PP-16

1334 Kata
Nadien terburu-buru masuk ke dalam bangunan bertingkat tempatnya bekerja. Ia harus segera bertemu manajernya, Bu Sarah. Jangan sampai Bu Sarah membaca, apalagi menyetujui surat pengunduran diri palsu yang dibuat oleh Daniel. "Ya ampun, Nad, sampai keringetan kayak gitu," ujar Monik. Tapi Nadien tak menyahuti. Ia langsung menuju ruangan Bu Sarah dan mengetuk pintunya. Setelah dipersilakan masuk, Nadien bergegas membuka knop pintu kaca itu dan melangkahkan kakinya ke dalam. "Hmm... maaf, Bu, saya-" "Selamat ya, Nadien atas diterimanya kamu di perusahaan Ranatra. Tapi saya juga jadi sedih kehilangan pegawai serajin kamu," ujar Bu Sarah yang refleks memotong ucapan Nadien. Jadi, Bu Sarah sudah membaca surat pengunduran diri palsunya itu? Dan Daniel menggunakan alasan keluarnya Nadien karena ia diterima di perusahaannya? "B... Bu, saya.. saya tidak mengundurkan diri kok. Itu hanya salah paham. Anda.. sudah menandatangani surat itu?" tanya Nadien khawatir. "Salah paham bagaimana?" kaget Bu Sarah. "Ceritanya panjang, Bu. Tapi yang jelas saya tidak mengundurkan diri kok, Bu. Saya mohon, saya masih bisa bekerja di sini, kan?" Nadien tidak bisa menjelaskannya. Lagi pula, sepertinya Bu Sarah belum tahu tentang hubungan Nadien dengan Daniel. Nadien juga tidak mau jika prahara rumah tangganya sampai terdengar oleh orang-orang di lingkungan barunya. "Tapi serius kamu tidak mengundurkan diri?" tanya Bu Sarah cepat. Nadien mengangguk mantab. "Syukurlah...." ujar Bu Sarah. "Lalu, Bu, suratnya? Anda belum menandatanganinya, kan? Saya masih bisa lanjut bekerja, kan?" "Untuk satu hal itu.... maaf, Nadien." Hati Nadien mencelos mendengar kata 'maaf' yang keluar dari mulut atasannya itu. Bukankah itu artinya Nadien harus kembali mengulang semuanya dari awal? Haruskah Nadien kembali mencari pekerjaan baru? "Mak.. mak.. maksud Ibu, saya-" "Saya tidak bisa memberi keputusan. Dan surat itu sudah saya serahkan ke ruangan Radika," Bu Sarah melanjutkan kalimatnya. Nadien menelan salivanya kasar. Jadi, surat itu sudah berada di tangan Radika? Sepertinya sudah benar-benar tidak ada harapan lagi untuk Nadien. "Kamu coba saja ke ruangan Radika! Setahu saya dia sedang keluar. Cepat, sebelum Radika kembali!" usul Bu Sarah. Nadien seperti melihat cahaya harapan baru. Sepertinya bukan ide yang buruk. Setelah mengucapkan terima kasih, Nadien pun bergegas menuju ruangan Radika. Ia harus cepat, sebelum surat itu benar-benar dibaca oleh Radika. Nadien memencet tombol lift. Namun pintunya tak kunjung terbuka. Sepertinya akan memakan waktu lama jika Nadien hanya menunggu, padahal ruangan Radika hanya harus naik dua lantai dari tempatnya berada kini. Nadien pun memutuskan untuk naik lewat tangga darurat. Ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal ketika sampai di lantai paling atas gedung ini. Tempat dimana ruangan Radika berada. "Mbak, Pak Radika ada di dalam?" tanya Nadien pada sekretaris Radika yang ada di depan ruangan bosnya itu. "Tidak ada, Mbak. Bapak masih di luar. Ada yang mau disampaikan?" Nadien harus memutar otaknya. Apa yang harus ia katakan agar sekretaris itu mengizinkannya masuk? "Hmm... saya... oh, itu, Mbak. Saya diminta Bu Sarah untuk mengambil satu dokumen. Itu tadi tercampur dengan dokumen yang Bu Sarah letakkan di meja Pak Radika, padahal itu dokumen pribadi Bu Sarah," ucap Nadien ngarang. Sekretaris itu menampakkan wajah normal, sepertinya ia mempercayai alasan Nadien. "Oh.. silakan, Mbak. Mau saya bantu?" tawar sekretaris itu. Nadien menggeleng, "hanya sebuah surat kok. Bu Sarah juga sudah menjelaskan ciri-cirinya pasa saya," dusta Nadien lagi. Nadien baru sadar, ternyata ia cukup pandai berakting. Buktinya, sekretaris Radika saja langsung percaya dengan karangannya. Nadien segera masuk setelah mendapat izin dari Mia, sekretaris itu. Nadien harus segera menemukan surat itu sebelum Radika kembali. Ah... ketemu. Ternyata surat itu ada di bagian paling atas dari tumpukan berkas. Untung saja ia datang tepat waktu sebelum.... "Ada apa?" Nadien menelan salivanya kasar. Ia membalikkan badannya menatap ke arah datangnya suara. Dan tap.... di sanalah Radika berada. Lelaki itu menatap Nadien dengan tatapan penuh curiga. "Sa.. saya-" "Kamu ada perlu apa datang kemari?" "I.. itu.. saya cuma.." Kenapa lidah Nadien terasa kelu? Perasaan tadi ia biasa saja saat mengatasi Mia. "Permisi, Pak." Mia datang. Syukurlah, kini perhatian Radika sedikit terbagi. "Bu Nadien ke sini untuk mencari berkas pribadi Bu Sarah yang tidak sengaja ikut diletakkan di meja Bapak. Maaf barusan waktu Anda kembali saya sedang menerima telepon, jadi tidak bisa memberi tahu Anda lebih dulu." Nadien mengembuskan napas lega saat Mia membantunya bicara. Radika kembali menatap Nadien. Membuat Nadien sempat terkejut, namun sebisa mungkin ia menunjukkan ekspresi yang tenang, agar Radika tidak berpikiran yang macam-macam terhadapnya. "Ini, Pak yang Bu Sarah minta ambilkan," ujar Nadien sembari menunjukkan amplop surat pengunduran diri palsunya. Ia sengaja menunjukkan bagian yang tidak ada nama tujuan dan pengirimnya. "Oh.. maaf saya sempat salah sangka," ucap Radika terdengar lebih santai. Nadien tersenyum dalam hati. Untung saja Radika percaya. Dan yang terpenting, surat itu sekarang aman di tangannya. Akhirnya, ia masih bisa selamat. "Kalau begitu, saya izin kembali ke ruangan saya ya, Pak," pamit Nadien. "Oh iya, Nadien. Terima kasih ya, kamu sudah menemani meeting tadi. Saya akan kasih kamu bonus besok, karena kita berhasil memenangkan tender besar tadi," ujar Radika sembari tersenyum tipis. Nadien membalas senyuman Radika. Memangnya, siapa yang tidak senang ketika mendengar akan mendapat bonus dari kerja kerasnya? "Terima kasih, Pak," ungkap Nadien. Radika mengangguk. Radika duduk di kursi kebesarannya setelah melepas jas berwarna hitam yang sedari tadi ia kenakan. "Oh ya, saya baru tahu kalau kamu istrinya Pak Daniel. Tapi kenapa kamu mau bekerja jadi staff biasa di perusahaan saya? Kamu tidak ada maksud terselubung, kan?" selidik Radika. Nadien menggeleng cepat. Ia bahkan tidak pernah kepikiran sama sekali untuk berniat jahat pada perusahaan Radika. "Saya kerja di sini murni karena kemauan saya kok, Pak. Tidak ada hubungannya dengan Daniel atau perusahaannya," jawab Nadien seadanya. "Syukurlah. Saya lega sekarang. Tapi hubungan kalian sepertinya sedang kurang baik. Kalau boleh saya sarankan, coba banyak habiskan waktu berdua dengan Pak Daniel. Dan menurut pandangan saya, sepertinya Beliau tidak setuju kamu bekerja di sini," ucap Radika. Nadien tersenyum tipis. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana ucapan bosnya. Rasanya juga tidak etis membicarakan hal tentang rumah tangganya di lingkup pekerjaan, apalagi dengan bosnya yang berjenis kelamin laki-laki. "Baik, Pak," balas Nadien singkat. Ia benar-benar tidak mau pembicaraan itu dilanjutkan. "Ya sudah, kamu boleh kembali bekerja," ujar Radika. Nadien mengangguk. Dalam hati, ia lega karena bisa segera keluar dari ruangan itu. "Baik, Pak. Kalau begitu saya izin kembali ke ruangan saya dulu, Pak," pamit Nadien sebelum memutar badannya dan berjalan keluar dari ruangan bosnya itu. "Syukurlah, Pak Radika belum membaca surat ini," gumam Nadien sembari melihat lamat-lamat amplop di tangannya. Nadien tidak bisa tinggal diam. Ia harus lebih waspada lagi sekarang. Daniel kini sudah tahu tempat kerjanya. Dan sepertinya laki-laki itu tidak akan menyerah untuk membuat masalah dengan Nadien, termasuk di lingkup pekerjaan Nadien. "Hih... kenapa sih Megatama harus kerja sama dengan proyek itu? Dan kenapa Daniel juga terlibat di proyek itu?" kesal Nadien ketika ia berada di dalam lift sendirian. Ia tahu, berada dalam satu proyek bersama Daniel bukanlah hal yang baik. Itu sama saja memberi peluang Daniel untuk semakin berulah dan mengusiknya. Nadien harus bergerak cepat. Ia harus segera memikirkan jalan keluar untuk masalah ini sebelum Daniel mengambil alih kuasa. "Apa yang harus aku lakukan?" pikir Nadien. Ia berpikir keras, memaksa otaknya bekerja lebih keras hingga tanpa sadar ia mengingat perlakuan Daniel padanya dulu. Nadien ingat bagaimana Daniel berduaan dengan Helen di ruangannya, dan malah mengusirnya saat ia membawakan makan siang untuk laki-laki itu. Nadien juga ingat, tentang surat gugatan cerai yang Daniel kirimkan padanya melalui kurir. Nadien meremat surat pengunduran diri palsu itu dengan tangan bergetar. "Ya. Aku harus mengakhirnya. Kalau dia bisa, kenapa aku tidak?" gumam Nadien penuh emosi yang tertahan. *** Bersambung ..... Aku sendiri merasa ini kurang panjang :D semoga next chapter bisa lebih panjang yaaa... Tak lupa aku minta doanya, supaya aku sekeluarga diberi kesehatan, biar mood nulisku baik dan bisa terus memberikan konten hiburan untuk para pembaca setiap hari selama bulan ini :) Tak lupa juga, aku ingatkan bagi yang belum memasukkan cerita ini ke pustaka, silakan masukkan dulu, biar lebih enak bacanya, dan penulis juga merasa dihargai. Terima kasih sudah setia pada cerita ini. Kalau ada kritik dan saran, jangan sungkan sampaikan di kolom komentar ataupun sosial mediaku yang lain. Mari berteman :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN