Lima

1145 Kata
Amanda memasuki mobil hatchback keluaran perusahaan ternama berwarna silver yang dikemudikan Dennis dengan kening berkernyit, pasalnya dia tidak pernah tahu bahwa Dennis mempunyai mobil sebelumnya. Apalagi Dennis memang tidak pernah membawa mobil itu kerumah. Setelah mendengar penjelasan bahwa mobil itu memang disewakan ke temannya yang mempunyai rental mobil, barulah Amanda percaya. Lagi pula melihat ke latar belakang keluarga Dennis yang sebenarnya berasal dari kalangan berada wajar saja jika pria itu mempunyai kendaraan pribadi beroda empat tersebut. Ayah Dennis bekerja sebagai manager di perusahaan berbasis IT terbesar di Indonesia, sudah lebih dari tiga puluh tahun. Bahkan seharusnya dia sudah pensiun hanya saja perusahaan masih mengkaryakannya dan menangguhkan masa pensiunnya. Dari beliaulah bakat mahir komputer Dennis diturunkan. Sejak kecil Dennis sudah biasa memegang komputer, belajar mengenai pemrograman, sehingga lama-kelamaan dia selalu haus rasa penasaran akan hal-hal baru yang di cetuskan untuk perkembangan teknologi tersebut. Ilmu komputer merupakan makanannya sehari-hari. Sementara ibunya merupakan pemilik toko kue sederhana yang berada di pusat ibu kota. Kue-kue yang dijual di toko itu merupakan resep pribadinya sendiri, makanya tak heran jika banyak orang yang memilih untuk memanjakan lidah di sana. Hari ini Dennis mengenakan pakaian formal, setelan jas hitam fit body dengan kemeja biru serta dasi bermotif yang menambah kesan resmi. Penampilannya membuat dia terlihat berkali lipat lebih tampan dan dewasa. Sementara Amanda mengenakan kemeja putih lengan pendek yang dimasukkan ke dalam pencil skirt berwarna abu-abu dengan ikat pinggang kecil yang menghiasi pinggulnya. Rambut Amanda dikuncir ekor kuda namun tetap terlihat elegant, dia juga mengenakan tas tangan berwarna hitam serta pump shoes yang juga berwarna hitam. Tidak sampai satu jam, mereka telah sampai di tempat temu janji dengan klien, sebuah restoran sederhana di pusat kota menjadi pilihannya. Ada ruang-ruang besar yang dapat disewakan khusus untuk acara meeting atau perjamuan. Setelah memarkirkan kendaraannya, Dennis ke luar sambil menyampirkan tas laptop di bahu. Lalu mereka berdua memilih kursi yang agak dipinggir ruangan agar lebih leluasa karena mejanya pun cukup besar. Tidak berapa lama, dua orang pria berwajah khas asia dengan mata agak kesipitan dan tubuh yang cukup besar, ditaksir usia mereka sekitar lima puluh tahunan. Menghampiri Dennis dan menjabat tangannya. “Mister, this is my Partner... Amanda,” kenal Dennis pada kedua kliennya, mereka pun berjabat tangan saling mengenalkan diri. Jujur Amanda merasa dihargai ketika Dennis menyebut dirinya Partner, bukan assisten atau sekretaris. “Nice to meet you, Amanda,” sapa salah satu dari mereka. “Nice to meet you too Mister.” Amanda memang tidak pandai bercakap dengan bahasa inggris meskipun dia mengerti jika ada tulisan atau ucapan bahasa inggris. Dan kemampuannya cukup berguna ketika dia terpaksa mendonwload subtitle english saat menonton drama korea karena subtitle Indonesia terkadang lebih lama muncul. Kini Dennis sudah memesan makanan dengan tab yang tersedia di meja. Tab yang memang khusus digunakan untuk memesan menu. Dennis sempat menceritakan bahwa restauran ini memakai program aplikasi buatannya sehingga dia cukup kenal dengan pemiliknya. Empat gelas coffe dengan empat slice cheese cake sudah tersedia di meja, diantar oleh pelayan pria yang terlihat sangat rapi. Tidak membuang waktu lama, Dennis mulai memaparkan mengenai program buatannya. Sementara Amanda lebih memilih memakan cheese cake itu. Sesekali Dennis melirik Amanda yang terlihat serius menyantap kue yang lumer di mulut tersebut. Bahkan ketika kue di piringnya habis, dengan diam-diam Dennis menyodorkan kue miliknya itu ke hadapan Amanda, karena dia masih menjelaskan tentang program dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Satu poin plus lagi bertambah untuk dennis, dia juga jago bahasa inggris. “Mau nambah?” tanya Dennis ketika Amanda sudah menghabiskan lagi satu slice cheese cake yang tadi disodorkannya. Saat ini dua klien itu terlihat sedang berdiskusi mengenai program yang ditawarkan Dennis “Enggak Mas, sudah kenyang. Ini masih lama ya?” “Sebentar lagi kok.” Dennis mengalihkan pandangan pada dua klien yang mulai mengajaknya berdiskusi lagi. Tidak lama setelah itu mereka pamit karena ada urusan lain. Meninggalkan Amanda dan Dennis yang masih merapihkan laptopnya. “Ini sayang banget lho kuenya enggak disentuh sama sekali, mereka sebenarnya tadi niat pesen gak sih?” Amanda melirik ke arah dua slice cheese cake yang masih utuh dimeja. “Ya sudah makan aja Man,” Dennis masih memusatkan perhatian ke laptopnya. “Dibungkus aja boleh enggak mas? Dulu waktu ada Bunda, kalau kita makan enggak abis pasti dibungkus sama beliau, mubazir soalnya.” “Ya sudah panggil saja pelayannya.” Amanda baru akan mengangkat tangan memanggil pelayan cafe tersebut, namun tindakannya buru-buru dicegah Dennis. “Pakai ini Amanda!” geramnya, “nih kan ada fiture call di tab ini, tinggal kamu klik ntar pelayannya ke sini, enggak perlu repot-repot teriak-teriak.” “Wah penemuan Mas Dennis memang keren. Daebak!” Amanda mengangkat dua jempolnya, seorang pelayan pria membawa potongan kue tersebut untuk segera dibungkus, lalu dia kembali lagi dengan menyerahkan dus kecil berisi kue tersebut. Bertepatan dengan Dennis yang sudah menutup laptopnya, mereka berduapun pergi meninggalkan cafe tersebut. Cuaca cukup panas siang ini, jalanan juga padat sehingga kendaraan melaju tidak lebih dari dua puluh kilo meter perjam. Dari kejauhan terdengar suara Sirene yang meraung-raung. Amanda menoleh ke belakang memperhatikan mobil pemadam kebakaran yang terjebak macet. “Mas ada mobil pemadam di belakang kita.” “Iya, aku pinggirin dulu mobil kita, kasih lewat. Pasti urgent!” dengan lihai Denis memutar stir mobilnya hingga beberapa mobil di belakang mobil mereka ikut menepikan mobil memberi jalan untuk petugas pemadam itu. Tapi tidak dengan mobil-mobil di depan mereka. Dennis bahkan ikut mengklakson agar pengendara mobil itu peka kalau ada yang harus di prioritaskan di jalanan ini. “Kenapa sih mereka enggak mau minggir! Enggak mikir apa kalau seandainya rumah mereka yang kebakaran!! Atau misalnya itu mobil ambulance! Ada anggota keluarga mereka yang butuh pertolongan secepatnya!! Satu menit itu berharga banget lho! Kesel!!” Amanda membuka jendela mobil Dennis. Dan melongokkan setengah badannya keluar. “WOYY MINGGIR, KASIH LEWAT!!! WOY JALANAN PUNYA KALIAN SENDIRI MEMANGNYA!!” teriakan Amanda rupanya lebih didengar oleh mereka, dibanding teriakan petugas pemadam yang mulai kesal tidak diberi jalan. Beberapa pengendara meminggirkan mobilnya, lalu mobil petugas pemadam kebakaran itu lewat. Amanda bersandar pada jok sambil memegangi dadanya. Matanya memerah menahan marah dan tangis. “Man, kamu enggak apa-apa kan?” Dennis menoleh ke Amanda yang masih menatap nanar pada jalanan. “Inget ayah sama bunda Mas, saat mereka dibawa pakai Ambulance ke rumah.” Amanda menitikkan air mata. Dadanya sesak mengingat kematian orangtuanya, harusnya mereka pulang dengan keadaan berbahagia. Tapi rupanya Tuhan lebih sayang dengan mereka berdua. Rupanya cinta mereka memang dibawa sampai mati. Tangan Dennis terulur, mengusap pelan pucuk kepala Amanda. “Sudah enggak apa-apa, mereka sudah bahagia di sana. Tenang ya.” Amanda mengambil tissue di dashboard dan mengelap air yang masih menggenang di pelupuk matanya, serta membuang ingusnya dengan kasar hingga berbunyi nyaring. Dennis tak kuat menahan tertawa, dia pun menutup mulut dengan telapak tangan agar suaranya tidak terdengar wanita yang masih terlihat -mellow namun tetap jorok- tersebut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN