Dennis memarkirkan sepeda motornya di bagian samping rumah lalu membuka pintu depan yang memang tidak terkunci. Tatapannya terpaku pada sosok gadis yang mengenakan baju tidur model daster bergambar tokoh kartun. Yang saat ini sedang duduk di depan televisi sambil makan mie instan.
“Nonton drakor lagi?” Pandangan Dennis mengarah ke layar datar yang menampilkan sosok aktor korea.
“Maksudnya –lagi- apa ya?” Amanda berbicara dengan mulut yang penuh, dia pun mengelap kuah mie yang mengotori pipinya.
“Tadi pagi pas aku berangkat, kamu nonton drama korea kan?”
“Ini memang masih yang tadi pagi kok, kan dua puluh satu episode.”
“Jadi seharian ini kamu duduk di depan tivi?” Amanda hanya mengangguk, lalu menekan remote agar mem-pause tayangannya karena dia harus memindahkan piring itu ke tempat cuci piring.
Dennis mengekornya sambil mengambil air mineral dari dispenser, meminumnya sampai tandas.
“Cuma suka nonton drakor?”
“Enggak sih, aku suka nonton apa aja, terutama yang berseri kayak The Walking Dead juga aku suka.” Amanda mengambil gelas bersih lalu menuangkan minuman, meminumnya sampai habis dan meletakkan gelas tersebut di wastafel tanpa berniat mencucinya.
Dennis ingat sekali pagi tadi sebelum kerja dia sudah mencuci semua piring kotor, tapi sekarang lihat lah! Piring kotor masih nampak menumpuk di sana.
“Sudah nonton yang session delapan?” tanya Dennis, Amanda menggeleng lemah, dia harus menekan keinginan untuk nonton film yang episodenya hampir mengalahkan sinetron Indonesia tersebut karena terlalu banyaknya. Demi mengirit kuota internet yang dia mampu beli.
“Kenapa?”
“Enggak dapet link untuk download, kalaupun nonton online gambarnya jelek.”
“Kan bisa diatur pengaturannya jadi yang 720 jangan yang 360 jelas jelek lah.”
“Enggak punya kuota. Sayang kuotanya. Itu aja aku nonton drakor ulangan. Dari pada bete di rumah.” Amanda memasang tampang melas sambil memperhatikan notif kuota di handphone yang sudah amat sangat kritis.
Tangannya beralih menekan tombol wifi dia mencoba berkali-kali menekan password tapi wifi itu masih juga ter-proteks.
“Mas, dari kemarin aku dapet sinyal Wifi tapi enggak tau passwordnya, sinyalnya kenceng banget nih, tapi susah banget dibuka padahal aku sudah pakai aplikasi hacker canggih.” Amanda melompat-lompat sambil melambaikan handphone seolah jika dia menggoyangkan handphonenya dia dapat menangkap sinyal wifi gratisan.
“Oh jadi kamu yang dari semalam coba-coba ngejebol wifi aku?” suara Dennis menjadi tinggi ditambah pelototan dan tangannya yang sudah bertolak di pinggang.
“Maksudnya?” Amanda menautkan alisnya, namun dia seolah mengetahui sesuatu lalu menepuk keningnya sendiri.
“Ohhh, jadi Mas Dennis yang pake wifi dengan kekuatan sinyal luar biasa itu? Bagi passwordnya dong mas.” Amanda mengedip-ngedipkan mata sambil memasang tampang melas.
“Enggak! enak aja,” sungut Dennis berjalan ke arah kamar, diikuti oleh Amanda yang masih merengek minta password.
“Ayolah Mas.”
“Enggak mau! Ish !!” Amanda bahkan menarik lengan Dennis, tapi lelaki itu menepisnya dan berhenti di depan pintu kamar. Lalu dia membalikkan tubuh ke arah Amanda sambil bersandar pada pintu kamar yang masih tertutup.
“Oke, aku mau kasih, tapi ada syaratnya.”
Mata Amanda berbinar, “Apa syaratnya?”
“Kamu harus nyuci piring setiap habis dipakai, langsung di letakkan di tempatnya masing-masing setelah selesai. Enggak ada tumpukan piring kotor macam itu lagi. Bagaimana?”
“Deallllll!!!” teriak Amanda kegirangan. Dia menjabat tangan Dennis dengan paksa.
“Jadi passwordnya?”
“Dennis Ganteng, gak pake spasi.”
“Idih itu passwordnya??” Amanda membelalak tak percaya pada pria super narsis di hadapannya. Ya memang diakui Dennis ganteng dan kegantengannya di atas rata-rata tapi enggak harus dijadiin password juga kali.
“Enggak mau? Ya sudah nanti aku ganti dan kamu enggak boleh minta lagi!” Dennis hampir masuk kamar ketika dengan cepat Amanda menarik lengannya. Setelah memastikan password itu benar, Amanda senang bukan main, dia bahkan melonjak-lonjak karena terlalu senangnya.
“Makasih yaa, eh betewe ngapain Mas pake wifi di rumah. Kekuatan sinyalnya juga besar banget?” Dennis membuka pintu kamarnya lebih lebar. Nampak di hadapannya ada sebuah meja yang dialih fungsikan menjadi meja laptop. Berjejer tiga laptop di sana dalam posisi menyala.
Dennis berjalan masuk diikuti oleh Amanda yang memandang takjub pada layar yang menampilkan banyak kode-kode yang dia tak mengerti.
“Jadi, aku lagi bikin program untuk Ran TV, kamu tau kan?” Amanda mengangguk, lanjutnya. “Ran TV katanya mau pindah gedung, nah kebetulan dia mau ubah semua server makanya aku mau ngajuin program yang aku buat, siapa tau proyek ini deal? Lumayan bisa dapet tambahan modal nikah.”
“Program? Kayak Idol atau got talent gitu?” tanya Amanda membuat Dennis tertawa, dia duduk di ranjang sambil tangannya mengklik dialog box yang muncul di layar laptop.
“Bukan lah! jadi simple-nya kayak begini. Acara yang kamu tonton di tivi itu sebelum disiarkan ke seluruh penonton, biasanya kan di edit dulu, habis itu dikirim ke sebuah alat namanya server, nah dari server baru dikirim ke semua penonton di seluruh Indonesia atau bahkan sampai ke luar negri.”
“Jadi server itu ibaratnya sebuah DVD, tapi dia bisa nampung materi atau acara yang ingin disiarkan, begitu.” Amanda manggut-manggut meskipun dia tidak terlalu mengerti juga.
“Ini tugas kantor?” tanyanya
“Bukan, ini side job aku. Sampingan. Aku biasanya nanganin proyek-proyek kecil kayak rumah makan yang sudah berbasis internet, di mana pemesannya bisa memilih menu dari tablet yang tersedia di setiap meja, tinggal cheff masak pesanan itu dan pramusaji hanya tinggal mengantarnya tanpa perlu mengganggu aktifitas pelanggan.”
“Oh iya pernah denger tuh.”
“Iya side job aku yang kayak itu, semua kan sekarang sudah berbasis digital.”
“Nanti kamu yang nanganin proyek ini sendiri ke Ran TV?”
“Enggaklah.” Dennis mengklik lagi dialog box yang muncul di laptopnya.
“Aku kerja sama, denganvendor yang nyediain alat. Aku cuma bikin programnya aja, lagian modalnya gede bisa di atas dua milyar untuk pengadaan alat itu.”
“Wow ... !”
Amanda masih memperhatikan Dennis yang mulai menekan tuts keyboard di laptopnya terlihat serius sekali. Bahkan Dennis mengambil sebuah kacamata dan mengenakannya, membuatnya nampak jauh lebih dewasa.
“Oiya kamu lagi enggak ada kerjaan kan? Bagaimana kalau bantuin Aku aja sini.”
“Bantuin apa? Dapet komisi enggak?” Amanda duduk di ranjang samping Dennis.
“Hmm ntar lo dapet sepuluh persen bagaimana? Tugas kamu gampang kok,cuma tekan bacaan ‘Yes’ setiap ada dialog box yang muncul kayak begini nih.”
“Sepuluh persen doang?”
“Yeee... nilai kontrak ini klo deal minimal seratus juta aku dapat, kamu hitung sendiri deh sepuluh persennya berapa? Mau enggak? Lagian aku kan kerja jadi agak lama klo enggak ada yang standby depan laptop.”
“Mau ... mau ... !” ujar Amanda antusias, setelah menghitung uang yang akan diterimanya. Hanya duduk depan laptop dapat sepuluh juta. “Eh tapi klo seandainya aku mau makan atau mau ke toilet trus muncul tulisan –iyes iyes- itu nbagaimana?”
“Ya enggak apa-apa, cuma jadinya lebih lama downloadnya tapi enggak masalah sih. Setiap kamu klik tombol yes dia akan mulai download dan upload tugas.”
“Yang laptop itu fungsinya apa?” tunjuk Amanda ke laptop di sebelah kanannya, laptop yang memunculkan kolom design.
“Oh itu playlist, aku lagi mendesign playlistnya. Kayak misalnya kamu mau dengerin lagu, nah kamu kan perlu atur lagu apa aja yang mau kamu dengar. Sama kayak di tivi, playlist itu fungsinya untuk mengatur jadwal tayang program atau iklannya. Ini font sama kolomnya lagi aku design. Klo kamu setuju mulai besok kamu sudah bisa ngerjain ini.” Amanda mengangguk setuju, dia pun keluar dari kamar Dennis setelah mendengar beberapa instruksi tambahan.
Instruksi terakhir tentunya tentang dia yang wajib cuci piring sekarang juga, atau password wifinya akan diganti oleh Dennis agar tidak bisa pakai lagi.
***
“Kamu enggak mandi?” tanya Dennis ketika dengan langkah gontai Amanda memasuki kamarnya pagi ini. Tugas menjadi assisten Dennis sudah dimulai.
Sementara pria itu sudah rapih mengenakan kemeja lengan panjang dan celana bahan, juga sepatu pantovel. Aroma parfum menyeruak ke indera penciuman Amanda. Tapi wanita itu cuek dan mulai menekan tombol di laptop Dennis.
“Jadi tugas aku cuma yes-yesin aja kan? Enggak akan ada tulisan yang lain kan?”
“Enggak, cuma yes-yesin aja.” Dennis terkekeh geli mendengar kata ganti dialog box menjadi –iyes iyesin- ala Amanda.
“Aku berangkat ya.”
“Siap bos!!” Amanda menaruh tangan di keningnya bergaya hormat lalu mulai menekuri laptop Dennis.
Seharian dia berkutat dengan laptop Dennis yang lama kelamaan mulai dia bisa baca ritmenya, untuk file yang besar kolom yes akan muncul lama bisa sampai tiga puluh menit sekali, namun untuk size yang lebih kecil kolom yes muncul cukup cepat, dia pun bisa membaca progress dari jendela bawah di sudut monitor tersebut.
Karena iseng, Amanda memutuskan untuk membantu mendesign playlist yang dikerjakan Dennis, toh dia tahu caranya jika hanya mengubah latar dan warna font saja.
***
Dennis pulang kerja lebih larut dibanding biasanya, ketika dia masuk kamar, terlihat Amanda yang sudah menahan kantuk, sedang tertelungkup di ranjang. Sementara tangannya masih memegang mouse.
Matanya mengarah ke pintu kamar Dennis, lelaki itu tersenyum meski wajahnya nampak jelas kalau sedang kelelahan.
“Sorry ya, tadi banyak banget kerjaan di kantor maklumlah cuma karyawan biasa.” Dennis melepaskan sepatunya, lalu melihat kinerja Amanda, setelah mengecek proggresnya nampaknya besok juga dia sudah bisa menyelesaikan membuat program ini.
Amanda mengulet dan bangkit dari ranjang nyaman Dennis, dia beranjak pergi sambil menguap. Hingga suara teriakan Dennis membuatnya memutar tumit dan membelalakkan mata.
“Kenapa?”
“Ini, kamu apa-in playlist aku! Warnanya sumpah kayak gado-gado!!”
“Ya elah Mas dikira apaan. Lagian biar menarik Mas, jadi karyawan bisa bedain mana program siaran langsung, mana progran re-run mana program berita, sinetron dan mana yang iklan kalau dibedain warnanya gini ya kan?”
“Amanda!!!” Geram Dennis, “enggak perlu ini... cukup font tulisan hitam dengan latar abu-abu saja... biar mereka yang nentuin mau warna apa kek! Kamu pikir mereka anak TK yang suka dikasih warna warni!” Kentara sekali Dennis menahan sabar, dia bahkan mengepalkan tangannya dan menggigit kepalan itu kesal.
Sementara Amanda hanya mengerucutkan bibirnya.
“Pokoknya kamu harus ganti jadi warna semula. Sekarang!”
“Iya. Iya!” Amanda menghentak-hentakkan kakinya menuju ranjang Dennis dan mulai menekan tombol perintah untuk mengganti icon dan sebagainya.
Lain halnya dengan Dennis, dia memilih mandi lalu makan dari pada emosi dengan tingkah asisten barunya yang pemalas dan terlalu kreatif itu.
Satu jam kemudian Dennis baru masuk ke kamarnya ketika melihat Amanda sudah tertidur pulas sambil tertelungkup di ranjang. Matanya menilik ke laptop yang menampilkan playlist sudah rapih seperti sedia kala.
Tanpa dia tahu bahwa ini pertama kalinya semenjak lima tahun belakangan, Amanda bisa tertidur pulas di kamar ini. Kamar yang menyimpan sejuta kenangan dengan mendiang orangtuanya.
Kamar yang selama lima tahun ini sengaja diabaikan karena terlalu sakit mengenang berbagai memori tentang keintiman dirinya dengan ayah bunda.