PP-17

1375 Kata
Daniel baru saja mengadakan rapat internal di perusahaannya. Bukan membahas sesuatu yang besar. Hanya saja ia memang terbiasa melakukan pertemuan rutin dengan para petinggi perusahaannya. Hal tersebut ia lakukan agar lebih mudah memantau bisnisnya, termasuk karakter orang-orang yang ia percayai. "Pak Daniel," panggil Kartika ketika Daniel hendak berjalan melewatinya. Daniel menghentikan langkahnya. Menunggu Kartika yang kini sedang menghampirinya. "Ini, ada titipan surat dari pengadilan, Pak," Kartika menyerahkan sebuah dokumen pada Daniel dengan tangan bergetar. Daniel tak langsung menerimanya. Ia melempari Kartika dengan tatapan tajam seolah menuntut penjelasan. "Hmm.. itu... dari pengadilan. Katanya itu-" "Hhh... sudahlah. Kembali ke tempatmu! Jangan sampai kamu pingsan hanya karena masalah kecil seperti ini!" ujar Daniel kemudian segera masuk ke ruang kerjanya. Perasaannya sudah tidak enak ketika melihat raut wajah aneh Kartika ketika memanggilnya tadi. Ia yakin, pasti ada sesuatu hal yang besar. Daniel membaca sekilas map berwarna coklat yang tadi Kartika berikan padanya. Ia tersenyum miring. Lalu ia membukanya. Terdapat selembar kertas di sana. Daniel kembali tersenyum miring ketika melihatnya. Dengan enteng, tangannya menyobek kertas itu menjadi potongan kecil-kecil lalu menaruhnya di atas meja. Tak sampai di situ saja, Daniel segera mengaktifkan kembali ponselnya untuk mengambil gambar potongan kertas yang baru saja ia sobek itu. Ia hendak mengirimkan gambar itu pada seseorang. "Jangan bermimpi di siang bolong, sayang. Bagaimana kalau sepulang kerja nanti aku menjemputmu?" Seperti sebuah tawaran yang manis. Tapi tentu saja bernada sengit jika wanita yang Daniel kirimi pesan itu yang membacanya. Setelah mengirimkan pesan itu, Daniel meletakkan ponselnya di atas meja. Ia meraup potongan kertas itu lalu meremasnya penuh emosi. "Aku pastikan kamu tidak akan bisa lari dariku, Nadien Elena," gumam Daniel dengan nada garang, sebelum akhirnya ia melempar potongan kertas yang sudah ia kepalkan itu ke dalam tong sampah. Daniel tidak pernah berpikir jika Nadien akan membalasnya seperti ini. Bagaimana bisa wanita itu menggugat cerai dirinya secara sepihak begini? Sampai kapanpun Daniel tak akan menandatanganinya. Entah berapa kali pun Nadien mengirim surat seperti itu lagi, semuanya akan berakhir sama, di tempat sampah. Selang beberapa menit setelah Daniel berkutat dengan pikirannya, lelaki itu memasang senyum misterius. Ia mengecek kembali riwayat percakapannya dengan Nadien. Tanda centangnya sudah berubah menjadi warna biru. Ia tidak perlu menunggu jawaban dari wanitanya itu. Karena ia tahu, Nadien tak akan membalasnya. Kini, Daniel fokus mencari satu nama di ponselnya. Ia harus menghubungi orang itu, agar ia bisa sedikit bermain-main dengan wanitanya. "Selamat siang, Pak Dirgam," sapa Daniel dengan senyum yang senantiasa menghiasi bibirnya. 'Let's play, Baby,' monolog laki-laki itu dalam hati. * Di sisi lain.... Nadien meletakkan ponselnya secara kasar, hingga menimbulkan suara yang mengundang perhatian rekan-rekan kerjanya. "Hmm.. maaf, saya-" "Kamu itu aneh. Tadi aja kelihatan seneng, senyum-senyum, sekarang kayak orang yang gagal nagih utang," tegur Monik. Nadien tersenyum tipis, kemudian meminta maaf sekali lagi pada rekan-rekan kerjanya. Ia sampai tidak sadar kalau ia terlalu keras meletakkan ponselnya. Tapi, ada benarnya yang dikatakan Monik. Ia seperti seseorang yang sedang gagal menagih hutang. Yup. Menagih hutang kebebasan dari 'calon' mantan suaminya yang sialan itu. 'Segampang itu dia nyobek surat gugatan cerai dariku? Dan dengan seenaknya dia malah ngajakin pulang bareng? Dasar, tidak punya urat malu,' monolog Nadien dalam hati. Nadien harus segera memikirkan cara lain agar benar-benar bisa segera terlepas dari ikatannya bersama Daniel. Entah bagaimana caranya, tapi Nadien benar-benar harus segera terlepas dari kuasa Daniel. Nadien segera melanjutkan pekerjaannya. Setidaknya, ia harus pulang cepat hari ini, sebelum Daniel benar-benar datang dan mengajaknya pulang bersama. "Nadien," "Hah? Iya, apa, Mbak?" kaget Nadien ketika Novi menepuk bahunya. "Kamu nggak dengar Bu Sarah manggil kamu?" tanya Novi. Nadien menggeleng polos. Sepertinya ia terlalu fokus bekerja. "Ya udah sana ke ruangannya gih!" usul Novi. "Nadien," kini suara Bu Sarah kembali terdengar. Entah sudah keberapa kalinya, karena sejak tadi Nadien tidak mendengarnya. "Iya, Bu," sahut Nadien kemudian bergegas menghampiri manajernya itu. "Kamu melamun ya?" tanya Bu Sarah sampainya Nadien di dalam ruangannya. "Eng.. enggak, Bu. Saya cuma terlalu fokus memasukkan data penilaian pegawai," balas Nadien seadanya. Bu Sarah tersenyum kecil. Entah perasaan Nadien saja atau memang benar, tapi tampaknya Bu Sarah cukup menyukai Nadien. "Jangan terlalu stress! Bekerja biasa saja, nikmati pekerjaan kamu dengan baik!" saran Bu Sarah. "Iya, Bu. Oh iya, Ada apa ya Anda memanggil saya?" tanya Nadien to the point. "Oh iya, hampir saja saya lupa. Radika memanggil kamu ke ruangannya. Katanya ada yang ingin dia sampaikan terkait proyek dengan Renandi Group," terang Bu Sarah. Nadien menelan salivanya kasar. Ia mulai diliputi perasaan tidak enak. Namun mau tidak mau, ia tetap harus segera datang ke ruangan Radika. Ia pun menuju ruangan bos besarnya itu dengan perasaan was-was. "Eh, Mbak Nadien sudah datang? Silakan, Mbak!" ujar Mia mempersilakan Nadien masuk. Nadien mengembuskan napas panjang sebelum mengetuk pintu ruang kerja Radika. "Selamat siang, Pak, ini saya, Nadien," ujar Nadien. "Oh, masuk!" suruh Radika dari dalam. Nadien membuka pintu kayu itu lalu masuk ke dalam ruangan Radika. Radika mempersilakan Nadien duduk di kursi yang ada di depannya. Oke, Nadien paham. Pembicaraan ini tampaknya cukup serius dan akan memakan waktu yang tidak sedikit. "Iya, Pak, ada apa ya Anda memanggil saya?" tanya Nadien. "Begini, kamu tahu kan, perusahaan kita berhasil memenangkan proyek kerjasama dengan Renandi Group? Kamu juga tahu detailnya, kan, seperti apa yang dibahas di rapat beberapa hari lalu?" tanya Radika. Nada bicaranya terdengar santai. Ternyata Radika tidak semengerikan yang Nadien pikir selama ini. "I.. i.. iya, Pak. Lalu?" Nadien tak bisa bohong. Perasaannya semakin tidak enak. Sepertinya Radika akan memberinya tugas yang tidak ia sukai. "Saya mau kamu jadi sekretaris sekaligus asisten saya selama perusahaan kita menangani proyek ini," pinta Radika. "Mak.. maksud Anda?" "Ya kan kamu tahu detail kerjasamanya akan seperti apa. Kamu jauh lebih paham dari Mia. Lagi pula, sepertinya kamu cukup banyak mengenal orang-orang Renandi Group, bahkan ternyata kamu istri dari pemilik perusahaan Ranatra kan?" ujar Radika. Tubuh Nadien merosot. Kenapa statusnya dengan Daniel harus kembali disebut oleh Radika? Dan kenapa ia jadi harus berhubungan kembali dengan Renandi Group yang selama dua bulan terakhir ia hindari? "Tapi, Pak, saya kan staff personalia, tidak ada hubungannya dengan proyek-proyek seperti ini. Mak.. maksud saya-" ucapan Nadien terhenti. Ia seperti kehabisan ide untuk menolak perintah Radika. "Pak Dirgam sendiri loh yang meminta kamu ikut andil dalam proyek ini. Sepertinya Pak Dirgam sangat mempercayai kamu. Dan maaf, Nadien, saya tidak bisa menolak permintaan Pak Dirgam itu. Jadi kamu akan tetap menjadi sekretaris sekaligus asisten saya selama menjalankan proyek ini," terang Radika. Nadien mengatupkan bibirnya. Jika Pak Dirgam yang minta, berarti besar kemungkinan Daniel yang ada di balik semua ini. Licik sekali laki-laki itu, menggunakan kekuasaannya pada wanita seperti Nadien. "Baik, Pak, kalau memang itu perintah Bapak," jawab Nadien pada akhirnya. Memang ia bisa menolak? Nadien yang sekarang bukan lagi bos besar yang memiliki suara mutlak. Ia hanya pegawai biasa yang harus mengikuti arahan atasannya. Walau mungkin itu berisiko untuk kehidupan pribadi Nadien nantinya. Lagi pula, Nadien sudah dikontrak tiga tahun oleh perusahaan ini. Nadien tidak bisa mundur begitu saja. Ia tidak mungkin buang-buang uang untuk membayar denda disaat kondisi perekonomiannya seperti saat ini. "Baik. Terima kasih ya, Nadien. Nanti saya akan sampaikan ke Mbak Sarah. Jadi Mbak Sarah akan mudah kasih izin kamu kalau kamu saya panggil atau dapat tugas dari saya," ujar Radika. Nadien mengangguk kaku sembari memasang senyum palsunya. Setelah dirasa pembahasan mereka selesai, Nadien pamit kembali ke ruangannya. Radika pun memberi izin dan sekali lagi mengucapkan terima kasih karena Nadien mudah untuk diajak bekerjasama. Nadien kembali ke ruangannya dengan suasana hati yang dongkol. Kali ini, ia terjebak dalam permainan Daniel. Entah apa lagi yang akan laki-laki itu lakukan padanya nanti. Yang pasti, Nadien bisa menebak kalau laki-laki itu pasti sedang tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menjerat Nadien dan membuka akses baru untuk dapat mengganggu hidup Nadien. Sial. Nadien benar-benar sial karena harus berurusan dengan orang yang memiliki kekuasaan besar seperti Daniel. *** Bersambung.... Jangan lupa masukkan ke pustaka dulu, dan ramaikan kolom komennya. Aku selalu baca kok, walau mungkin kadang kelewatan balasnya :'D Terima kasih sudah setia dengan cerita ini :) Oh iya, aku punya satu cerita (baru dapat beberapa bab) baru, genre fantasi romantis, tentang iblis-iblis gitu. Adakah yang suka? Kalau pada suka, mungkin akan aku post di sini setelah PP selesai. Kalau di sini kurang diminati, mungkin akan aku pasang di lapak lain. Ayo serukan pendapat kalian di kolom komentar, yaaa :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN