Empat

1347 Kata
Dennis ikut tertidur di ranjang yang sama, tidak dalam posisi seperti di n****+ romance di mana sang pria tidur sambil memeluk wanitanya. Yang kini terlihat justru posisi mereka saling terbalik, kaki Dennis berada beberapa senti dari kepala Amanda, pun dengan kaki Amanda yang menjulur dekat kepala Dennis. Dennis meraih kesadarannya dengan melihat handphone yang menunjukkan pukul enam pagi. Terlihat di dekat kakinya, Amanda yang masih tertidur pulas. Muncul keisengan Dennis pada gadis itu. Dia menggerakkan jempol kakinya menyentuh puncak hidung Amanda, Dennis membekap mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan tawa keras melihat ekpresi mengernyit yang ditunjukkan Amanda. Dia baru menghentikan aksinya ketika Amanda mengangkat tangan dan menggaruk hidungnya. Setelah Amanda membuka mata Dennis langsung pura-pura tidur. “Astaga ini kaki kenapa enggak sopan banget ya! Deket banget sama muka aku! Aish!!” Amanda mendorong kaki Dennis agak jauh dari mukanya, dia pun beranjak lalu menggerakkan leher ke kiri dan kanan, agak pegal tidur dengan posisi seperti itu. Setelah meng-klik tombol yes pada laptop, dia beringsut ke arah Dennis, menggoyangkan bahu pria itu. “Mas, Mas Dennis bangun! Mau kerja enggak? Udah siang nih, biasanya juga bangun duluan kan?” Dennis pura-pura mengerjapkan mata, namun bibirnya tak kuasa menahan tawa, mengingat kejahilannya barusan. “Ih malah ketawa, kesambet ya? Itu masih lama enggak sih prosesnya?” tunjuk Amanda sambil menggaruk bokongnya. Meskipun dia masih mengenakan pakaian lengkap, dan menggaruknya pun di atas kain baju, namun aksinya membuat Dennis ilfeel setengah mati. Dennis pun beringsut ke arah laptop, tangannya lincah menggerakkan kursor dan menekan beberapa tombol perintah. “Paling tinggal lima belas menit lagi. Nanti dibiarin aja laptopnya ya.” “Jadi aku enggak perlu iyes-iyesin lagi?” “Iya, tugas iyes-iyesin kamu udah selesai,” kekeh Dennis, Amanda tersenyum lega, dia pun pergi ke kamar, berniat tidur seharian. Tapi perut Amanda berkhianat ketika mencium aroma wangi dari arah dapur, Amanda yang semula memejamkan mata pun langsung membuka matanya, dia pun keluar dari kamar sambil membawa boneka beruang lusuh bin kumel. Lalu duduk di samping meja makan, memperhatikan Dennis yang mencacah sayur-mayur. ‘Mas Dennis enggak cuma jago komputer tapi juga pinter masak,’ desis Amanda. Dennis mencampurkan sayuran yang telah dipotongnya ke sebuah mangkuk yang sudah berisi telur. Menambahkan cabai, duo bawang dan tomat. Lalu menggorengnya di wajan, dia membolak-balikan telur dadar tebalnya dan menyendok nasi. Setelah matang dibawanya ke meja. Dua telur dadar dengan warna yang berbeda, yang satu kehijauan yang satu berwarna orange hampir merah. Amanda menautkan alisnya, dia pikir Dennis memasak sesuatu yang spesial? Tapi hanya telur campur sayuran aja. Dia merasa perlu menarik kata-kata tadi yang bilang Dennis pinter masak. “Kenapa? Kecewa aku cuma masak telor doang?” Dennis mengetuk kening Amanda dengan centong nasi yang terbuat dari bahan plastik itu. Amanda semakin memajukan bibirnya sambil mengusap kening itu. “Sakit mas!” rutuk Amanda “Makanya jangan kebanyakan nonton drama korea!” “Apa hubungannya?” “Ada lah, kamu jadi hallu kan! Hayo ngaku pasti tadi mikirnya aku pinter masak kayak film-film dari negeri ginseng itu kan? Iler kamu aja sampai netes gitu tuh!” Dennis menyendok nasi ke piring dan meletakkan di depan Amanda. Sementara Amanda mengusap sudut bibirnya dengan kasar, menghapus jejak iler yang menempel di sana. “Ini kenapa bisa warna-warni begini telurnya?” “Iya dong, yang orange ini campurannya wortel, yang hijau brokoli.” Kali ini Dennis menyendok nasi ke piringnya, entah yang jelas pemandangan seperti ini sangat jarang terjadi terutama dalam rumah tangga. Karena biasanya yang menyendokkan nasi dan lauk pauk dari pihak wanita, tapi kini malah kebalikan. “Waktu kecil aku paling enggak suka makan sayur, maunya cuma makan telur aja. Akhirnya mama nyampurin sayuran ke dalam telur dan sejak itu makanan ini jadi favorit aku.” “Kamu kangen sama nyokap, Mas?” “Iya.” “Sama.” Suasana mendadak hening. “Ya udah makan, jangan bengong.” Ucapan Dennis mendapat anggukan dari Amanda, mereka berdua makan sambil sesekali berbincang hal yang lain. “Aku berangkat ya, jangan lupa cuci piring!” “Iya bawel!” sengit Amanda, setelah menyelesaikan sarapannya dia pun bergegas membereskan piring kotor lalu mulai mencucinya satu persatu. Termasuk wajan dan alat masak yang tadi sempat dipakai Dennis. *** Malam minggu, Tidak biasanya Amanda segelisah ini, hampir dua minggu tinggal dengan Dennis membuatnya merasa kehilangan sosok seseorang saat pria itu tak ada di sampingnya. Awalnya dia tak pernah peduli nama-nama hari, tapi kali ini rasanya beda sekali. Dia pun melihat ponselnya mencari nama Dennis di kontak aplikasi chatting. Lalu tersenyum sendiri ketika melihat isi pesan yang terjadi diantara dirinya dan Dennis. Dennis : Cuci piring! Amanda : Iya. Dennis : Jangan lupa cuci piring. Amanda : oke. Dennis : Inget piring kotor. Amanda : Inget. Dennis : Udah nyuci piring blm? Nonton drakor mulu! Amanda : iya bawel! Pesan yang dikirim selama ini selalu tentang mencuci piring, karena memang Dennis yang mengancam akan mengubah password wifi jika Amanda tak juga mau mencuci piring kotor yang biasanya selalu menumpuk di wastafel, di sudut ruangan bahkan di kamarnya. Amanda pun mulai mengetik sesuatu pesan, tapi dihapus lagi, ketik lagi, hapus lagi. Begitu aja terus sampai Kuda Nil bisa terbang! Tapi tidak sampai menunggu kuda nil terbang juga, karena pada akhirnya dia memutuskan mengirim pesan ke Dennis. Amanda : Lagi dimana? Setelah setengah jam, baru notif handphonenya berbunyi sebuah pesan masuk dari Dennis. Dennis : Bioskop, nonton sama ayang. Kenapa? Amanda : Beliin oleh-oleh, laper. Dennis : Oleh-oleh? Emangnya aku nonton di luar kota? Dasar! Amanda : Pelit!! Dennis : (icon melet). Amanda pun merubah posisi menjadi tiduran di sofa, malam ini kenapa waktu terasa lama sekali berlalu. Dia bahkan sangat bosan menonton televisi. Sudah download beberapa film untuk ditonton akhir minggu, tetap saja film itu tidak menggugah seleranya. Sebenarnya dia berbohong masalah lapar, karena sejak tadi dia memang tidak merasakan perasaan itu, hanya saja malam ini dia merasa sepi sendirian. Padahal biasanya ada Dennis yang menemani, meskipun terkadang dia sibuk dengan aktifitasnya membuat program lain di kamar. Tapi tetap saja suara sesuatu dari kamar sebelah membuatnya merasa tenang, nyaman, damai dan entah kenapa terasa hangat. Seperti sesuatu yang telah lama pergi, kini datang kembali. Dan Amanda sangat merindukan suasana nyaman ini. Tidak seperti saat dirinya terpuruk sendiri, rumah terasa sangat dingin. Dennis, dengan sikapnya yang dewasa dan mengayomi Amanda, menimbulkan gelenyar nyaman di hati wanita itu. Dia mampu menjadi pendengar yang baik, dia mampu memancing obrolan dari Amanda, dan wanita yang selama ini lebih sering membisu itupun mulai membuka diri, kembali menemukan pribadinya yang dulu. Sosok yang hangat dan ceria. Juga sosok yang manja. Hanya saja kali ini dia manja kepada Dennis, orang yang sebenarnya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya. Amanda baru saja tertidur ketika Dennis sampai rumah, dia membawa tentengan box makanan yang masih hangat dan menempelkannya di kening Amanda yang tertidur di sofa ruang tamu, dengan kaki terangkat ke sandaran sofa. Amanda berjengit dan membuka mata, melihat Dennis tertawa membuatnya manyun. Dia pun menarik bungkusan itu dan memangkunya, lalu duduk dan membuka bungkusannya setelah sebelumnya mencium aroma khas martabak dari tentengan yang dibawa Dennis itu. “Beneran belum makan?” Dennis memutar tubuh dan duduk disamping Amanda, Amanda menggeleng dengan mulut yang sudah tersumpal martabak rasa coklat tersebut. “Malem banget pulangnya?” Amanda melihat ke jam dinding yang menunjukkan angka dua belas malam. “Tadi pas di whats-App baru mulai filmnya.” Dennis mengganti channel televisi, sambil kakinya melepas sepatu yang masih melekat. “Mas, uang yang program Ran TV belum keluar ya?” “Belum lah, lusa aja baru ketemu sama vendor yang dari Singapore. Mau ikut?” “Lusa? Hari senin dong? Kan kamu kerja mas?” “Ambil cuti, soalnya vendornya juga cuma bisa ke sini hari itu.” “Oke aku ikut.” Amanda terus saja mengunyah martabak yang diberikan Dennis, tak sadar mulutnya belepotan hingga Dennis harus menahan tawa ketika melihat dia berbicara. Dan lugunya Amanda dia tidak sadar bahwa aksi konyolnya itulah yang sedari tadi ditertawakan Dennis, bukan acara TV. Dennis juga sepertinya tidak berniat memberi tahu Amanda karena dia merasa wajah Amanda yang belepotan coklat itu sangat lucu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN