PP-15

1264 Kata
Setelah melalui perdebatan alot, di sinilah kini Nadien berada. Dalam mobil mewah berwarna hitam metalik milik Daniel. Wajah wanita itu masih tampak murung, dan enggan menatap sang suami yang sesekali melirik ke arahnya. "Kamu sudah makan siang? Atau kita mau mampir ke rumah makan dulu?" tawar Daniel. Nadien masih acuh terhadap pertanyaan sang suami. "Aku belum sempat makan siang tadi. Mau menemaniku makan?" tanya Daniel. "Tidak." Daniel tersenyum. Akhirnya istri tercintanya itu mau buka mulut. "Aku kira kamu sedang sariawan, makanya dari tadi diam," canda Daniel. Nadien memilih kembali tidak menanggapi ucapan sang suami. "Sayang-" "Bisa nggak sih langsung ke kantor aja?" potong Nadien cepat. Pasalnya Daniel malah mengendarai mobilnya santai, melewati belokan menuju ke kantornya. "Iya ini mau ke kantor kok. Kantorku kan? Karena aku tidak mengizinkan kamu bekerja di sana lagi," balas Daniel santai. Nadien berdecak kesal. "Antar aku ke kantor sekarang atau aku loncat?" ancamnya. "Coba saja!" tantang Daniel. Nadien tak habis pikir dengan jalan pikiran 'calon' mantan suaminya itu. Perasaan seingat Nadien, Daniel dulu tidak segila ini deh. Nadien mencoba membuka pintu mobil Daniel. Toh, Daniel baru saja menantangnya. Tapi ternyata, kunci mobil itu terkunci. "Dan, buka nggak?" kesal Nadien. "Ya nggak lah, sayang. Ngapain aku kunci kalau akhirnya aku bebasin kamu keluar begitu saja?" Laki-laki itu semakin keterlaluan. Amarah Nadien pun mulai terpancing. Namun, sebisa mungkin ia meredamnya. Ia tidak mau menanggapi Daniel dengan terlalu emosional. Buang-buang tenaga saja. "Lalu sekarang, apa mau kamu?" tanya Nadien. "Kamu pulang. Kalau memang perusahaan kamu sekarang sudah tutup, kamu tidak perlu bekerja. Aku masih mampu kok biayain keperluan kamu dan Papa. Atau kalau kamu mau kerja, kamu cuma boleh kerja di kantorku," ujar Daniel. Nadien memutar bola matanya malas. "Dengar kan, sayang?" tanya Daniel lembut. "Dengar. Tapi nggak akan aku turuti kemauan kamu itu," balas Nadien. Daniel memarkirkan mobilnya di tempat khusus. Kini mereka sudah sampai di kantor Daniel. "Ayo!" ajak Daniel yang kemudian segera turun dari mobil. Namun Nadien, masih membeku di dalam sana. Sepertinya wanita itu tidak berniat mengikuti jejak Daniel. Ia tidak mau terkesan menjadi perempuan penurut terhadap 'calon' mantan suaminya itu. Daniel tertawa kecil, lalu beralih ke sisi kiri mobilnya. Ia membukakan pintu untuk Nadien dan mempersilakannya turun. "Ayolah, sayang.. kamu masih mau berduaan denganku di mobil? Tapi aku masih ada pekerjaan. Kita ke ruanganku saja, ya?" bujuk Daniel. Nadien meringis geli mendengar ucapan Daniel. "Sayang-" "Bisa nggak sih, berhenti panggil aku 'sayang'? Dan bisa nggak, antar aku ke kantor sekarang? Aku juga masih ada banyak pekerjaan," kesal Nadien. "Tidak bisa," jawab Daniel yang membuat Nadien menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya lewat mulut. Nadien segera turun dari mobil Daniel, lalu menatap laki-laki itu tajam, berniat mengintimidasi suaminya itu. Namun sayangnya, ia gagal. Karena nyatanya Daniel masih mempertahankan senyum manisnya, bertanda ia sama sekali tak terganggu dengan tatapan tajam Nadien. "Kita masuk, ya!" ajak Daniel. Nadien menghempaskan tangan Daniel di lengannya. "Aku cuma mau kita bicara baik-baik. Jangan seperti ini terus, Nad! Semuanya harus kita luruskan. Kamu cuma termakan emosi makanya-" "Dunia ini tidak berputar mengelilimu, Dan. Semua orang punya pilihan masing-masing. Mereka punya perasaan masing-masing dan tidak bisa kamu tuntut untuk terus dapat mengerti keadaan kamu," potong Nadien dengan nada dalam, namun terkesan tenang. "Kamu sekarang bisa ngomong seperti ini, kamu minta aku mendengar penjelasanmu. Tapi, apa dulu kamu pernah mendengarkan ucapanku saat aku mau menjelaskan semua? Nggak kan? Kamu malah dengan gampangnya mengirimkan surat cerai padaku," lanjutnya. Daniel menatap Nadien sendu. Laki-laki itu tampak menyesali perbuatannya dulu. "Dan, perempuan mana yang nggak sakit hati jika selalu di nomor duakan? Aku tahu Vania sahabat kamu, orang yang sangat berarti bagi kamu. Tapi aku istri kamu. Tidak seharusnya kamu menghakimiku karena masalah Vania, apalagi memang bukan aku pelakunya," pungkas Nadien dengan mata mulai berkaca-kaca. Daniel cukup paham bagaimana besarnya rasa kecewa Nadien terhadapnya. Hatinya pedih melihat sorot mata Nadien yang memancarkan luka yang sangat dalam. "Nad, aku..." Daniel bahkan tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia langsung menarik bahu Nadien dan membawanya ke dalam dekapannya. Nadien cukup terkejut dengan apa yang Daniel lakukan padanya. Ia berusaha memberontak, tapi laki-laki keras kepala itu berhasil menahannya. "Maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Kamu mau kan, memaafkanku?" ujar Daniel dengan suara bergetar. Hati Nadien mencelos mendengar suara laki-laki itu. Suaranya terdengar begitu rapuh, tidak seperti Daniel yang Nadien kenal selama ini. Nadien pun meredam pergerakannya sendiri. Ia terdiam, masih enggan membalas pelukan Daniel yang sarat akan kerinduan yang mendalam. Jujur, Nadien merasa begitu nyaman berada dalam pelukan laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu. Tapi, rasanya begitu sesak jika ia mengingat semuanya. Nadien tidak bisa melupakan tatapan Daniel saat itu. Ia terus terbayang, bagaimana Daniel menganggapnya sebagai sesuatu yang tak berarti sama sekali. Bahkan sampai detik ini pun, Nadien ragu, apakah laki-laki itu benar-benar mencintainya? Apakah Daniel dulu menikahinya benar-benar karena cinta? "Dan," Nadien memanggil Daniel dengan suara yang terdengar lirih. Daniel pun perlahan mengurai pelukannya, lalu menatap Nadien dengan tatapan sendunya. "Ayo kita bercerai," ujar Nadien. Suasana berubah menjadi hening. Daniel tak langsung menanggapi ucapan istrinya itu. Tapi, keduanya masih saling memandang, dengan tatapan yang sulit diartikan. "Hahahahah...." reaksi yang Daniel tunjukkan berhasil membuat Nadien tercengang. Laki-laki itu.... tertawa? Apakah ucapan Nadien barusan seperti suatu lelucon untuknya? "Kamu-" kali ini giliran ucapan Nadien yang terpotong. "Nggak akan. Aku tidak akan menceraikan kamu, sayang. Kita akan kembali, oke?" potong Daniel. Nadien menggeleng. Menurutnya, sakit di hatinya akibat perbuatan Daniel sudah sulit disembuhkan. Semakin ia melihat wajah laki-laki itu, maka rasa sakit itu semakin terasa nyata dan menyiksa. "Aku nggak bisa, Dan. Aku tidak bisa kembali seperti dulu bersamamu. Aku-" "Kamu bisa, sayang. Kamu pulang, ya! Kita mulai semuanya dari awal," ujar Daniel. Nadien kembali menggeleng. Ia benar-benar tidak bisa. Ia tidak mau kembali merasakan rasa sakit itu seumur hidupnya. "Sekarang kita masuk, ya! Kamu temani aku bekerja. Aku masih sangat merindukanmu," pinta Daniel. "Aku harus kembali ke kantor. Aku juga masih punya banyak pekerjaan," tolak Nadien. "Mulai hari ini kamu bisa bekerja di perusahaanku. Perusahaan kita. Kamu tidak perlu lagi memikirkan Megatama Corp. Aku sudah mengirim orang untuk mengurus surat pengunduran diri kamu kok," ucap Daniel seenaknya. Nadien membulatkan mulutnya tak percaya. "Ka.. ka.. kamu-" Daniel mengangguk. "Kamu tenang saja. Sekarang kita masuk, ya! Kamu bebas memilih jabatan apapun di kantor. Aku akan-" "Kamu gila!" desis Nadien kemudian menabrak bahu laki-laki itu dan melewatinya. Nadien enggan menyerah begitu saja. Ia menahan lengan Nadien, namun sekali lagi Nadien memghempasnya kasar. "Aku bisa memberikan apapun yang kamu mau," "Tapi aku tidak butuh itu semua. Sekarang aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri, dan aku tidak membutuhkanmu," ucap Nadien kemudian berlalu. Daniel berusaha mengejar Nadien. Namun, wanita itu lebih dulu masuk ke taksi. Sebenarnya Daniel berhasil mengejarnya. Tapi, pintu taksi itu sudah Nadien kunci. "Nad, jangan pergi! Kita perlu bicara," "Jalan, Pak!" "Nad.. Nadien, buka!" "Ayo, Pak, jalan! Tunggu apa lagi?" kesal Nadien yang ia luapkan pada sopir taksi itu. "I.. iya, Bu. Kita mau ke mana?" "Jalan Kenanga nomor 17. Kantor Megatama Corp," balas Nadien cepat. Taksi itu pun segera melaju, meninggalkan Daniel yang masih terus saja memanggil nama Nadien. "Aaarrrgghh!!" pekik Daniel emosi. Ia melihat kepergian taksi itu dengan tatapan nyalang. "Lihat saja, Nadien, aku pasti akan mendapatkanmu kembali. Kita tunggu saja nanti," gumam Daniel dengan nada misterius. *** Bersambung.... Kali ini tidak terlalu panjang. Karena enaknya motongnya di sini :D Tapi, semua baru saja dimulai. Makanya jangan skip skip apalagi ninggalin cerita ini begitu saja ya :) Yuk yang belum masukin ke pustaka, klik dulu love nya, ramaikan kolom komentarnya  biar aku lebih semangat lagi ngetiknya. Kapan-kapan aku double up deh :)) Terima kasih sudah mampir. Semoga makin suka dengan cerita ini :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN