09
13
Kehadiran Yanti dan John sore itu disambut Falea dengan senyuman. Perempuan bermata cukup besar tidak menolak ketika dipeluk Yanti, kemudian mereka berbincang bersama Andara.
John membaca detail pemeriksaan dokter yang menangani Falea. Dia menggeleng pelan menyaksikan beberapa laporan lebam di tubuh sang perawat yang berdedikasi baik di tempatnya bekerja.
Tidak berselang lama Benigno datang bersama Trevor dan Jewel, serta ketiga pria dan seorang perempuan muda, yang sempat dilihat Falea tempo hari, saat Benigno diopname.
"Halo, gimana kabarmu hari ini?" tanya Ethan sembari menyalami perempuan yang wajahnya dihiasi ungu dan kuning di beberapa bagian.
"Lumayan membaik," sahut Falea. "Terima kasih sudah datang," sambungnya.
"Kembali kasih." Ethan melirik kakaknya yang sedang berbincang dengan John. "Mas kami memaksa untuk datang ke sini. Kalau nggak, dividenku nggak dibagi," selorohnya.
"Getok aja kakakmu itu, Ethan," tukas Yanti.
"Gimana kalau Mbak yang wakilkan?" tanya Ethan. "Aku nggak berani. Takut disuntik virus mengerikan," kelakarnya.
"Aku memang mau nyiksa dia," terang Yanti sembari mendekati juniornya dan berbisik, "Gara-gara kamu, aku diinterogasi Ayah."
"Diinterogasi gimana?" Benigno balik bertanya dengan suara pelan.
"Ayah nanya, kamu kapan nikahnya? Tahunya punya anak dan ngaku ditinggal istri." Yanti mencubit lengan Benigno yang spontan meringis. "Kamu bersandiwara, aku kena getahnya," keluhnya.
"Mbak pasti nemu jawaban yang bagus."
"Kubilang, kamu nikah udah lama, tapi memang nggak pesta."
"Makasih atas karangannya. Aku sayang Mbak."
"Ben, jangan peluk-peluk istriku," sela John sembari mendorong d**a juniornya yang hendak mendekap Yanti.
"Mas masih cemburu aja ke aku," cakap Benigno.
"Kamu nempel terus ke Yanti. Gimana aku nggak kesal?"
"Aku nggak bisa nempel lagi ke sepupunya. Jadi aku mau mepet mbaknya aja."
Sepasang mata Yanti tiba-tiba berkabut. "Stop nyebut Yemima. Aku pasti sedih."
"Ehm, ya." Benigno terdiam sejenak. "Minggu depan peringatan kematiannya," imbuhnya.
"Kita ke makamnya sama-sama."
"Pagi atau sore?"
"Pagi. Aku dari siang sampai malam ada jadwal operasi."
"Oke, kita ketemu di sana."
Sementara itu di tempat berbeda, Gibran tengah dimarahi kedua orang tuanya di kediaman mereka di kawasan Kebayoran Baru. Pria berhidung mancung hanya diam dan menunduk. Dia enggan menyahut, karena sang ayah akan kian emosi.
Belasan menit berikutnya Gibran sudah berada di kamarnya yang berada di area depan lantai dua. Dia memandangi pantulan tubuh di cermin yang mengalami beberapa lebam akibat dipukuli Andara.
Gibran menggertakkan gigi. Dia bertekad akan memberi pelajaran pada perempuan itu, dan tentu saja para Falea. Gibran kian kesal karena kedua perempuan bersaudara ternyata betul-betul dibela keluarga Janitra dan Aryeswara.
Pria beralis tebal sama sekali tidak menduga jika Benigno merupakan salah satu pengusaha kaya dan berasal dari keluarga terpandang. Pada awalnya dia berpikir jika pria berparas separuh luar negeri hanyalah dokter biasa, tetapi ternyata salah.
Gibran berpindah ke kursi dekat meja. Dia mengambil amplop dari tas kerja dan segera membuka benda putih panjang untuk mengambil beberapa lembar kertas.
Pria berkaus putih membaca ketikan rapi seorang detektif yang disewanya untuk menyelidiki Benigno selama beberapa hari terakhir. Sebab itulah Gibran tahu jika dua malam lalu Falea menginap di rumah pria berkumis tipis.
"Status, masih belum diketahui. Aneh," gumam Gibran sambil mengerutkan keningnya.
Pria bermata tidak terlalu besar meletakkan kertas ke meja dan mengambil ponselnya yang sedang diisi daya. Setelah mencabut kabel, Gibran menggulirkan jemari untuk mencari nomor sang detektif.
"Ada di mana?" tanya Gibran tanpa berbasa-basi, sesaat setelah panggilannya diterima.
"Di rumah, Mas," sahut pria berkumis di seberang telepon.
"Aku mau tanya. Status tidak diketahui, itu maksudnya gimana?"
"Saya sudah mengecek ke beberapa tempat, tetapi nggak ada yang bisa ngasih keterangan."
"Ke Pak RT-nya, sudah dicoba?"
"Mas, itu namanya saya membongkar penyamaran."
"Hmm, apa nggak ada pegawainya yang bisa kamu tanyai?"
"Mereka nyaris nggak pernah keluar. Kalau pun mau pergi, pasti langsung masuk mobil."
"Orang kantornya?"
"Apalagi itu, Mas. Bisa masuk ke area parkir aja ketat banget."
"Lalu, kamu nyari infonya gimana kalau nggak bisa nyusup?"
"Sabar, Mas. Saya sedang berusaha mendekati pekerja bangunan di kediaman adiknya."
Gibran seketika menegakkan badan. "Adiknya?"
"Ya, yang tinggi itu. Saya lupa namanya."
"Trevor."
"Betul."
"Rumahnya dekat situ?"
"Ya, sekitar satu sampai dua kilometer."
"Pokoknya kamu harus berhasil, karena saya sudah bayar mahal."
"Baik."
Telepon diputus Gibran seraya tersenyum miring. Dia merasa yakin jika sebentar lagi informasi tentang Benigno akan terungkap. Selanjutnya dia akan menyusun rencana untuk memberikan pelajaran pada sang rival.
***
Hari berganti. Falea telah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Gadis berambut sepundak tidak bisa lagi menolak ketika Benigno memaksanya pindah ke kediaman pria tersebut.
Bersama Andara, Falea telah memindahkan pakaian dan berbagai benda yang diperlukan keduanya selama seminggu ke depan. Seperti halnya Falea, Andara juga diminta Benigno untuk menetap di rumahnya demi menemani sang kakak.
Pagi itu, Falea keluar dari pintu samping kamarnya bersama Andara. Seusai mengunci pintu, keduanya sama-sama mendorong motor hingga tiba di carport.
Andara memanaskan mesin motornya, sementara Falea memasuki ruangan dalam untuk mencari Sarmi dan Eugene. Kala Fitri menjelaskan bila Eugene tengah menginap di rumah Trevor, Falea mengangguk paham.
Sang pengasuh sama sekali tidak curiga jika Eugene menginap bersama Jewel. Dia memahami itu karena tahu jika bayi montok tersebut sangat dekat dengan Mutter, panggilan khusus buat Jewel yang artinya Mama.
"Bapak sudah berangkat?" tanya Falea ketika menyadari jika Benigno tidak berada di sekitar.
"Kayaknya belum bangun," jelas Fitri.
"Enggak kerja?"
Fitri mengingat-ingat sesuatu, kemudian berkata, "Ini hari Jumat minggu pertama, berarti jadwal Bapak meeting di kantor PG."
"Oh, begitu." Falea menoleh sesaat kala mendengar panggilan adiknya dari luar. "Kalau Bapak bangun, bilang aja, saya harus ke rumah sakit untuk menyelesaikan kontrak dan mengambil barang-barang di loker," lanjutnya.
"Sama Andara?"
"Enggak, dia mau kerja. Udah dua hari cuti. Takut dipecat dia."
"Apa nggak bahaya Kakak sendirian di rumah sakit?"
Falea tertegun sesaat, lalu menyahut, "Ada banyak teman-teman di sana. Lagi pula, saya cuma sebentar. Maksimal satu jam, habis itu mau ke kosan."
Fitri memandangi hingga Falea menghilang dari pandangan. Dia khawatir jika perempuan tersebut akan kembali dikasari pria yang mendatanginya tempo hari. Fitri berpikir cepat, kemudian bergegas menaiki tangga menuju kamar utama.
Tiga puluh menit berikutnya, Benigno telah berada di mobilnya. Pria berkemeja hijau terpaksa menyetir sendiri, karena kedua pengawal tengah mendampingi Opa dan omanya ke Jepara, tempat asal sang oma.
Pria berkumis tipis menggerutu karena jalanan sangat padat. Dia berulang kali mengecek arloji di pergelangan tangan kanan, kemudian mengetuk-ngetukkan jemarinya pada kemudi.
Setibanya di tempat parkir rumah sakit, Benigno menelepon Falea. Dia kian cemas karena panggilannya tidak diangkat. Sekian menit menunggu, akhirnya Benigno keluar dari mobil dan jalan cepat menuju ruang kerja Yanti.
Seorang pegawai rumah sakit yang baru saja keluar dari ruang seberang, mencegah Benigno untuk masuk ke ruangan Yanti. Pria bermata sendu hendak bertanya, tetapi kemudian ditangguhkan kala mendengar suara orang-orang berbincang dengan nada tinggi.
"Mbak jangan ikut campur urusanku!" bentak Gibran.
"Aku tidak akan tinggal diam, kalau salah satu pegawai terbaik di sini jadi korbanmu!" hardik Yanti.
"Daripada ngurusin aku, mending Mbak urusin sobat Mbak itu. Bilang ke dia, selesaikan dulu perceraian, baru menjalin hubungan dengan perempuan!"
"Ngapain kamu repot-repot ngurusin rumah tangganya? Aku aja yang sudah sobatan lama, nggak ada ikut campur!"
"Makanya itu, Mbak harus paham mana yang boleh dicampuri dan mana yang tidak! Jangan sok ngatur aku, teman Mbak dan perempuan itu sama-sama ganjen!"
"Kalau memang begitu, apa hubungannya denganmu? Falea bukan pacarmu. Dia bebas mau pacaran dengan siapa pun!"
"Ternyata Mbak juga sama piciknya dengan dia. Kalian, perempuan silau harta!"
"Oh, ya, jelas, dong! Kalau ada yang sanggup ngasih materi berlimpah, ngapain kami milih yang kayanya separuh kayak kamu? Cantik itu butuh modal, bukan cuma basa-basi doang!"
"Lihat saja nanti. Akan kubuktikan kalau teman Mbak itu b***t! Biar Mbak dan Falea tahu rasa!"
Pintu terbuka dan Benigno memasuki ruangan dengan memasang tampang serius. Gibran terkejut melihat saingannya datang. Dia terkesiap kala Benigno menghampiri dan menekan dadanya dengan jari telunjuk.
"Anak kemaren sore mau nantang aku?" ledek Benigno. "Silakan saja. Aku siap menunggu gebrakanmu," sambungnya seraya tersenyum miring.
"Tentu saja akan kulakukan, karena aku nggak takut denganmu!" desis Gibran.
"Oke, aku juga nggak takut sama kencur busuk."
"Lihat saja, aku akan menghancurkanmu!"
"Dan jangan menangis kalau nanti aku akan membalas. Bahkan, kalau perlu, kumatikan sampai ke akar-akarnya!"
Gibran memelototi Benigno yang balas menatapnya sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi, seolah-olah tengah meledek. Gibran jalan cepat keluar dan menghempaskan pintu. Dia hendak menemui orang yang sudah berjanji.akan membantunya untuk mengerjai Benigno.