10
Sepanjang perjalanan menuju rumah indekos, Falea tidak berani mengajak Benigno bercakap-cakap. Raut kusut pria beralis tebal membuat Falea khawatir jika sang bos masih emosi.
Dia sudah mendengar peristiwa perdebatan antara Benigno dan Yanti melawan Gibran, dari perawat yang ditemuinya beberapa saat sebelum Benigno keluar dari ruang kerja Yanti.
Falea bertanya-tanya dalam hati tentang reaksi Benigno saat dikatai ganjen oleh Gibran. Perempuan bermata cukup besar, merasa malu, karena permasalahan dirinya dan dokter muda menyebabkan Benigno ikut terseret.
Falea mengomeli Gibran dalam hati. Dikarenakan pria emosional itu, hidupnya kacau dan menjadikan banyak orang terkena imbasnya. Falea yakin, bila kasus mereka berlanjut terus, maka Gibran akan makin mengamuk.
Akan tetapi, Falea tidak mau mundur. Dia sakit hati karena menjadi korban kekerasan dokter muda. Belum lagi Andara juga menjadi korban keberingasan Gibran. Tanpa sadar Falea mengamati Benigno. Dia berjanji untuk bekerja sebaik mungkin demi membalas budi pada sang bos.
Sesampainya di depan indekos, Falea segera turun dan jalan menuju kamarnya di bagian kanan bangunan. Benigno tetap bertahan di mobil karena udara di luar sangat panas.
Falea bergegas mengemasi barang-barangnya, termasuk peralatan untuk membuat kue. Falea meninggalkan beberapa setelannya, agar tidak perlu membawa banyak pakaian jika dirinya menginap di indekos saat libur.
Sementara di mobil, Benigno mengirimkan pesan pada Alvaro dan membuat janji temu. Dia memutuskan untuk berterus terang pada sahabatnya tentang drama yang dilakoninya saat itu.
Kendatipun tahu bila Alvaro bisa saja mengomelinya, tetapi Benigno yakin, jika komisaris PB akan mau membantunya. Terutama dalam mempersiapkan hal-hal untuk mengatasi ancaman Gibran.
Mengingat sosok dokter muda tersebut menyebabkan emosi Benigno kembali mencuat. Dia tidak terima dicaci ganjen, begitu pula dengan hinaan Gibran pada Falea.
Kala perempuan berambut sepundak keluar dari kamarnya dengan membawa dua tas besar, Benigno segera keluar dan membukakan pintu bagian tengah agar Falea bisa langsung memasukkan tasnya.
"Pak, saya mau pamitan dulu sama Ibu kos dan penjaga rumah," terang Falea.
"Oke, aku tunggu di sini aja," sahut Benigno.
Falea mengangguk, kemudian dia berbalik dan jalan menuju kamar ujung kiri di mana pasangan penjaga indekos tinggal. Sekian menit berlalu, Falea telah melenggang ke rumah seberang dengan diiringi tatapan Benigno.
Satu notifikasi pesan masuk dari Alvaro yang meminta bertemu, sebelum rapat PG dimulai nanti siang. Benigno berpikir sejenak, sebelum memutuskan menelepon pria yang usianya lima tahun lebih muda darinya.
"Mau ketemu di mana, Var?" tanya Benigno, sesaat setelah menjawab sapaan sahabatnya.
"Di kantor PG aja. Kita numpang di ruang kerja Mas Tio," terang Alvaro.
"Jam satu?"
"Jam dua, deh. Aku mau salat Jumat dulu."
Benigno manggut-manggut. Dia melupakan detail yang biasa dikerjakan pria muslim. "Oke. Aku usahakan tepat waktu."
"Bawa bingke, nggak?"
"Aku nggak mesan itu."
"Yahh! Padahal aku lagi pengen."
"Kamu order aja. Tapi jangan mepet waktu. Dia baru bisa bikin setelah Eugene tidur."
"Ehm, kalau pesan sepuluh aja, bisa buat besok?"
"Yakin cukup segitu?"
"Enggak, sih. Aku sendiri sekali makan habis sekotak."
"Berarti nggak bisa segitu mesannya."
"Aku pengen cepat-cepat makannya. Jadi pesan sepuluh dulu. Next order baru pesan banyak."
"Nanti kuomongin ke dia. Tapi nggak bisa besok pagi."
"Siang kuambil."
"Malam."
"Sore, deh."
"Kamu ngebet amat? Lagi ngidam?"
"Hu um. May menghamiliku."
Benigno terbahak, begitu juga dengan Alvaro. Setelah tawa berhenti, mereka berpamitan dan sama-sama memutus sambungan telepon.
Belasan menit terlewati, Falea telah berada di mobil Mercedes-Benz V-Class hitam yang melaju dengan kecepatan sedang. Dia merasa lega karena wajah Benigno sudah tidak kusut lagi. Pertanda bila suasana hatinya telah membaik.
"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Falea saat menyaksikan bila mereka tidak mengarah ke kediaman Benigno.
"Ke kantor," sahut pria beralis tebal. "Aku mau ketemu Varo jam dua nanti. Mending nunggu di kantor supaya nggak bolak-balik ke rumah," jelasnya.
"Ehm, apa saya boleh pulang? Pakai taksi, maksudnya."
"Ikut saja denganku. Setelah makan siang, nanti kamu diantarkan sopir kantor ke rumah."
"Saya bingung harus ngapain di kantor Bapak."
"Kamu bisa baca buku-buku, mungkin saja kamu tertarik dengan bisnis."
"Enggak ada n****+?"
"Enggak ada." Benigno melirik Falea sesaat, lalu bertanya, "Kamu suka n****+ genre apa?"
"Horor."
"Enggak takut?"
Falea menggeleng. "Seru aja, bisa berimajinasi tentang tokoh-tokoh hantunya."
"Apa kamu percaya dunia gaib?"
"Tentu saja. Karena manusia dan makhluk halus sebenarnya tinggal di tempat yang sama. Hanya berbeda dimensi."
"Aku awalnya nggak percaya tentang itu."
"Kenapa?"
"Enggak masuk logika. Terutama bila ada orang yang kesurupan, bahkan mati karena disantet."
"Orang yang kesurupan itu hidupnya bermasalah. Jin yang merasukinya juga bermasalah. Jadi klop, sesama banyak beban."
Benigno mengulaskan senyuman. "Perumpamaanmu masuk akal."
"Itu yang saya dapatkan dari Kakek. Beliau belajar ilmu kebatinan untuk mengobati orang."
"Hmm, berarti jiwa untuk membantu sesama, diwarisi dari kakekmu."
"Ya, mungkin begitu." Falea menoleh ke kanan, kemudian bertanya, "Bapak bilang, dulu nggak percaya. Sekarang, gimana?"
"Sudah berbeda cara berpikirku. Terutama karena Papi dan Mami pernah dikirimi santet oleh musuh bebuyutan Papi."
Falea membulatkan matanya. "Santet?"
"Hu um."
"Kena, nggak?"
"Papi sempat sakit-sakitan. Kebetulan, sopir keluargaku, punya kenalan yang bisa ngobatin orang. Dia bilang Papi kena guna-guna. Langsung diobatin plus ngadain kebaktian di rumah."
"Saya nggak habis pikir. Ada orang yang pikirannya sangat jahat, hingga sanggup mengirim barang sesat."
"Mungkin sudah bawaannya berhati busuk. Orang salah sedikit dan negur, nggak terima."
***
Benigno tiba tepat waktu di kantor PG. Dia bergegas menaiki tangga hingga tiba di lantai tiga. Ayunan tungkainya dipercepat kala melihat orang yang hendak ditemui sedang berbincang dengan Tio dan keempat manajer.
Benigno menyalami semua orang. Mereka berbicara sejenak, sebelum Alvaro mengajak sang dokter ke ruang kerja Tio, direktur utama PG sekaligus komisaris BPAGK, PB, PBK, PM, PCB dan Pramudya Grup.
Kedua pria yang sama-sama keturunan blasteran, duduk saling berhadapan di sofa hitam. Benigno berdeham, lalu menceritakan sandiwaranya dari awal mula kesalahpahaman antara dirinya dan Falea.
Pada awalnya Benigno mengira bahwa Alvaro akan marah, karena pria yang lebih tua telah menipu Falea tentang statusnya. Namun, Alvaro justru tergelak, sesaat setelah Benigno usai bertutur.
"Astagfirullah. Mas Ben," ucap Alvaro setelah tawanya lenyap. "Ternyata Mas berbakat juga jadi aktor," selorohnya seraya tersenyum.
"Sudah telanjur, Var. Diteruskan aja," balas Benigno.
"Mas Tre dan yang lainnya, tahu?"
"Hu um. Termasuk Mbak Yanti, Mas John, para pengawal dan pegawai."
"Aku sebenarnya sudah curiga, kenapa Mas mempekerjakan Falea buat ngasuh Eugene. Tapi, kupikir, memang perlu pengasuh yang kompeten, karena asistennya Mas Trevor nggak punya basic merawat bayi sebelumnya."
"Ada benarnya juga, Var. Kayak tempo hari, Eugene kembung. Saya dan orang rumah nggak paham penyebabnya apa. Tapi Falea langsung bisa nebak."
"Mas nggak periksa Eugene?"
"Sudah, tapi mungkin karena panik atau otak saya buntu, nggak nemu itu sakitnya di mana."
Alvaro mengulaskan senyuman. "Falea merawatnya dengan hati."
"Tepat sekali. Jewel juga tetap mau Falea jadi pengasuh Eugene. Kalau nantinya rahasiaku terbongkar."
"Jangan lama-lama dramanya, Mas. Nanti dia akan sulit memaafkan."
Benigno mendengkus pelan. "Itu yang kutakutkan. Ehm, apa kamu ada ide, agar dia nggak terlalu marah?"
Alvaro memaksa otaknya berpikir cepat, lalu menyahut, "Mas ajak dia jalan. Berdua aja. Jelaskan semuanya secara runut. Kupikir dia nggak akan terlalu emosi, karena dia yang salah paham dan mengira Eugene sebagai anak Mas."
"Kalau dia ngamuk dan mukulin, terima aja, karena Mas jelas salah. Jangan dimarahi. Biarkan saja dia meluapkan emosi. Karena perempuan kalau lagi kesal, akan begitu. Tapi, setelahnya mereka akan kembali tenang dan memikirkan semuanya dengan bijak."
"Jangan dibentak, makin tambah sakit hati. Mas cukup diam dan pandangi dia lekat-lekat. Setelah dia berhenti ngoceh, peluk. Dijamin, pasti langsung nangis. Biarkan aja dia sesenggukan, karena itu cara perempuan mengungkapkan emosinya."
"Oh, ya, diajak jalannya yang rada jauh. Supaya dia nggak bisa kabur dan nyegat taksi," seloroh Alvaro yang menjadikan Benigno tersenyum. "Tapi, jangan ke tempat yang terlalu sepi. Ngeri ada kunti," lanjutnya yang menyebabkan pria beralis tebal terbahak.