BAB 4

1406 Kata
"Kita gak bisa dengerin cuma dari satu pihak, seharusnya kita juga denger dari pihak Dimas itu baru namanya adil." Sambil terisak dan berlinangan air mata, Dewi menyuarakan sebagian dari isi hatinya selama ini. Walaupun dia marah dan kesal, tapi entah kenapa ada sisi dari hatinya yang masih percaya pada Dimas. Ditambah lagi semua hal yang terjadi seperti tidak masuk akal. Sebab semua orang tampak langsung menghakimi laki-laki itu tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Termasuk kedua orang tua Dewi yang langsung memutuskan hubungan dengan keluarga Dimas. "Udah jelas. Laki-laki b******k itu gak akan mengakuinya. Jenis laki-laki tidak bertanggung jawab kaya dia dari awal juga udah kebaca sikapnya bakal kaya gimana." Dewi mendengus masih tidak setuju dengan pandangan kakaknya itu. "Dari mana lo tahu kalau dia gak bertanggungjawab? Cuma perkiraan lo aja kan ? Persepsi itu tercipta dari gumpalan keegoisan yang lo miliki aja Alvin! Stop atur gue! Gue udah gede. Gue mohon berhenti ikut campur urusan gue." Kejadian tadi benar-benar membuat Dewi sangat Emosi. Bagaimana tidak. Setelah memendam Rindu berminggu-minggu dan akhirnya dapat bertemu dengan laki-laki pujaannya. Tapi kakak jahanamnya itu tidak memberinya kesempatan lima menitpun untuk berbicara dengannya. Padahal Dewi hanya ingin mendengar penjelasan dari mulut Dimas secara langsung. "Ya! Gue memang kakak yang egois. Tapi dari semua keegoisan gue selama ini, gak ada yang lepas dari kebaikan lo sebagai adik gue. Kalau lo tanya kapan gue berhenti ikut campur, Sampai gue jadi hantu gentayangan sekalipun, gue akan tetap ikut campur jika itu menyangkut kebaikan lo." Setelah mengucapkan kalimat panjang terakhirnya itu, Alvin langsung beranjak menuju kamarnya. Mengabaikan adiknya yang sedang sesenggukan sambil sesekali menyeka airmatanya. Alvin bukan tidak ingin menghibur, dia hanya tidak mau memperpanjang perdebatan mereka. Sementara Dewi dengan langkah gontai juga ikut masuk ke kamarnya. Menutup pintunya dengan keras sebagai pelampiasan emosinya yang masih terpendam. Kembali menangis dengan keras. Hingga dia merasa lelah kemudian beranjak menuju kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sepucuk surat coklat yang belum dia buka sama sekali isinya. Titipan Dimas yang diberikan padanya melaluli Lisa kemarin. Perlahan dia buka amplopnya dan mengeluarkan isinya. Dahi Dewi mengkerut. Dia pikir surat ini akan berisi penjelasan Dimas mengenai wanita itu, tapi ternyata bukan. Aku bersumpah akan berjuang untukmu. Aku hanya butuh waktu. Karena itu berilah aku waktu dan aku akan memberimu seluruh dunia. Dimas Dewi mengernyit heran. Isi surat Dimas seolah menyimpan misteri yang dalam. Membuat perempuan itu mulai mengira-ngira. Sebenarnya ada rahasia apa dibalik semua masalah ini? *** Dimas termenung sambil memandang hamparan perkebunan teh milik Dino. Menghembuskan napasnya dengan kasar ketika otaknya mulai buntu memikirkan cara untuk menyelesaikan masalahnya. Selama ini laki-laki itu tidak pernah ambil pusing dengan para wanita yang tiba-tiba memutuskannya ketika Dimas sudah mulai serius menjalin hubungan. Dia pikir wajah tampan dan harta berlimpahnya bisa membuatnya mendapatkan seribu wanita pengganti sekalipun. Semua itu terjadi ketika laki-laki itu masih tinggal di Paris dulu, tapi bahkan ketika Dimas sudah pulang ke Indonesia permainan itu kembali terjadi. Apalagi sekarang melibatkan orang-orang terdekatnya. "Gue bayar lo bukan buat ngelamun!" Tepukan Dino di bahunya membuyarkan seluruh pemikiran beratnya. Dimas terkekeh. "Ini jam makan siang kelles, gue kan lagi istirahat." Dino berdecak menanggapi pembelaan Dimas. "Udah sih Dim, perempuan di dunia ini banyak. Dengan tampang lo ini, gue yakin kalau lo buka lowongan calon istri pasti ribuan yang ngantri." Dimas menyipitkan matanya sambil menatap Dino yang sedang tersenyum jahil itu penuh permusuhan. "Gak usah kasih gue saran kalau sesat." Ucapnya penuh sarkasme. Dino semakin tergelak. Mereka berdua memang belum lama saling mengenal, tapi Dino merasa Dimas adalah laki-laki dengan hati yang tulus. Mungkin saja kebanyakan orang tidak bisa membaca itu mengingat reputasinya yang kejam di dunia bisnis. "Gue cuma kasih saran yang paling mudah bro, daripada lu terus dihina sama keluarga Dewi. Terus terang gue sedikit gak terima. Terlebih lagi sikap bokap lu yang bikin gue ikut emosi." Dimas tersenyum. Merasa beruntung memiliki dua sahabat yang tidak pernah meninggalkanya disaat terburuk hidupnya. Walaupun Dimas belum lama mengenal Dino, tapi tidak bisa dipungkiri ada perasaan hangat di dadanya merasakan Laki-laki itu menganggapnya seperti saudara. "Gue tetep mau berjuang bro, gimanapun beratnya. Gue mau buktiin sama bokap gue bahwa gue bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan uangnya. Lagian gue penasaran sama siapa yang ada di balik semua ini." Dino kembali menepuk pundak sahabatnya itu. Seolah mengalirkan semangat yang begitu besar disana. "Gue bantu sebisa yang gue mampu kalau gitu." Ucap Dino tulus. "Thanks bro." "Makan siang dulu yuk, istri gue yang cantik undah masak dengan susah payah. Dia suka ngamuk kalau masakannya gak dimakan!" Dimas tertawa dibuat-buat. Sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding membayangkan masakan Nancy akan melewati tenggorokannya nanti. Tapi melihat pelototan Dino dia tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu sampai dirumah Dino yang juga merangkap kantornya itu, telah tersaji berbagai hidangan di meja makan. Dari wujudnya memang terlihat menggiurkan, tapi Dimas tahu pasti bahwa rasanya adalah kebalikannya. Dimas bahkan heran, Dino bisa memakannya dengan lahap makanan yang lebih layak disebut racun itu. Diam-diam Dimas mulai percaya ungkapan bahwa cinta bisa merubah tahi kucing rasa coklat Silverqueen. Benar saja, suapan pertama serasa menelan ranjau di tenggorokan Dimas. Dilanjutkan dengan suapan kedua, ketiga dan seterusnya. Dimas ingin pingsan rasanya. Tapi bagaimana lagi, Nancy akan mengamuk jika Dimas ketahuan makan di luar. Lagipula Dimas juga sedang berhemat, mengingat uang yang dimilikinya tidak banyak. Jadi dia tidak punya pilihan selain menelan makanan Nancy yang lama-lama mungkin akan membunuhnya suatu hari nanti. Dino benar-benar luar biasa, laki-laki itu bahkan bisa memakan racun itu dengan lahap dan riang. "Om Dimas, nanti sore anterin Nadi ke pasar malam lagi yah!" Dimas tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. "Siyapp kapten, Nadi mau beli gulali lagi kaya minggu lalu?" Bocah itu mengangguk dengan mantap. "Sama mau naik kora-kora lagi, sama om Dimas yah naiknya? Nadi takut sendirian!" Nancy tersenyum melihat interaksi putrinya dan sahabat suaminya itu. Nadiranya memang sangat mengagumi Dimas. Jika Dimas tidak sedang bekerja, anak itu bisa menempel seharian pada laki-laki itu. Mengoceh sepanjang waktu yang ditanggapi Dimas dengan riang. Selain perkebunan mereka yang bertambah maju semenjak Dimas ikut mengelolanya, Nancy juga bersyukur dengan keputusan suaminya mengajak Dimas tinggal di rumah mereka. Sebab Nadiranya terlihat jauh lebih bahagia. Nancy tidak menyangka sedikitpun bahwa Dimas bisa dekat dengan anak kecil seperti itu. "Siyap kapten, tapi Nadi gak boleh nangis yah kaya waktu itu!" Bocah itu meringis dengan malu. "Kalau ditemani om Dimas Nadi gak akan nangis janji!" Mereka bertiga tertawa melihat rona merah jambu di wajah anak kecil itu. *** Sementara itu disebuah kelab malam. Dentaman suara musik dan suasana temaran yang dihiasi sorot lampu warna-warni itu membuat seorang wanita menari dengan asyiknya. Disekelilingnya ada beberapa pria yang juga ikut menari mengerubunginya. "Sendirian aja manis?" Ucap salah seorang pria yang tidak ditanggapi sama sekali oleh si wanita. "Wuuu gue suka gadis sombong!" Laki-laki lainnya ikut menanggapi. Tapi sang wanita masih menari dengan asyiknya tanpa peduli sekitarnya. Hingga instingnya menangkap tangan seorang lelaki yang hendak menyentuhnya, dia berbalik menikung tangan itu kebelakang tubuh sang lelaki dan menendang bagian belakang ruas kakinya hingga terjatuh dengan ringisan kesakitan di lantai. "Gue gak suka disentuh b******k!" "Carolin ada masalah?" Pengelola Club yang sangat mengenal perempuan bernama Carolina itu langsung datang begitu mendengar ada keributan. "Pengunjung lo bikin gue badmood."Wanita itu melenggang menuju meja bartender diikuti oleh laki-laki pengelola club yang dipanggil Robert itu. "Tumben lo gak di rumah sakit?" Carolin duduk di kursi tinggi dekat bartender sambil tersenyum manis pada salah satu bartender yang dikenalnya. "Margarita!" Ucapnya yang langsung diangguki oleh sang bartender. "Gue lagi cuti seminggu ke depan. Lu pasti udah dengerkan perjodohan bokap gue?" Robert terkekeh. Sahabat sekaligus bosnya itu, memang luar biasa. Dia bekerja menjadi suster di sebuah rumah sakit yang kebetulan adalah milik ayahnya. Sekaligus pemilik club malam yang dikelolanya ini. Hanya saja tidak banyak yang tahu bahwa Carolina evelin adalah salah satu keturunan Robinson. Dia tidak seterkenal Sepupunya "Dewi Robinson" Wanita itu tidak suka orang-orang mengenalnya sebagai salah satu pewaris tahta Robinson. "Biasanya juga lu kabur?" Carolin terkekeh. "Kali ini gue gak bisa kabur Rob." Wanita itu menghembuskan nafasnya lelah. "Kalau gitu kenapa gak buat laki-laki yang dijodohin sama lo kabur aja?" Carolin tersenyum lebar. Seperti menemukan solusi dari maslaahnya yang begitu berat. Cup! Wanita itu mengecup pipi Robert dengan riang. "Lu penyelamat gue Rob." Teriaknya riang sambil beranjak dari tempat duduknya dan melenggang pergi dari sana. "Margarita lo?" Teriak sang bartender. "Kasih buat si ganteng Robert!" Ucap Carolin sambil lalu. Robert terkekeh. "Lo kasih apa sampai berbunga-bunga gitu?" tanya bartender itu penasaran. "Gue kasih dunia." Robert kembali terkekeh mendapati kerutan bingung sang bartender. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN