Setiap orang pasti pernah mengalami fase terburuk di hidupnya. Fase paling menguras hati, fikiran dan tenaga. Bagi Dimas, sekarang adalah Fase terburuk miliknya. Diusir dari keluarganya, tidak diberi sedikitpun fasilitas. Yang dimilikinya sekarang hanya dirinya sendiri. Pikirannya melayang, memikirkan bagaimana keadaan gadisnya sekarang. Sejak terakhir kali bertemu di kafe hingga kini sudah sekitar satu bulan lebih mereka tidak bertemu. Laki-laki itu sibuk mengurus bisnis perkebunan teh Dino yang sedang berkembang pesat.
Mungkinkah dia masih menunggunya? Atau sudah menemukan laki-laki lain di luar sana? Adrian bilang, banyak laki-laki yang mendekatinya setelah kabar skandal Dimas. Laki-laki itu mendengus kesal. Memikirkan Dewi mendapatkan laki-laki lain membuat dadanya panas. Tapi sebagian dari dirinya juga menyuarakan protes keras. Memangnya Dewi masih mau menunggu laki-laki b******k seperti dirinya?
Dimas masih duduk termenung sendirian didalam kamarnya yang sempit. Tentu saja tidak sebesar miliknya dulu di istana Prayogo atau apartemen yang dia rombak menjadi mewah. Lampu kamar sengaja dia matikan. Samar-samar cahaya rembulan masuk melalui tirai jendela yang sedikit tipis itu.
Seumur hidupnya baru kali ini dia merasakan berjuang. Sebelumnya semua hal bisa dia lakukan dengan masa bodo. Tapi jika ayahnya berpikir laki-laki itu akan menyerah maka dia salah besar. Dimas justru bersemangat mengembangkan perkebunan milik Dino. Dia ingin membuktikan bahwa diluar nama MJC group. Dimas bisa membuktikan eksistensinya. Laki-laki itu sudah muak terus mendengar tuduhan sebagai laki-laki tidak bertanggungjawab. Lihat saja nanti apa yang akan dia lakukan. Tidak peduli jika mungkin akan membuat ayahnya sedikit jantungan. Atau ibunya darah tinggi. Yang Jelas, Dimas akan menikahi Dewi. Bagaimanapun caranya.
Termasuk jika dia harus memaksa semua orang untuk merestuinya. Dan Dimas memiliki ide yang sangat brilian untuk semua itu. Tapi ada yang lebih penting sekarang, Dimas harus memastikan dia mapan secara finansial untuk bisa menjadikan wanita seperti Dewi pendamping hidup. Untuk itu Dimas bersumpah akan bekerja dengan sangat giat kedepannya.
Tidak terasa cahaya matahari sudah memasuki celah jendelanya. Menerangi sebagian isi kamar sederhana tempatnya berbaring sekarang. Laki-laki itu masih ditempat semalam, tidak bergeser sesikitpun, tidak tidur dan terus berpikir. Hingga ketukan Nadira dipintunya terdengar nyaring, Dimas bangkit membuka pintu dan langsung menarik gadis kecil itu kedalam gendonganya sambil memberinya ciuman bertubi-tubi.
"Om Dimas gelii...!" Teriaknya nyaring. Nancy yang sedang sibuk di dapur tersenyum simpul. Begitu juga Dino ikut tersenyum dibalik koran yang dibacanya. "Om Dimas lepasinn! Hahaha om bau belum mandi." Ujar gadis manis itu sambil cekikikan.
"Om Dimas gak mandi masih ganteng tuh. Kalau mandi takut tambah ganteng." Kali ini Nadira mencebikan bibirnya mencibir.
"Mana ada orang gak mandi ganteng? Cuma ayah Dino yang gantengnya gak ada yang ngalahin iya kan Bunda?" Nancy mengacungkan jempolnya tinggi tanpa menoleh. Sementara Dino menatap Dimas mencemooh.
"Hari ini jadi meeting sama Niko?" Dino mengangguk menanggapi kemudian menyeruput kopinya.
"Lu yang berangkat yah? Gue mau anter si cantik cek up." Dimas mengangguk. Lagi pula hari ini tidak terlalu banyak pekerjaan.
"Dikantor?" Dino menggeleng.
"Coffiesort yang didekat apartemen lo itu."
"Oh yang deket kampus itu kan?" Dino mengangguk.
"Gak sulitlah lo akrab kan sama dia?"Dimas terkekeh.
"Tapi Niko tidak berkawan dalam bisnis." Mereka berdua terkekeh bersama.
Berkat perkembangan pemasaran produk teh kemasan yang dikembangkan Dimas bersama Dino, mereka bermaksud mengajukan kerja sama untuk menjadi distributor teh di Coffiesort. Kafe terkenal milik Niko Ardiansyah. Semoga saja laki-laki itu menerima tawaran kerjasama ini, karena jika produk mereka bisa memasuki Coffiesort, bukan hanya untung secara finansial. Mereka juga akan semakin melambungkan nama produk mereka yang tergolong baru itu dikalangan masyarakat.
***
Sudah lebih dari sebulan Dewi masih memusuhi Alvin. Wanita itu semakin kesal mengingat sudah selama itu pula Dimas tidak pernah menghubunginya. Apakah laki-laki itu sudah melupakannya? Dewi ingin membanting sesuatu jika memikirkan kemungkinan itu.
Brak! Bunyi nyaring pintu yang dibuka dengan keras membuat Wanita itu mendengus, hampir mengumpat. Tapi tidak membuatnya menoleh sedikitpun. Matanya tetap fokus pada layar televisi besar dihadapannya. Dewi sudah tahu siapa pelakunya. Sudah pasti kakak jahanamnya Alvin. Karena kedua orangtuanya sedang bulan madu entah yang keberapa keliling eropa dan baru kembali sekitar dua minggu lagi.
Tapi bau alkohol yang menusuk hidungnya dengan tajam, mau tidak mau membuatnya menoleh. Disana dilihatnya dengan jelas. Kakak jahanamnya berjalan sempoyongan menuju tangga. Dewi sangat tahu penyebabnya. Sebenci-bencinya Dewi pada Alvin, wanita itu tidak akan tega melihat kakak laki-lakinya seperti itu.
"Apa tidak ada wanita lain selain Vanessa dihidupmu?" Teriak Dewi lantang. Juga kesal . Karena kakak laki-lakinya itu selalu saja seperti ini gara-gara seorang wanita yang hanya menganggapnya seorang teman.
"Apa tidak ada laki-laki lain di dunia ini selain Dimas?" Jawab Alvin sarkas. Dewi diam. Merasa kalah telak. Wanita itu hanya mendengus dan bangkit menuju dapur. Membuatkan teh madu untuk laki-laki patah hati itu. Tanpa mengetuk wanita itu langsung masuk kedalam kamar kakaknya. Di sana Alvin sedang terbaring terlentang sambil menutupi matanya menggunakan salah satu lengannya.
"Minum teh hangatnya!" Laki-laki itu hanya berdehem tidak bergerak sedikitpun. Membuat Dewi kesal.
"Bangun Alvin b******k! Atau gue siram punya lo pakai teh panas ini?" Reflek kedua tangan Alvin langsung menutupi bagian terpenting diselangkangannya. Sambil menatap Dewi horor. Mau tidak mau hal itu membuat Dewi tertawa dan sedikit mengurangi kekesalan di hatinya.
"Cepat minum teh ini laki-laki bodoh!" Alvin bangkit dan menerima teh madu ditangan Dewi dengan kesal. Tapi tidak bisa dipungkiri hatinya sedikit menghangat. Alvin adalah seseorang yang penyayang keluarga. Terutama adik perempuan satu-satunya dihadapanya itu. Melihat Dewi peduli dengannya seperti ini, membuatnya lega. Setelah sebulan lebih kemarin, wanita itu mengacuhkannya.
"Vanessa akan bertunangan minggu depan!" Ucap Alvin pasrah. Dewi masih diam tapi dia maju selangkah dan menarik kepala kakaknya kedalam pelukannya.
"Menurutku kakak adalah laki-laki yang berharga, aku yakin tuhan pasti mengirimkan perempuan berhaga untuk kakak nantinya. Lupakan Vanessa! Cinta tidak bisa dipaksa!" Alvin tersenyum.
"Oke kakak lupakan Vanessa kamu lupakan Dimas, deal?" Dewi mendengus. Melepaskan pelukannya dengan tidak manusiawi. Membuat Alvin terjungkal di tengah ranjang.
"Sudah ku bilang jangan mengatur hidupku kakak j*****m!" Alvin terkekeh. Dan semakin terbahak melihat adiknya keluar dari kamarnya sambil menghentakkan kakinya kesal dan membanting pintunya dengan keras.
"Baiklah jika aku tidak bisa membuat laki-laki itu berpisah darimu maka jangan sebut aku Alvin jika aku tidak memiliki rencana lainnya." Sambil menatap langit-langit kamar laki-laki itu tersenyum.
"Tunggulah sampai dia menjadi laki-laki yang pantas untukmu maka aku sendiri yang akan menjadi saksi pernikahan kalian." Alvin mengucap janjinya dengan mantap sebelum terlelap dan masuk ke alam mimpinya.
***
Dimas masih berbincang akrab dengan Niko setelah satu jam yang lalu mereka baru saja menandatangani perjanjian kerjasama. Yap! Benar sekali. Dimas berhasil! Tinggal menunggu waktu hingga produknya menjadi familiar dikalangan masyarakat. Dan tentu saja diiringi dengan kemajuan bisnisnya.
Dimas memang tidak bisa diragukan dalam hal membujuk seseorang. Laki-laki itu memang sangat jago dalam bernegosiasi dan pemasaran. Ayahnya salah besar jika menganggap Dimas hanya bersantai dalam mengelola MJC. Sebelum dipegang Dimas, MJC memang sudah termasuk dalam jajaran perusahaan raksasa. Jadi eksistensi Dimas tidak terlalu terlihat. Tapi dalam bisnis ini, bisnis yang ia rintis bersama Dino. Mereka benar-benar memulainya dari nol. Dan untuk itu, Dimas belum pernah merasa sebangga ini hanya karena berhasil menandatangani kerjasama.
Pukul tiga sore laki-laki itu berpamitan pulang. Ada beberapa hal yang harus dia urus di Jakarta, sehingga tidak langsung pulang ke Bandung. Salah satunya adalah mengunjungi teman tapi musuhnya, sudah lama dia tidak bertemu dengan Adrian si pemarah itu. Dan sedikit melihat Lisa tentunya..
"Kak Dimas!" Panggilan seseorang menghentikan langkahnya yang hendak meraih gagang pintu mobilnya.
"Vaness!" Laki-laki itu tersenyum sambil beranjak dan langsung memberikan pelukan hangat pada wanita dihadapanya.
"Lama banget gak main ke Bogor!" Ujar wanita itu dengan nada merajuk. Dimas terkekeh sambil menggoyangkan pelukan mereka.
"Iya gue lagi banyak urusan." Jawab Dimas asal. Vanessa melepas pelukannya sambil menyipitkan matanya, menatap Dimas penuh selidik.
"Banyak urusan apa diusir dari rumah?" laki-laki itu tertawa.
"Ohh lo udah tahu ternyata."Ujarnya enteng.
"Sekarang tinggal dimana? Kemarin Vaness ke rumah anterin undangan pertunangan kak Dimas gak ada." Dengan gemas Dimas mengacak rambut Vanessa. Tanpa dia sadari ada seseorang yang memandangnya dengan bercucuran air mata.
"Rahasia! Kak Dimas pasti datang! Janji." Ujar laki-laki itu sambil menangkup kedua pipi Vanessa gemas.
"Beneran Janji!"
"Iya sepupu aku yang bawel!"
***