Andara menyibakkan gorden untuk mengintip ke depan. Keduanya tidak bisa melihat jelas siapa yang membuat keributan tadi, hingga mereka memutuskan untuk keluar.
Betapa terkejutnya Falea ketika melihat Gibran yang sedang berdebat dengan pasangan penjaga indekos. Falea mengajak Andara masuk ke kamar dan segera mengunci pintunya.
"Duh! Gimana ini?" Falea terlihat panik.
"Kalau dia ke sini, biar aku yang hadapi," jelas Andara.
"Jangan, Dek. Nanti dia kalap. Mungkin aja dia akan mengasarimu."
"Tinggal hajar."
Falea mengerutkan hidungnya. "Cam preman, jak."
"Aok, preman pasar tengah."
Falea memukul pelan lengan sepupunya yang masih mengintip keluar. "Tak sangke aku. Mas Gibran ternyata pemaksa dan emosional."
"Mungkin dia terbiasa dipenuhi semua permintaan. Jadinya nggak bisa memahami orang yang nolak dia."
"Hmm, pantaslah pacar-pacarnya nggak ada yang bertahan lama."
"Memang Kakak tahu, siapa aja pacarnya?"
"Endak semua. Tapi dia pernah beberapa kali bawa perempuan yang berbeda kalau ada acara di rumah sakit. Ehm ... kayaknya dalam setahun bisa tiga kali ganti cewek."
"Playboy."
"Hu um."
"Pemarah pula, tuh. Pendek tongkeng."
Falea menyunggingkan senyuman mendengar ucapan adiknya. "Ra, Pak Ben minta aku langsung resign dan pindah ke rumahnya."
Andara berhenti mengintip dan mengalihkan pandangan pada sang kakak. "Lalu, gimana?" desaknya.
"Aku bingung."
"Malar jak bingung."
"Masalahnya itu, tak nyaman juga tinggal di rumah bos."
"Itu karena Kakak belum terbiasa. Nanti lama-lama bisa betah."
"Temanin, ya."
"Jaraknya terlalu jauh dari kantorku. Kalau di sini, cuma sepuluh menit, udah nyampe."
"Sebentar, bah."
"Berape lama?"
"Seminggu."
"Ish. Tadak adelah. Bisa-bisa biaya bensin motorku membengkak."
"Aku yang bayar."
"Jauh, tuh, Kak. Bisa lebih dari setengah jam baru nyampe kantor."
"Nyelip-nyeliplah. Kamu, kan, jagoan nyari jalan tikus."
"Letehlah aku."
"Aku kasih uang makan dua kali sehari."
"Plus nonton di bioskop pas werkend."
"Hmm, ya."
"Tambahin duit buat beli skincare."
Falea hendak mencubit tangan Andara. Namun, suara teriakan di luar membuatnya menegang seketika. Bentakan Gibran yang disertai gedoran pintu, menyebabkan Falea segera berpindah untuk bersembunyi di samping kiri lemari.
"Lea, keluar! Aku tahu kamu di dalam!" seru Gibran sembari menepis tangan kedua penjaga indekos yang mencoba menariknya menjauh. "Lea! Kita harus bicara!" pekiknya tanpa peduli dijadikan bahan tontonan banyak orang.
"Kamu bilang mau fokus kerja. Tahunya malah sibuk godaan laki orang!" teriak Gibran yang mengejutkan semua orang. "Lea! Keluar!" jeritnya sambil menendangi pintu.
Andara yang emosi kakaknya difitnah, menyambar sapu dari belakang pintu. Kemudian dia membuka pintu dan keluar. Tanpa ampun Andara memukuli Gibran dengan sapu. Pria itu sibuk menghindar sembari berusaha menepis.
Falea mengintip keluar. Dia memekik saat sapu berhasil direbut Gibran yang langsung mematahkan benda itu. Pria yang tengah kalap, mendatangi Andara dan hendak memukulinya. Namun, gadis muda lebih dulu menampar dan meninju perutnya.
Gibran membalas dengan tendangan hingga Andara terlempar menabrak kursi teras. Falea segera keluar. Dia meraih pot bunga terdekat dan melemparkan benda itu hingga mengenai kepala Gibran yang langsung memekik.
Falea menyambangi adiknya yang tengah berusaha bangkit. Dia memapah Andara hingga memasuki kamar. Namun, seseorang menarik rambutnya dari belakang dan menjadikan Falea nyaris terjatuh.
"Kamu, berani-beraninya melemparku!" geram Gibran sambil melepaskan jambakan dan beralih mencengkeram lengan perempuan tersebut untuk memutar badan Falea. "Dasar, Perempuan murahan!" umpatnya sebelum menampar Falea dengan keras.
Kedua penjaga indekos bergegas menarik Gibran agar menjauh dari Falea. Namun, pria itu masih bersikeras menarik rambut sang gadis yang kembali menjerit.
Dua penghuni kos ikut membantu melerai mereka. Sementara Andara yang sudah bisa berdiri tegak, memukuli tangan Gibran hingga jambakannya pada rambut Falea terlepas.
Pria berbaju hitam diseret keluar. Sementara Andara memegangi Falea yang tengah gemetaran, sebelum tubuh sang kakak limbung dan luruh ke lantai.