"Bagaimana perkembangannya?" Seseorang berpakaian hitam tersenyum miring ke arah lawan bicaranya.
"Dia diusir dari keluarganya." seseorang dihadapannya tertawa.
"Itu bagus, Gue pengen liat gimana hidup anak manja itu tanpa bantuan keluarga besarnya." Mereka berdua tertawa bersama.
"Vin tapi Dewi gak pa-pa kan?" Alvin mengibaskan tangannya ke udara mengisyaratkan tidak ada masalah yang berarti.
"Anak manja itu biar jadi urusan gue." Ujarnya kembali menegaskan. Lawan bicaranya kembali mengangguk, krmudian melirik arloji di pergelangan tangannya dan mendesah.
"Udah jam segini, gue balik dulu Vin." Mereka berdua berjabat tangan layaknya teman akrab sebelum saling melempar senyum perpisahan.
Alvin masih duduk sambil mengecek beberapa pekerjaan di tabletnya, ketika tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
"Ngapain dia disini?" Gumamnya. Begitu matanya menangkap seseorang lagi didepan orang itu dahinya kembali mengkerut. Tubuhnya reflek berdiri dan berjalan dengan hati-hati menuju salah satu meja yang dekat dengan targetnya itu. Alvin bukan tipe penguntit apalagi penguping pembicaraan orang, tapi jika itu menyangkut Dewi, Adiknya. Alvin sanggup jadi apapun untuk melindunginya. Benar sekali, sosok yang barusaja dia lihat adalah Dewi. Sedang berbicara serius dengan seorang wanita yang tidak Alvin kenal.
"Mau lo apa sebenarnya?" Nada Suara adiknya yang terdengar jengkel, membuat Alvin mengerti bahwa wanita dihadapan adiknya itu bisa jadi seorang musuh. Laki-laki itu meningkatkan kewaspadaanya.
"Mau gue lo jauhin Dimas, udah jelas kan dia milik gue." Wanita itu tampak mengelus perutnya yang masih terlihat rata. Alvin terkekeh mengerti sekarang. "Jadi wanita itu yang dihamili si b******k Dimas?" Gumamnya pada diri sendiri sambil tersenyum meremehkan.
"Seleranya rendahan!" Ucapnya lagi masih pada dirinya sendiri.
"Sebelum lo tunjukin bukti tes DNA yang sah di depan mata gue, jangan harap gue mundur." Alvin tersenyum bangga mendengar nada berani adiknya.
"Gue cuma kasih peringatan sama lo, gue gak segan-segan buat lukai lo kalau gue masih lihat lo ada disekitar Dimas." Alvin menggertakan giginya geram mendengar wanita itu mengancam adiknya.
"Sayangnya gue gak takut tuh sama lo." Ujar Dewi santai. Wanita itu terlihat sangat geram.
"Kita Liat aja nanti." Dia beranjak pergi meninggalkan Dewi dengan langkah yang dibuat sangat anggun bak seorang model. Dewi memang terlihat santai tapi Alvin menangkap salah satu tangan adiknya menggenggam sendok hingga sedikit bengkok. Laki-laki itu tersenyum, wanita itu tidak tahu saja seberapa menyeramkannya Dewi saat sedang marah. Jika dia tahu, pasti dia akan berpikir dua kali untuk menemui adiknya seperti tadi.
"Ayo pulang! Sebelum lo meledak dan menghancurkan kafe ini." Dewi sedikit kaget mendengar suara menyebalkan itu berbisik dekat sekali di telinganya.
"Aku semakin ingin merobohkan kafe ini mengetahui lo ada di dalamnya." ucapnya geram penuh dengan nada kebencian. Alvin tersenyum miring. Kemudian merangkul pundak adiknya itu.
"Dewi!" mereka berdua menoleh secara bersamaan ke asal suara. Alvin bahkan belum sempat menjawab kalimat terakhir Dewi.
"Dim.... Aaaahhh." Dewi langsung melirik Alvin penuh kebencian setelah dengan tidak manusiawi, kakak jahanamnya itu menariknya menjauh dari hadapan Dimas.
"Ngapain sebut-sebut nama adik gue?" Alvin memulai kalimat sarkasnya. Dewi sudah menggertakan giginya geram, tapi tidak berani membantah kakaknya saat sedang serius seperti ini.
"Gue cuma mau nyapa." Tanpa diduga sedikitpun, Dimas justru terlihat tenang.
"Lo bahkan udah gak ada hak buat nyapa, ngerti gak lo?" Dimas masih tersenyum tenang. Yang justru terlihat menyeramkan dimata Dewi.
"Kalau gue emang udah gak boleh menyapa sebagai teman, anggap aja gue menyapa sebagai sesama manusia." Dino yang sedang berada di kasir hampir saja menyemburkan tawanya mendengar kalimat sok bijak yang dilontarkan Dimas.
"Ohh lo manusia?" Aku Alvin. Dimas sudah membuka mulutnya untuk menjawab, tapi Alvin terlebih dahulu menyeret Dewi berjalan keluar dengan cepat. Laki-laki itu hanya mampu menghembuskan nafasnya perlahan sambil mengusap dadanya untuk bersabar.
"Gue juga baru tahu Dim kalau lo manusia." Ucap Dino sambil terkikik geli. Dimas hanya melirik Dino sedikit kemudian melangkah keluar kafe itu dengan kesal.
***
"Alvin lepasin tangan gue!" Kakaknya itu masih tidak menggubris teriakannya sepanjang perjalanan mereka menuju parkiran.
"Apa bagusnya sih bocah itu? Sampai lo cinta banget?" Mendengar nada serius dalam setiap penekanan kata yang Alvin ucapkan. Membuat nyali Dewi menciut.
"Punya otak itu di pakai! Jangan jadi bego cuma gara-gara cinta. Buat apa lo kuliah sampai S2 kalau milih pasangan yang bener aja gak becus." Hingga dia di dorong masuk kedalam kursi penumpang mobil Alvin, Dewi masih diam saja tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kak, mobil gue gimana?" Cicitnya. Alvin melirik dengan cara menyeramkan membuat Dewi langsung menunduk takut.
"Kalau gue marah doang baru dipanggil kakak, adik macam apa sih lo? Dan bla bla bla bla..." Kepala Dewi ingin meledak rasanya. Tiba-tiba saja keinginannya untuk pindah ke planet dimana tidak ada Alvin di dalamnya naik begitu pesat-hingga memenuhi hampir ke seluruh rongga kepalanya.
"Gak usah mikir mau pindah planet segala! Gak ada penduduk planet lain yang mau nerima adik durhaka kaya lo." Dewi merinding dibuatnya. Bagaimana Alvin bisa membaca pikirannya? Jangan jangan dia...
"Gue bukan dukun! Jangan ngasal tuh otak kalau mikir!" Fix, Alvin memang menyeramkan. Tapi instingnya jauh lebih menyeramkan! Dan Dewi bersumpah akan lebih waspada pada kakak jahanamnya itu.
***
"Dim, kamu tega ninggalin mamah?" Fransiska memasang wajah paling menyedihkan agar putranya itu mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah. Selama ini Dimas memang lebih banyak menghabiskan waktunya di apartemen. Lalu seminggu sekali dia pasti pulang untuk berkumpul dengan keluarganya. Tapi sekarang, mungkin akan lama dia tidak berkunjung ke istana Prayogo ini. Mengingat gengsinya yang setinggi langit itu.
"Biarkan saja anak nakal itu pergi mah, lagipula papah sudah tidak menganggapnya bagian dari keluarga kita." Gunawan berbicara sambil mengalihkan pandangannya dari putranya itu.
"Biarin Dimas pergi mah, Lagian dari dulu juga papah udah gak suka punya anak kaya dimas." Ucap Dimas sambil melirik penuh permusuhan pada sang ayah. Dino yang mengantar Dimas mengembalikan semua aset milik Prayogo, merasa tidak enak sendiri. Tadi sekembalinya dari kafe membelikan pesanan makanan untuk Nancy, mereka berdua memang langsung melipir ke istana megah milik Prayogo.
"Betul banget itu, orang tua mana yang suka punya anak tidak bertanggung jawab." Ucap Gunawan cepat. Membuat Dimas semakin geram. Kalau bukan ayahnya sudah dia hadiahi tinju tepat di wajahnya.
"Dimas bukan orang yang tidak bertanggung jawab pah! Papah aja yang gak pernah mau percaya sama anak sendiri. Anaknya disalah salahin mulu." Bau-bau peperangan sepertinya sudah semerbak tercium di hidung fransiska maupun Dino.
"Buktikan dong kalau kamu bertanggungjawab! Ngomong doang tanpa bukti itu disebut Hoax kamu paham gak? Anak muda tapi gak gaul." Dino Rasanya ingin meledakan tawanya sekarang juga jika tidak mengingat situasi dan kondisinya.
"Pah udah dong, ko malah ribut sih!" Fransiska berusaha melerai.
"Baik, Dimas akan buktikan kalau anak haram itu bukan hasil dari s****a Dimas!" Gunawan tersenyum meremehkan. "Lagian papah juga gak bisa membuktikan anak itu anak Dimas kan? Kita seri. Jangan Cuma nyalahin dong pah, buktiin kalau Dimas salah! Dari dulu Dimas disalah-salahin terus tanpa ada bukti." Dino mendongakkan kepalanya. Mengagumi keberanian Dimas.
"Buktinya Lina hamil, dia datang kesini. Dari dulu kamu memang gak bisa diharapkan, papah gak butuh bukti macam-macam sudah jelas kamu yang salah." Dimas Mendengus. Mendengar Nama itu saja rasanya tenggorokannya gatal, perutnya mual ingin muntah apalagi menikahinya? Dino yang mendengar kalimat Gunawan Prayogo itu ikut kesal. Bagaimana ada seorang ayah yang seperti itu pada putranya sendiri. Lebih mempercayai orang lain yang tanpa bukti daripada anaknya sendiri.
"Baik! ketika Anak itu Lahir kita tes DNA. Jika hasilnya positif maka anak papah yang penuh tanggungjawab ini tidak akan lari." Lagi-lagi Gunawan tersenyum meremehkan.
"Ya sudah tunggu apa lagi?" Dimas mengernyit tidak mengerti. "Ya tunggu apa lagi Sana Pergi! Kamu sudah dicoret dari ahli waris sampai terbukti anak itu bukan benih kamu." Gigi Dimas gemeletuk saking geramnya.
"Memangnya siapa yang dari tadi ngajakin Dimas ngomong mulu?" Laki-laki itu berdiri dan berjalan cepat dengan sangat jengkel.
"Ayo No, kita cari Lina terus kita tenggelamkan di Samudra Hindia." Ujar Dimas keras-keras. Dino hanya tersenyum menanggapi. Walaupun sesungguhnya hasrat ingin tertawanya tidak bisa ditahan lagi.
"Kok gue ngerasa aneh yah. Gak ada bukti bayi itu anak lo, tapi kenapa bokap lo sikapnya kaya gitu? Bahkan sampai usir lo dari rumah." Ucap Dino ketika mobilnya sudah melaju lumayan jauh dari rumah megah keluarga Prayogo.
"Gue udah biasa diperlakukan kaya gitu dari kecil. Udah kebal. Dimata bokap gue cuma Marchel yang selalu benar. Gue pernah dituduh mencuri padahal gue lagi tidur siang. Dan gue dihukum dikurung di gudang sampai pagi padahal gue gak tahu apa-apa." Dino mengernyit mengetahui kehidupan yang dijalani Dimas tidak sesempurna kelihatannya.
"Marchel?" Dimas tersenyum kemudian tangannya mulai memutar-mutar Radio mencari saluran yang bagus.
"Dia kakak gue yang paling sempurna di dunia dan tanpa celah."
"Lo punya kakak?" Dimas mengangguk.
"Udah meninggal. Tapi bokap gue masih gitu aja sampai sekarang. Gue anak pungut kali makanya dia kaya gitu." Jawab Dimas asal. Laki-laki itu terdengar sangat santai menjawabnya, tapi Dino dapat menangkap rasa sakit yang sedang disembunyikan rapat-rapat.
"Memang tidak ada hidup yang sempurna di dunia ini." Dimas terkekeh setuju. Merebahkan kepalanya yang terasa berat sambil menikmati suara merdu Westlife. Grup vokal faforitnya. Memejamkan matanya sejenak, mencoba melupakan sejenak beban berat yang ditanggungnya sendirian.
***